Terharu nih, gimana cara ngebantunya ya? 
============================================================
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0503/22/utama/1633640.htm

Jangankan Sekolah, Bisa Makan Saja Sudah Untung

BULAN Februari lalu, saat musim hujan turun di Jawa Barat, setiap hari
sepulang sekolah, Irman Maulana (16), siswa Kelas II SMP Negeri Cibatu
I, Kabupaten Garut, Jawa Barat, harus menaiki Gunung Kancil dalam
keadaan lapar. Guyuran hujan dan sambaran petir tak mematahkan
usahanya mendaki.

Anak kelima dari enam bersaudara ini sudah yatim. Ibunya bekerja di
Jakarta sebagai pembantu rumah tangga, sedangkan dia tinggal bersama
keluarga kakaknya di rumah panggung milik orangtuanya di Kampung
Kancil, Kecamatan Cibatu, Kabupaten Garut. Kampung ini berada di
puncak Gunung Kancil. Jarak antara rumah dan sekolahnya sekitar enam
kilometer.

Kampung tersebut sebetulnya hanya bisa dicapai dengan berjalan kaki.
Ketika menuju kampung itu, Kompas harus menggunakan ojek motor. Namun,
untuk bisa sampai ke rumah Irman, Kompas harus berjalan kaki lebih
dari setengah perjalanan karena bongkahan batunya cukup besar dan
sulit dilalui kendaraan roda dua, apalagi berboncengan.

Bongkahan batu ini sudah disusun masyarakat Kampung Kancil. Mereka
berharap pemerintah bisa segera menutupinya dengan batu-batu tajam
sekaligus mengaspalnya. Namun, sampai sekarang harapan itu masih
tinggal harapan. Di beberapa bagian jalan setapak selebar satu meter
tersebut masih terdapat jalan-jalan yang hanya bertanah merah. Di
jalan inilah biasanya Irman tergelincir.

TIBA di rumah, dengan tubuh menggigil, Irman langsung mencuci
seragamnya agar bisa digunakan kembali ke sekolah esok harinya. Ia
hanya memiliki dua kemeja dan satu celana seragam sekolah.

Jika keluarganya memiliki makanan, Irman bisa langsung makan. Namun,
dia lebih sering melupakan rasa lapar dengan tidur siang atau mencari
kayu bakar ke hutan karena kakaknya tidak memiliki makanan.

Meski hidup begitu sulit, Irman yang hobi membuat puisi dan menggambar
itu tidak pernah berniat berhenti sekolah. Bahkan, meski dia tahu
bahwa dirinya tidak pernah mengantongi uang sepeser pun.

Impitan ekonomi tidak hanya membuat Irman harus belajar dalam keadaan
lapar, tetapi membuatnya minder kalau harus bergaul dengan teman-teman
sebayanya di sekolah. Ia sering diledek sebagai anak gunung. Irman
kini duduk sendiri di kelas karena merasa tidak nyaman berada bersama
teman- temannya yang berkehidupan lebih baik. Kondisi psikologi yang
tertekan sebetulnya membuatnya semakin sulit memecahkan masalah.

Ketika guru mengadakan ulangan mendadak, misalnya, Irman beberapa kali
tidak bisa mengikutinya. "Kalau pinjam ke teman, sering kali tidak
dikasih," kata Irman. Akibatnya, dia hanya duduk melamun di kelas
sambil menahan kesedihan karena tidak bisa ikut ulangan dan mendapat
kesempatan memiliki nilai seperti teman- temannya.

Hal yang sama sering menimpa Ade Sutrisna (14), teman sekelas Irman.

ADE kerap tidak ikut ulangan karena tidak mempunyai uang. Kehidupan
keluarga Ade semakin sulit sebab ayah tirinya, yang bekerja sebagai
pedagang asongan di Jakarta, sudah dua bulan tidak pulang atau
mengirimkan uang.

Ayah kandungnya meninggal sejak Ade berusia dua tahun. Ibunya,
Sunengsih, menikah lagi dan melahirkan dua anak. Salah seorang sudah
sekolah di sekolah dasar.

Sebelum harga BBM naik, ayah tiri Ade mengirimkan uang sebesar Rp
50.000 per bulan. Kini setelah harga BBM naik, diikuti dengan
melonjaknya harga-harga kebutuhan lainnya, keluarga ini tidak bisa
membeli barang apa pun.

Melihat kesulitan keluarga, anak lelaki bertubuh kurus ini sering
membantu ibunya, yang buruh tani, merontokkan padi atau mencari kayu
bakar untuk tetangganya. Dari menjual tenaga itu, Ade bisa menerima
upah sebanyak Rp 1.000 atau sepiring nasi dan lauk. Tak jarang ia
bekerja sampai malam.

