Pengalaman dari teman yang sakit kena diare masuk RS. Husada (bloody hospital)
sf. Memanusiakan Dokter Minggu, 16 April 2006 My dearest friends and family, finally I'm `revived' and back among you guys from the sickness. Saya hanya ingin menceritakan sebagian KECIL dari pengalaman saya ketika dirawat di RS Husada Mangga Besar beberapa waktu lalu. Awalnya pada hari Jumat 31 Maret 2006 saya mengalami diare di rumah dengan frekuensi diatas 10 X sehari. Sempat saya ke dokter umum dan diberikan obat diare, tetapi obat2an tersebut tidak banyak memberikan kemajuan dalam menghentikan diare saya, Esok harinya saya ke RS Hermina Sunter untuk tes urin dan darah, ditemukan ada gejala Paratyphus minor, sehingga saya diberikan (lagi) obat diare.Malam harinya saya mengalami diare yang lebih parah dengan frekuensi sekitar 20X disertai muntah dan demam 37 derajat C. Pukul 00.00 malam itu juga saya dibawa ke RS Husada oleh kedua orang tua saya dan langsung ditangani di UGD. Saya disuntik obat anti diare, tes darah, dan diinfus. Lalu dokter jaga disana mengatakan bahwa saya harus dirawat. Sang dokter bertanya ke orang tua saya apakah ada referensi untuk ditangani oleh dokter tertentu. Kemudian ibu saya memilih Dr Johannes SpPD (internist) untuk merawat saya, karena dokter tersebut juga pernah merawat kakak saya beberapa tahun lalu. Dalam mengurusi administrasi saya belum mengeluarkan biaya karena saya mempunyai kartu askes ACA Prevensia dari perusahaan tempat saya bekerja. Pagi harinya Dr Johannes datang ke ruangan saya lalu hanya mengeluarkan sedikit kata2 ke suster disebelahnya, "besok USG dan Rontgen Thorax (rongga dada) ya". Saya pun bingung, kok sakit perut malah harus rontgen thorax (apa hubungannya?), sedangkan tes feses (tinja) pun belum. Saya diberikan 4 butir obat pada hari itu dan diare saya berkurang sementara, kondisi ruang kelas 2 Husada ternyata tidak seperti yg saya bayangkan, dengan dipenuhi nyamuk, AC yang sangat dingin (dan saya demam), toilet yang kotor (maaf) yaitu ada cairan muntah dan kotoran pasien lain yg berserakan dan tidak dibersihkan oleh petugas sehingga mengeluarkan WANGI yang sungguh2 tidak sedap ke seluruh ruangan. Kakak saya menghadap ke administrasi dan meminta agar saya dipindahkan ke kelas 1. Entah kenapa tiba2 petugas admin mengatakan bahwa pihak askes ACA tidak bisa dihubungi (padahal tertulis di kartu asuransi saya CUSTOMER SERVICE 24 JAM nomor telpon xxx xxx, Husada tidak ingin ada penundaan pembayaran), dan kalau mau pindah kelas harus deposit uang jaminan, padahal saya sudah bertanya pihak HRD kantor dan saya tidak perlu mengeluarkan uang sepeser pun meskipun pindah kelas karena biaya tambahan akan dibebankan ke saya di kemudian hari. Lalu kakak saya mendepositkan uang jaminan perpindahan kelas sebesar Rp. 3 jt . Di fasilitas kelas 1 ternyata perbedaan tidak terlalu terasa, wc tetap kotor, berisik, dengan ruang yang kecil kira2 sebesar kamar kos2an anak kampus. Semakin lama diare saya semakin parah, dari 4X, 7X, dan 10X sehari. Setiap harinya saya diberikan bubur dalam jumlah banyak semangkok penuh yang cukup untuk memberi makan kuli bangunan, ada ayam bumbu kari, cendol bersantan, jeruk, pudding bersantan, dan SUSU! Dengan kondisi saya yang diare berat, makanan yang diberikan hanya