Maaf, kalau sudah pernah dapat artikel ini.

Regards,
Devie
 

-----Original Message-----
From: Iko Supriyono [mailto:[EMAIL PROTECTED] 
Sent: 26 Agustus 2003 12:44
To: kajian; lulusansmk8
Subject: [KAJIANet] Renungan hari ini

Dear ,
Kisah ini bisa kita jadikan pelajaran bagi kita semua, agar jangan
sampai kita melupakan orang tua kita, yang telah berjasa begitu besar
kepada kita. Maafkan kesalahan anakmu ma, pa, ku berjanji tak akan
pernah melupakanmu. Peluk cium ananda.

ANAK
Cerpen Chairil Gibran Ramadhan


Satu per satu anakku, setelah menikah, pergi meninggalkanku. Sementara aku,
sejak suamiku meninggal tiga bulan lalu, tetap tinggal di rumah besar kami
di Tebet bersama dua orang perempuan yang sudah 22 tahun bekerja padaku,
seorang sopir sekaligus tukang kebun, serta seorang keponakan suamiku yang
kedua orangtuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan pesawat terbang.

Suamiku sudah menyiapkan rumah untuk anak-anak kami, yang disewakannya
kepada orang-orang. Setelah mereka menikah barulah ia memberikan kunci
rumah-rumah itu. Ia membelinya saat memiliki jabatan tinggi di sebuah
departemen dan memperoleh 'uang lain-lain' dari orang-orang yang
mengharapkan langkahnya tidak terhalang sebutir kerikil pun. Ia melakukannya
karena ingin anak-anaknya mengenang dia sebagai ayah yang bertanggung jawab.

Suamiku meninggal akibat gagal jantung setelah 12 tahun pensiun. Sehari
sebelumnya ia sempat berbicara kepadaku, telah merasa lengkap menjadi ayah
karena melihat semua kejadian terhadap anak-anaknya: lahir, besar,
bersekolah, menyelesaikan pendidikan hingga perguruan tinggi, bekerja,
menikah, tinggal di rumah-rumah yang diberikannya, dan memiliki anak. Ia
dimakamkan di sebuah pemakaman luas sesuai yang pernah ia pesankan.

Hingga kini aku merasa ia masih ada di dalam rumah kami. Menjelang jam tujuh
pagi, lima sore, sembilan malam, aku masih selalu pergi ke dapur, membuatkan
secangkir teh manis untuknya. Anakku yang nomor satu rupanya mendapat cerita
ini dari keponakan suamiku yang tinggal bersamaku. Maka tadi sore ia datang
dan meminta aku tinggal di rumah besarnya di Ciputat.

Berkali-kali aku menolak, tentu karena aku merasa kasihan pada mendiang
suamiku, tapi ia tetap berkeras seperti ayahnya. Ia mengatakan akan lebih
mudah baginya untuk memantau dan mengurusku jika aku tinggal bersamanya. "Di
kamar besar yang lain Mama bisa meletakkan semua buku milik Mama. Kalau
tetap di sini Mama akan terus bersedih. Biarlah rumah ini Suci yang menjaga
dan mengurusnya bersama Mbak Tar, Mbak Mi, dan Bang Ali."
Akhirnya aku menyetujui saja.

Malam hari aku sering menangis mengingat suamiku. Sementara anak-anakku,
selama dua bulan aku di sini, tidak pernah ada yang datang. Dan anakku yang
nomor satu jarang sekali bertemu denganku. Ia pergi pagi ketika aku masih
mengaji di kamar, dan pulang begitu malam ketika aku sudah tertidur. Dalam
seminggu mungkin aku hanya bertemu dengannya dua atau tiga kali. Bahkan bisa
tidak sama sekali.

Aku sering mengingat masa ketika mereka kecil. Waktu itu setiap hari aku
bisa bertemu mereka. Lalu ketika mereka masuk perguruan tinggi dan bekerja,
aku pun mulai jarang bertemu. Lalu ketika mereka menikah dan tinggal di
rumah-rumah yang diberikan suamiku, memiliki anak dan sibuk dengan istri
atau suaminya, aku sudah tidak banyak berharap mereka akan mudah kutemui.

Sekarang apa yang aku dapat? Sebuah senyuman dan sapaan setiap pagi hari pun
tidak. Terlebih kata terima kasih atas jerih-payahku melahirkan, mendidik,
membesarkan, dan menyenangkan mereka. Aku tidak bermaksud meminta balasan.
Tetapi bagaimanapun menurutku mereka seharusnya tahu diri dan tahu
berterimakasih. Padahal sejak mereka kecil aku dan suamiku selalu
mengajarkan untuk tidak melupakan kebaikan seseorang.