Sebulan lalu ibunya meminta Ade berhenti sekolah karena tidak punya
uang untuk mengongkosi pergi pulang ke sekolah, membelikan bahan-bahan
untuk pelajaran keterampilan dan olahraga, serta membayar fotokopian
soal ulangan. Ibunya pun mengirim surat pengunduran diri anaknya
sebagai siswa di SMP Negeri Cibatu I.

Sejak itu, selama dua minggu, Ade tinggal di rumah. "Saya sering
melihatnya bengong sambil mengasuh adiknya. Saya merasa berdosa
menyuruhnya berhenti sekolah. Tapi, saya tidak punya jalan lain," ujar
Sunengsih.

>small 2small 0< mengirim surat pengunduran diri, pihak sekolah
mencoba mencarikan solusi dengan membentuk teman asuh. Sejak dua
minggu lalu teman-teman sekelasnya menyumbang agar Ade bisa tetap
sekolah. Tiap hari, sepulang sekolah, melalui bendahara kelas, Ade
diberi ongkos Rp 1.500.

"Tapi, saya malu juga setiap hari merepotkan teman-teman," ujar Ade
yang bercita-cita jadi insinyur elektro untuk membahagiakan
keluarganya.

Ade dan keluarganya kini menumpang di rumah keluarga ayahnya di Desa
Mekarsari, Kecamatan Cibatu, Kabupaten Garut. Rumah panggung
berdinding dan berlantai bambu itu hanya memiliki satu kamar, ruang
tengah, dan dapur kecil. Mereka menumpang karena gubuk mereka sudah
roboh.

Agar tidak membebani ibunya, Ade yang tidak memiliki buku Lembar Kerja
Siswa (LKS) lebih banyak menghabiskan waktu istirahatnya dengan
menyalin soal-soal dalam LKS. Dalam hati kecilnya, saat istirahat, Ade
ingin juga jajan seperti teman-temannya. Sudah lama Ade ingin membeli
roti seharga Rp 1.000 yang dijual di koperasi sekolah.

KISAH Euis Nurhayati (13) pun miris. Anak yatim yang ditinggal ibunya
bekerja di Arab Saudi ini hanya tinggal dengan neneknya, Murbaisih
(64). Sejak bekerja di Arab Saudi, bulan November 2004, ibunya tidak
pernah mengirimkan uang ataupun memberi kabar.

Karena tidak punya uang, neneknya memutuskan agar Euis berhenti
sekolah. Euis langsung menangis menjerit-jerit. Tiap hari ia mengurung
diri karena sedih melihat teman-temannya bisa berangkat ke sekolah.
Melihat perilaku Euis, Murbaisih diam-diam sering menangis.

Seminggu setelah berhenti, guru-gurunya datang dan memintanya
melanjutkan sekolah dengan bantuan biaya dari para guru. Saat neneknya
bercerita, Euis hanya mendengarkan sambil menengadahkan kepala dan
menelan ludah. Ia berusaha menahan tangis.

Peristiwa putus sekolah yang sempat dialaminya sangat mengguncang jiwa
Euis. Saat Kompas mengajaknya berbincang, bibir Euis bergerak-gerak,
tetapi tidak ada suara yang keluar.

Rumah Euis terletak di Desa Sukaluyu, Kecamatan Sukawangi, Kabupaten
Garut. Setiap hari, selama sebulan, Euis pergi ke sekolah yang
berjarak dua kilometer dari rumahnya. Adakalanya ia berjalan sambil
menangis karena tidak punya uang sepeser pun untuk ongkos, apalagi
untuk jajan seperti anak yang lain. "Saya malu, tidak pernah ikut
menyumbang iuran di sekolah," ujarnya tercekat, berusaha untuk bicara.

Sekolah merupakan kebutuhan mewah buat anak-anak dari keluarga miskin.
Di Jawa Barat masih ada ratusan ribu anak yang terancam putus sekolah.
Yang mereka butuhkan bukan cuma kebijakan pemerintah, tetapi tindakan
yang bisa menyelamatkan mereka secepatnya. (Y09)
-- 
mas asep

AYO GALANG SOLIDARITAS UNTUK MEMBANTU KORBAN MUSIBAH DI ACEH & DAN SUMATERA 
UTARA !!!
================
Kirim bunga, http://www.indokado.com
Info balita: http://www.balita-anda.com
Stop berlangganan/unsubscribe dari milis ini, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]
Peraturan milis, email ke: [EMAIL PROTECTED]

Kirim email ke