Bagus juga niy.... Maaf kalo udah pernah dapat

 

RENUNGAN : " Ranking Berapa, Bu? " 
Izzatul Jannah 

Tahun ini, untuk pertama kali saya merasakan punya anak sekolah formal,
dan terima rapor yang 'sesungguhnya' seperti anggapan orang-orang tua
pada
umumnya. Ya, tahun ini (2004) Farhah menerima rapor semester satu.


Sebagaimana orang tua-orang tua yang lain, saya merasa deg-degan. 
Padahal sejak awal saya telah memahami bahwa hasil rapor bukanlah
segala-galanya, dan hanya merupakan satu faktor dalam menentukan
prestasi
anak. Tetapi begitulah, rasa kemanusiawian saya untuk ingin melihat
anaknya
berprestasi tinggi secara akademis tetap saja ada.


Ketika saya menunggu rapor dibagikan secara bergiliran, jantung
saya tetap berdegup kencang. Barangkali saya terlanjur termakan juga
oleh
anggapan sesama ibu-ibu yang mengatakan bahwa rapor anak kelas 1-3 itu
adalah hasil belajar umminya! 


Ketika kemudian rapor Farhah dibagikan, Subhanallah... ada 6 angka 9 
yang 'nangkring' disana. Meski disela-sela itu ada angka 6 untuk
Bahasa Arab (yang kata gurunya semua nilai anak jatuh, karena model
belajar
yang kurang tepat), tetapi nilai rata-rata Farhah berada di atas
rata-rata kelas.


Saya tersenyum bangga dengan prestasinya. Sebab, Farhah tidak seperti
anak-anak lain yang bisa setiap saat bersama dengan bundanya. Ia lebih
sering belajar sendiri daripada ditunggui. Maklum, tugas-tugas dakwah
sering
membuat saya bepergian ke luar kota.


Saya sebenarnya tidak terlalu berminat ketika gurunya menunjukkan 
pada peringkat berapa Farhah dibandingkan dengan teman-temannya.
Tetapi demi penghargaan, saya tetap appreciate melihat peringkat Farhah.
Ia
berada di tengah-tengah di antara 40 teman-teman lainnya.


Ketika saya menuruni tangga sekolah, tiba-tiba ada seorang guru yang
menyapa, "Rangking berapa Farhah, Bu?"


Saya terenyak. Sebab, sejak semula saya tidak setuju dengan sistem
peringkat atau rangking. Apalagi di sekolah yang memiliki anak-anak yang
berpotensi seperti ini. Selisih nilai yang hanya nol koma nol sekian
antar
peringkat, kadang membuat anak yang berada di peringkat terbawah
nilainya masih 7,8 !


"Waaah. . . pertanyaannya kok begitu, Pak Guru . .?" seloroh saya.
"Oh, memangnya kenapa, Bu?"
"Rangking kan tidak menandakan apa-apa? Mestinya kan anak tidak
dibandingkan dengan siapa pun, tidak dengan temannya apalagi
dibandingkan
sama ayah-ibunya!" jawab saya.

Guru itu tersenyum sambil masih tertawa-tawa. "Lalu, dibandingkan dengan
siapa, Bu?"
"Waaah. . .pura-pura tidak tahu, ya, Bapak ini?" sergah saya.
Ia masih tertawa-tawa


"Yaa. . .tentu dibandingkan dengan dirinya sendiri, Pak. Masing-masing
anak kan memiliki potensi sendiri-sendiri, lalu mana bisa dibandingkan?"
Guru itu tertawa, lalu mengangguk dan berlalu.
Saya mengira bahwa pertanyaan seperti itu selesai hingga detik ini.
Tetapi
ternyata . . .   Masya Allah! Ketika saya bertemu dengan salah seorang
guru
senior yang menjabat struktural di sekolah, beliau menanyakan hal yang
sama!