memperparah kondisi usus dan lambung saya. Ini membuktikan tidak adanya kordinasi yang baik antara dokter, suster, dan ahli gizi. Tubuh saya kembali mengalami demam karena dehidrasi, lalu susternya mengatakan bahwa saya harus di-infus antibiotic yg bernama Fladex supaya diarenya berhenti. Kakak saya menandatangani surat bukti pemberian obat itu. (Fladex/ Metronidazole adalah antibiotic anti-infeksi dan ant-inflamasi yg disebabkan oleh bakteri dan protozoa. Tetapi setelah obat intravena ini masuk ke tubuh saya, penglihatan saya terganggu seperti kunang2 dan blur). Esok hari diare dan demam saya tidak mengalami perubahan bahkan saya sempat muntah lagi. Setiap kali saya minum atau makan, pasti dalam beberapa menit langsung buang air likuid lagi. Saya sudah tidah tahu ada berapa jenis obat yg sudah masuk ke tubuh saya sejak saya masuk RS Husada yang mengakibatkan ginjal saya infeksi (terlihat dari tes urin berikutnya). Di hari keenam, kakak ipar saya mendatangi suster dan meminta ganti dokter, tetapi suster tidak mengijinkan dan selang beberapa menit sang dokter JOHANNES akhirnya datang ke ruangan saya (yang dlm bbrp hari dia jarang muncul). Di ruangan saya ada ibu, ayah, kakak, dan kakak ipar saya. Dr Johannes lalu mulai menjelaskan penyakit saya dengan dasar ilmiah yang tidak jelas, bluffing, dan berpikir bahwa pasien dan keluarganya tidak mengerti perbedaan antara mikro organisme virus dan bakteri. Berikut adalah pembicaraan antara ibu, ayah, kakak ipar, dan dokter PINTAR tersebut. Ibu: dok, sebenarnya anak saya sakit apa? Kok sudah 6 hari di rumah sakit belum ada penjelasan apa penyakitnya, ada penyebabnya, dll? malah kondisinya semakin turun. Dr: oh, dia Cuma Dysentri kok, virusnya ganas jadi belum sembuh. yah paling 1-2 minggu deh baru sembuh. Kalau dibilang semakin parah enggak donk, kan di rumah diare 20X, dirawat disini diare nya jadi 10 X.membaik kan? Ibu: oh, jadi sampai minggu depan dia akan mencret terus2an? Dr: oh enggak, bukan begitu.maksud saya di minggu ke dua.. Kakak ipar: dok, ini obatnya banyak banget ya? Ada lebih dari 10 jenis obat, gak apa2 tuh? Ayah: iya dok, saya kuatir dia bisa keracunan obat dan antibiotic. Dr: ooohh, tenang saja dia tidak akan meninggal dunia, dia tidak akan keracunan! Tidak ada yg perlu dikuatirkan, Cuma saja kuman nya belum mati. Saya tidak pernah mau memakai obat keras. Obat yang saya berikan semuanya ringan, dan tidak sampai sebanyak itu kok. Saya Cuma berikan 5 jenis obat (dikwitansi tertulis diatas 10 jenis obat sampai hari ke 6). Apa lagi yg perlu ditakutkan? Kan semua biaya OBAT DITANGGUNG ASURANSI! ternyata dokter itu memberikan saya obat dengan segitu banyaknya dg dalih bhw bukan saya yg mengeluarkan uang, tetapi ACA. Dan dia tidak berpikir akan kondisi ginjal dan lever saya yg hrs menanggung kelebihan obat yg sangat banyak, obat yg tidak proporsional, tdk menyembuhkan dan hanya memperlama waktu menderita di RS) Ibu: dokter tadi bilang bahwa anak saya Dysentri, memangnya sudah TES FESES??? Buktinya apa? Tahu dari mana dia sakit karena bakteri atau virus? Dr: hmmmm (sambil berpikir dan menengok ke arah suster yg berdiri disebelahnya)oh ya sudah, Sus besok tes tinja ya pagi2. (Selama 6 hari saya diare parah dirawat di sana, diberikan obat dengan banyak jenis