Anakku yang nomor satu, hari ini memutuskan mengirimku ke sebuah panti
jompo, setelah istri dan ketiga anaknya sering mengeluhkan aku yang selalu
menangis tengah malam ketika aku teringat suamiku, karena katanya mengganggu
tidur mereka. Dua minggu lalu ia mengundang adik-adiknya datang. Ketika
semua berkumpul, kecuali anakku yang nomor empat yang tinggal di Australia,
ia memberitahukan keinginannya. "Lagipula Mama tidak mungkin kita biarkan
kembali ke Tebet. Terlalu banyak kenangan tentang Papa di sana yang bisa
membuat Mama sedih."
Dua bulan lagi umurku 68 tahun.

Setelah satu tahun aku di tinggal sini, hanya Lebaran lalu saja anak-anakku
datang. Sementara si Tar, si Mi, si Ali, serta keponakan suamiku yang pernah
delapan tahun tinggal bersamaku, hampir setiap akhir pekan menjengukku.

Hari itu semua anakku datang bersama suami, istri, dan anak-anak mereka.
Hanya yang nomor empat tidak datang, karena katanya uang jutaan rupiah untuk
membeli tiket pesawat bagi tiga orang ke Jakarta lebih baik disimpannya di
bank. Ia hanya mengirim kartu Lebaran disertai tulisan dan tanda tangannya.

Sedangkan cucu pertamaku memilih pergi ke rumah kekasihnya. Katanya karena
ia segan. Ingat, segan. Segan bertemu neneknya. Padahal dahulu aku yang
sering membersihkan kotorannya dan mengganti popok bila ia datang ke rumahku
bersama orangtuanya. Lalu hingga kini tidak pernah lagi mereka datang.

Hanya anakku yang nomor satu yang selalu mengirim ini dan itu kepadaku,
biasanya berupa buku-buku terbaru psikologi, filsafat, sejarah, sastra,
agama, sosial, seni, budaya, tentu saja, melalui sopirnya.

Setiap pukul 04.30 aku bangun, mandi dengan air hangat yang keluar dari
pancuran di bath-tub, sholat subuh, dan mengaji. Di sini kami seperti di
rumah sendiri. Bangun jam berapa saja kami berkeinginan. Sarapan dan makan
pun bebas memilih. Anak-anak telah membayar sangat tinggi untuk menitipkanku
di sini. Aku jadi teringat masa ketika indekos ketika aku belajar psikologi.
Hanya kini aku tidak tinggal bersama gadis-gadis cantik dan tidak untuk
menuntut ilmu apa-apa. Hanya menunggu ajal.

Tepat pukul 06.00 kami yang sudah bangun dianjurkan berkumpul di halaman
depan untuk berolahraga. Cukup tiga puluh menit sekadar untuk meregangkan
otot-otot tua kami. Setelah itu kami diminta untuk membersihkan diri, mandi
pagi lagi kalau mau. Pukul 08.00 biasanya kami akan berkumpul di ruang makan
untuk sarapan. Mereka yang bangun terlambat dan tidak ingin berolahraga dan
tidak ingin sarapan di ruang makan, bisa meminta petugas mengantarkan
sarapannya ke kamar.

Setelah itu hingga pukul 16.00 kami dipersilakan melakukan kegiatan apa saja
sesuai keinginan: merajut, melukis, menulis surat untuk anak-anak kami,
bermain catur, berkebun, membaca, menonton TV, mendengar radio,
berbincang-bincang dengan teman-teman lain, atau tidur siang. Dan setiap
pukul 16.30 kami biasanya akan duduk-duduk di teras panti sambil menikmati
secangkir teh manis dan kue-kue kecil.

Setelah itu kami diminta untuk mandi sore. Pukul 19.00 kami kembali
berkumpul di ruang makan. Malam ini aku menikmati segelas air teh manis
hangat, nasi putih, perkedel kentang, dan semur ikan bandeng dengan kuah
kental kesukaanku. Hari ini tepat tiga tahun aku masuk panti.

Aku, karena sejak muda mempunyai kegemaran membaca, setiap hari selalu hanya
membaca. Apa saja aku baca. Majalah berita, koran pagi, tabloid perempuan,
dan majalah perempuan yang dilanggani panti, tidak pernah kulewatkan, juga
buku-buku di perpustakaan. Selama lima tahun di sini, aku sudah membaca
semua buku yang ada di sana, dan tentu saja puluhan lainnya kiriman anakku
yang nomor satu.

Hari ini aku membaca sebuah buku filsafat. Sudah dua hari aku membacanya,
dan tampaknya hari ini pun belum akan selesai. Padahal ketika muda dahulu
satu buku tebal kubaca hanya dalam waktu satu hari, dan buku sedang cukup
setengah hari saja. Setelah tua aku menjadi mudah letih dan mengantuk.
Kemarin aku sulit sekali meneruskan buku itu. Aku tiba-tiba saja kembali
memikirkan suamiku dan juga umurku yang sudah semakin tua. Aku tahu aku
tidak akan lama lagi di sini. Teman-teman sebayaku semasa di perguruan
tinggi, sudah banyak yang tiada.