"Rangking berapa Farhah, Bu?"
"Nilainya bagus, Pak. Ada enam buah angka 9 dan dua angka delapan
setengah, dua angka tujuh dan tujuh setengah, satu angka enam, Bahasa
Arab.
Rata-ratanya 8,4. Kira-kira rangking berapa, ya?" jawab saya mantap.


Bapak guru tersebut tersenyum kecut.
Di era millenium ini tentu saja saya memahami bahwa peringkat berarti
juga
menyiapkan anak-anak untuk kompetitif, sebagaimana sabda Rasul SAW.
'Alimu
auladakum fa innahum makhluquna lizamanin ghairi zamanikum. Didiklah
anak-anakmu dengan baik karena mereka itu akan tumbuh menjadi manusia
untuk
menghadap zamannya dan bukan menghadapi zamanmu.'


Tetapi, bukankah zaman ini sudah ada multipple intelligence, yang
menurut
saya lebih manusiawi jika dipakai sebagai alat untuk mengevaluasi atau
menilai anak? Dengan menonjolkan salah satu kecerdasan mereka dan
bukannya
merangkum seluruh kecerdasan baru kemudian dievaluasi, anak-anak akan
tumbuh
nyaman tanpa tekanan, dan secara dini diajak untuk mengenal potensi diri
mereka.


Jika memang itu yang lebih adil dan bijak untuk mengevaluasi anak,
mengapa
itu tidak diterapkan? Saya yakin, jika anak-anak dihargai - apa pun
potensinya - mereka akan tumbuh lebih optimal dan lebih percaya diri.
Bukankah begitu?
Sama Tidak dengan Rapor Umminya?


Ini masih cerita tentang saat penerimaan rapor anak sulung saya.
Ada satu pertanyaan dari salah satu gurunya disekolah yang membuat saya
tertegun.


"Bagaimana, Bu? Sama tidak rapor Mbak Farhah dengan rapor umminya?"
Saya terbengong-bengong dan kemudian nyeletuk, "Lha, memangnya
sejak kapan saya sekolah di sini, Pak?"


Bapak guru itu tersenyum-senyum.  "Yaa...kan biasanya anak tidak
jauh-jauh dari umminya.."


Saya lalu menengok pada diri saya sendiri. Di SD memang saya
hampir masuk sepuluh besar, bahkan lima besar. Tetapi, SMP dan SMU, saya
selalu gagal masuk rangking sepuluh ke bawah. Rangking saya selalu
belasan.
Namun, saat ini saya merasa lumayan sukses untuk ukuran teman-teman yang
big
five sekalipun! Saya bahagia dengan profesi saya sebagai pengarang, dan
aktivitas saya sebagai da'iyah. Paling tidak, saya bahagia bisa
memberikan
sesuatu bagi orang-orang yang bisa memanfaatkan keahlian saya.

Lalu pertanyaannya adalah: Apakah anak saya juga harus seperti saya?

Saya jadi teringat Abdurrahman Faiz, putra Helvy Tiana Rosa,
pengarang dan lokomotif sastra islami di Indonesia yang juga sahabat
saya.
Ketika Faiz bisa menghasilkan beberapa puisi yang diantaranya memiliki
tema
seperti orang dewasa, tidak sedikit orang yang meragukan bahwa itu karya
orisinil milik Faiz. Mereka tahu siapa ibunya.


Belum lagi ketika Faiz memenangi lomba menulis surat untuk
presiden dan kemudian nama Faiz melejit sebab berbagai media cetak dan
elektronik mewawancarainya. Mereka memang nampak kagum, tetapi seklaigus
berkomentar, "Ya, tidak heran, lah . . . Ibunya juga pengarang!"
Jadi . . .

Kasihan, deh anak saya!   Jika ia tidak berhasil, orang akan mengatakan,
"Kok ibunya sukses, anaknya tidak?" Tetapi jika ia berhasil, orang-orang
akan bilang, "Oo. . .tidak heran kalau anak itu pintar. Ibunya juga
pintar, sih!"

Lalu, kapan kita bisa menghargai anak-anak sebagaimana mereka adanya?
Kasihan, deh, anak saya!





  _____  

Kirim email ke