TANPA TAHU APA PENYEBAB DIARE nya dan belum pernah tes tinja.Dr. Johannes memberikan obat hanya berdasarkan prediksi - spekulasi subjektif, tanpa analisa medis yang kredibel.) Dr: ya sudah kalau mau diarenya berhenti saya berikan lagi ya nanti malam antibiotic suntik, satu CC nya 400 ribu rupiah, dia perlu 2 CC sehari. nanti saya tambahkan Imodium juga. Saya ini sudah 15 tahun jadi kepala ICU/ ICCU Husada,percaya aja deh. Lalu dia pergi meninggalkan ruangan dengan tampang jutek. Malam itu pukul 2 dini hari, saya disuntikkan antibiotic di tangan kanan saya, yang menyebabkan tangan saya MATI RASA dan KEJANG, dan susternya cuma bilang, "sakit dikit ya..". Sampai pagi harinya saya tidak bisa tidur dan tetap demam dan diare. Saya juga tidak tahu sudah berapa CC antibiotic injeksi yg sudah masuk ke dalam darah saya sejak pertama kali dirawat di sini. Hari itu tanggal 8 April 2006, sekitar jam 8 pagi kakak saya menelepon kerabat yg dokter juga (Dr Widiyo Santoso) dan dia mengatakan lebih baik pindah rumah sakit karena tidak ada diare yg dalam seminggu tidak sembuh, kecuali SALAH DIAGNOSA. Kakak saya juga menelepon Teddy (supervisor saya di kantor) dan dia juga mengakatakan hal yg sama utk pindah RS. Kakak ipar saya yg bermukim di BSD memberikan referensi untuk pindah ke RS Siloam Gleneagles Karawaci utk ditangani Dr Parlindungan Siregar SpPD (internist). Saat itu juga orang tua dan kakak saya mengurusi ke admin Husada untuk ESCAPE, pindah paksa ke Siloam Karawaci. Pihak Husada panic karena sangat mendadak keluarga saya mengeluarkan keputusan pindah RS. Anehnya Husada tidak mau memberikan jasa ambulance untuk membawa saya ke Siloam, malah mereka menawarkan untuk menyewa ambulance `bodong' alias tidak jelas dari mana asal usulnya. Bahkan Dr Johannes pun tidak kunjung muncul setelah mengetahui saya akan pindah RS. Kakak saya tetap memaksa untuk memakai ambulance Husada utk memindahkan saya keluar dari lubang neraka Husada, dan akhirnya mereka menyetujui utk memberikan jasa ambulance jam 2 siang. Menjelang jam 2 siang, cairan di tabung infuse saya menipis dan kakak saya meminta tambahan infuse. Lalu suster disana malah bilang, "aduh, infus harus diurus di apotik lantai dasar.tapi saya punya nih satu tabung, saya beri gratis deh." Lucu juga ya ternyata seorang suster bisa mengantongi tabung infuse..seharusnya kan semua peralatan medis mempunyai bukti penggunaan dan harus jelas sudah berapa yg dipakai. Jam 14.30 saya dibawa ambulance ke Siloam Karawaci. Setibanya disana, saya ditangani di UGD dengan langsung di-treat tes urin, tes tinja, tes darah, rekam jantung, dan tes bakteri dan jamur. Dr Parlindungan Siregar bertanya, "kamu berapa lama di Husada? berapa lama diarenya?" "6 hari dok, diarenya juga gak sembuh.bakteri atau virus ya?" Tanya saya. " ah itu sih bukan bakteri bukan virus, tapi FUNGUS/ jamur, bakteri dan virus biasanya mati di hari 3 .nanti saya beri obat anti fungus juga sembuh." Hari berganti hari, kondisi kesehatan saya membaik, berat badan saya meningkat kembali dari penurunan yang sudah 7 kg seminggu ( satu hari turun 1 kg di Husada). Dokter Parlindungan datang tiap hari tepat waktu ke kamar saya jam 6 pagi dan bisa diajak konsultasi (saya tidak pernah bisa ada waktu ngobrol dgn Dr Johannes di Husada