Ancaman dari Selat Sunda, Waspadalah Jakarta! 

JAKARTA, KCM - Paranormal Permadi, Mama Loren, atau siapapun boleh saja 
meramalkan gempa besar yang akan melanda Jakarta. Pakar geologi, 
geofisika, dan disiplin ilmu kebumian lainnya juga bisa memprediksi kapan 
akan terjadi gempa bumi. Ramalan paranormal atau prediksi pakar keilmuan 
tentu bukan tanpa dasar dan didukung pengalaman masa lalu, namun sama-sama 
tidak dapat memastikan kapan tepatnya akan terjadi. 

Terbukti atau tidak nantinya, Jakarta, begitu pula wilayah Indonesia 
kecuali Kalimantan memang berpotensi dilanda gempa. Berada di Ring of Fire 
yang merupakan zona pertemuan lempeng-lempeng Bumi, sebagian besar wilayah 
Indonesia tak akan pernah lepas dari ancaman gempa bumi. 

Ancaman dari Selat Sunda

Guncangan keras gempa berkekuatan 6,2 Skala Richter yang terjadi Rabu 
(19/7) petang bukan yang pertama kali dirasakan hingga Jakarta. Memang 
pusat gempa di Selat Sunda, tepatnya Pulau Panaitan di selatan Ujung Kulon 
pada koordinat 6,54 derajat Lintang Selatan dan 105,2 derajat Bujur Timur 
di kedalaman 48 kilometer, namun getarannya terasa di Jakarta hingga 3 
MMI.

"Gempa sering terjadi di Selat Sunda dengan kekuatan antara 5 hingga 6,5 
Skala Richter," kata Dr. Prih Haryadi, Kepala Pusat Data dan Informasi 
BMG. Selat Sunda merupakan wilayah langganan gempa, selain berada di atas 
zona subduksi, ujung patahan Semangko yang membelah Pulau Sumatera dari 
Aceh hingga Lampung juga berakhir di sana. 

Selat Sunda berada di atas zona subduksi lempeng Indo-Australia dan 
Eurasia serta zona transisi subduksi miring yang memanjang di sebelah 
barat Pulau Sumatera dengan subduksi tegak di sebelah selatan Pulau Jawa. 
Gempa yang terjadi di Selat Sunda bisa dipicu pelepasan energi dari 
penunjaman lempeng Indo-Australia yang bergerak ke utara dengan kecepatan 
6 centimeter pertahun di bawah Selat Sunda atau dari aktivitas patahan 
Semangko yang masih sangat aktif sampai sekarang. 
 
Seismic gap

Aktivitas seismik di Selat Sunda tergolong sepi karena tidak pernah 
terjadi gempa besar di sana. Bahkan, wilayah di selatan Jawa termasuk 
Selat Sunda tidak ada catatan sejarah gempa yang sangat dahsyat seperti di 
Aceh dalam 300 tahun terakhir. 

Satu-satunya gempa terbesar digambarkan Willard A. Hanna  dalam buku 
Hikayat Jakarta yang diterbitkan Yayasan Obor tahun 1988. Dalam buku 
tersebut disebutkan gempa sangat dahsyat pernah terjadi di Jakarta pada 4 
dan 5 November 1699. Gempa tersebut menyebabkan kerusakan gedung-gedung, 
mengacaukan persediaan air, dan memporak-porandakan sistem persediaan air 
bersih. 

Gereja yang dulu berdiri di lokasi tempat berdirinya gedung Museum Wayang 
sekarang juga hancur karena gempa. Gempa itu disertai letusan gunung api 
dan hujan abu yang tebal sehingga aliran sungai Ciliwung penuh lumpur dan 
membawa banyak sekali endapan di muara. 

Berdasarkan catatan Belanda yang dikompilasi Newcomb dan McCann pada 1987, 
gempa besar juga pernah terjadi pada 27 Februari 1903. Gempa tersebut 
diperkirakan berkekuatan 8 Skala Richter jika dilihat bentuk kerusakannya. 
Sesudah itu, tak ada laporan gempa yang sangat besar dan merusak di 
Jakarta.

"Sepertinya ada kenakan aktivitas seismik di sana setelah sekian lama 
mengumpulkan energi," kata Danny Hilman Natawijaya, pakar gempa dari 
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Kondisi seperti ini berpotensi 
sebagai seismik gap. Gempa di Aceh, misalnya, juga terjadi setelah sekitar 
200 tahun tidak terjadi gempa sangat dahsyat di sana. 

Kawasan seismic gap merupakan daerah dengan zona rawan seismik, tetapi 
sudah lama tidak terjadi gempa kuat. Berdasarkan pengalaman sejarah dan 
teori gempa, gempa dahsyat akan terjadi di kawasan seismic gap. 

Daerah ini biasanya berada di antara dua titik lokasi kejadian gempa besar 
yang pernah terjadi atau memang berada di suatu kawasan yang benar-benar 
sepi gempa dalam waktu yang relatif lama. Daerah yang sepi gempa seperti 
ini secara tektonik justru merupakan zona rawan.

Kerawanan yang ada bisa jadi karena adanya patahan aktif, seperti halnya 
patahan Kali Opak yang menjadi pembangkit gempat Yogyakarta dan Jawa 
Tengah. Keberadaan patahan tersebut sudah tertimbun permukaannya selama 
berabad-abad lamanya dan menjadi seismic gap, yang sewaktu-waktu 
menggeliat, membangkitkan gempa besar. Daerah seismic gap dapat juga 
berada di zona penyusupan antar lempeng, seperti halnya seismic gap 
pembangkit gempa dan tsunami Aceh, 26 Desember 2004.

Beberapa waktu lalu, Profesor Riset bidang Geologi LIPI Suparka menyatakan 
adanya patahan yang tidak aktif memanjang dari Ciputat hingga kawasan 
Kota. Meskipun patahan ini dinyatakan tidak aktif bukan tidak mungkin 
kembali bergejolak setelah sekian lama. Aktifnya kembali patahan yang lama 
tidur bisa dipicu aktivitas di zona penunjaman maupun dari patahan-patahan 
lain yang berdekatan. Aktivitas subduksi memang terus berlangsung sampai 
sekarang sementara, di sekitar Jakarta tersebar patahan-patahan aktif 
seperti patahan Cimandiri di Sukabumi dan Baribis di Kuningan.

Pernyataan-pernyataan bernada ramalan dan justifikasi bahwa Jakarta aman 
dari gempa bukan solusi menghadapi potensi bencana. "Yang paling penting 
kita bisa mempersiapkan diri, kenalai lingkungan sekitar, dan mengajak 
masyarakat untuk waspada karena wilayah kita jelas-jelas rawan gempa," 
kata Hery Harjono, kepala Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI.


Penulis: Wah

Kirim email ke