karena dia selalu ngacir seperti selebriti dan menjawab pertanyaan seperlunya). Di hari keempat di Siloam Hospital, saya sudah recover, usus dan lambung saya sudah membaik. Cuma 4 jenis obat yg saya makan tiap hari disana, disertai suster yg perhatian, kondisi kamar dan toilet yg higineis, dokter yang MANUSIAWI, birokrasi yang singkat, dan pihak administrasi yang ramah. Akhir tulisan, berikut adalah obat yg diberikan oleh Dr Johannes S. SpPD di Husada kepada saya: - Diazepam - Thiamphenicol - Biodiar - Clasef - Mentalium - OMZ - Fladex - Imodium - Stabixin - Impepsa - Ronem - Micasin - Papaverin - Diflucan - Nexium - Zout - Spuit Semua ini adalah obat yg tercantum di bill terakhir Husada yg saya bayarkan sebesar Rp 9.400.864,- dengan status TIDAK MENYEMBUHKAN, penyakit saya tidak jelas apa penyebabnya, dan hanya memperlama penderitaan. Bukan saya saja yg dirugikan oleh Dokter ini, tetapi juga asuransi ACA Prevensia yg mesti mengorek dana untuk membayar imbursement obat2an yg terlalu banyak (yang tidak memberikan kemajuan signifikan untuk kesehatan saya), serta kantor tempat saya bekerja karena pekerjaan saya terbengkalai selama 2 minggu. Di Siloam Gleneagles, obat yg diberikan adalah: - Vibramycin - Diflucan - Zantac - Sesden Obat yg tidak terlalu banyak, pelayanan di kelas Decapolis 2 yang memuaskan dan dokter yang manusiawi hanya mengeluarkan biaya Rp 5.548.260,- sampai SEMBUH dalam waktu 4 hari. Sudah terlihat dengan jelas bila dibandingkan, RS mana yang SALAH dan mana yang BENAR. RS mana yang JUJUR dan mana yang BUSUK. Dokter mana yang MANUSIAWI dan mana yang ANARKIS. Untuk siapapun yang membaca tulisan saya ini, saya hanya mengingatkan bahwa berhati-hatilah terhadap oknum dokter yg pekerjaannya bukan untuk dedikasi kemanusiaan tetapi komersil JUALAN OBAT, mereka tidak peduli terhadap nyawa pasien dan hanya mementingkan kantong pribadi. Berhati-hatilah terhadap RS yg mempunyai track record buruk, sering melakukan korupsi terselubung, dan malpraktek. Dalam kasus saya ini kebetulan Dr Johannes SpPD dan RS Husada yang tidak mau bertanggungjawab terhadap keselamatan pasien, khususnya saya. Mungkin kasus saya ini hanya 1:50, atau mungkin 1:100 tetapi kemungkinan itu selalu ADA, bahwa nyawa kita bisa saja dijadikan bahan permainan oleh tenaga medik yang seharusnya professional. Saya bukan simpatisan Zionist, tetapi apa boleh buat saya harus memuji Siloam Gleneagles Hospital yang professional, proporsional, dan manusiawi dalam memperlakukan pasiennya. Big thanks to My Father in Heaven, My FAMILY, Desy & Family, Dr Parlindungan Siregar SpPD, Siloam Gleneagles Hospital, Dr Widiyo Santoso, Dr Christine, RS Hermina Sunter, Teddy my boss, my co workers, DM Pratama, Pak Iman, Gandhi, Eva, Pdt Suta Prawira, and this world who let me live longer. Untuk Dr Johannes S. SpPD, terimakasih sudah merawat saya tanpa kesembuhan di RS Husada, saya memaklumi ketidakmampuan dan kecerobohanmu sebagai manusia tamak dalam merawat saya. Setidaknya kamu sudah memperpanjang usia saya `sedikit' serta membohongi saya sekeluarga. Dr Johannes, saya sudah memaafkanmu dan percayalah bahwa Tuhan juga pasti mengampunimu. Kalau ada waktu, saya akan mampir ke tempat praktekmu di Pluit untuk bersilaturahmi. Salam kemanusiaan, Alvin Daniel Sunarko