Dulu aku memiliki ratusan buku yang kubeli sejak umurku belasan tahun.
Sebelum tinggal di sini, aku ingat jumlahnya sekitar 524 buah. Tersimpan
rapi di perpustakaan pribadi di rumahku. Aku percaya anakku yang nomor tujuh
akan menjaga buku-buku itu. Kebetulan ia mempunyai kegemaran yang sama
denganku, meski sebenarnya keenam anakku yang lain, serta suamiku, juga
memiliki kegemaran yang sama. Hanya saja karena ia yang paling banyak
menghabiskan waktu bersamaku maka aku percaya ia akan menjaganya. Ketika
masih tinggal bersamaku hampir setiap awal bulan ia menemaniku pergi ke toko
buku, membeli buku-buku kegemaranku. Kebetulan aku paling menyukai buku
psikologi, karena ilmu itulah yang mampu membuatku tertarik masuk ke sebuah
fakultas hingga menyelesaikannya.

Tetapi sudah sepuluh tahun ini aku tidak melakukannya. Meski berkeinginan,
namun semuanya kini hanya ada di dalam angan-angan dan kenangan-kenanganku.
Untunglah anakku yang nomor satu selalu mengirimkan buku-buku kegemaranku
terbaru. Jadi aku tidak terlalu mengharapkan buku-buku di perpustakaan panti
yang hanya beberapa puluh saja. Ketika minggu kedua tinggal di sini pernah
kutanyakan kepada petugas, mereka hanya menjawab, "Uang panti tidak cukup,
Nyonya."

"Bukankah anak-anak kami sudah membayar sangat tinggi untuk menitipkan kami
di sini? Jadi bagaimana mungkin tidak cukup?"
"Saya hanya petugas, Nyonya. Urusan uang ketua yayasan yang mengatur.
Lagipula Bapak pernah mengatakan orang-orang tua di sini tidak terlalu suka
membaca."

"Begitu? Bagaimana dia tahu?"
"Bapak memang jarang datang ke sini, Nyonya. Maklumlah usaha Bapak tidak
hanya panti ini."
"Saya punya banyak buku di rumah. Boleh saya menyumbangkannya?"
"Dengan senang hati, Nyonya. Dengan senang hati."
Tetapi ternyata anakku yang nomor tujuh tidak memperbolehkannya. Di telepon
ia mengatakan buku-buku itu terlalu berharga karena ada yang sudah berumur
puluhan tahun dan sudah tidak beredar di pasaran. Ketika kukatakan buku-buku
itu akan lebih berharga jika dibaca orang lain, ia tetap tidak
memperbolehkannya. Katanya karena ia membaca pula buku-buku itu. "Lagipula
anggaplah sebagai warisan yang Mama berikan untukku."
Anak-anakku, mereka tidak pernah puas hanya menerima.

Dua hari lalu umurku 79 tahun. Aku tahu tidak akan lama lagi di sini. Hingga
malam, ketujuh anakku tidak ada satu pun datang atau sekedar menelepon.
Hanya datang si Tar, si Mi, si Ali, serta keponakan suamiku yang pernah
delapan tahun tinggal bersamaku.

Baru hari ini anakku yang nomor satu mengirim kado berisi selimut tebal dan
kartu ucapan buatan pabrik. Kado itu diantar seorang sopirnya. Ingat, sopir.
Dia tidak bisa datang, kata sopirnya, karena sibuk bekerja. Ingat, sibuk.
Sekali lagi ingat, sibuk. Padahal dahulu ketika masih tinggal bersamaku, aku
selalu menyiapkan masakan istimewa buatanku di hari ulang tahun mereka dan
merayakannya bersama-sama.

Bila tahu akan seperti ini, demi Tuhan, aku tidak bersedia melahirkan
mereka. Dan aku tahu, suamiku, pasti menyesal telah menghidupi mereka. Ya!
  

-- 
Best regards,
Iko                          mailto:[EMAIL PROTECTED]

PT. Bank Central Asia .Tbk
Biro Penguji Kelayakan Aplikasi
Wisma BCA I 9th Floor
Jl. Jendral Sudirman Kav. 22-23
Jakarta - 12920
Telp 5208650 - 5208750 Ext. 19126



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor ---------------------~-->
Buy Ink Cartridges or Refill Kits for Your HP, Epson, Canon or Lexmark
Printer at Myinks.com. Free s/h on orders $50 or more to the US & Canada.
http://www.c1tracking.com/l.asp?cid=5511
http://us.click.yahoo.com/l.m7sD/LIdGAA/qnsNAA/IYOolB/TM
---------------------------------------------------------------------~->

==================================================
Mohon agar bahan kajian yg Bpk/Ibu kirimkan disertai rujukan yang jelas atau
sumber e-mail paling awal jika bahan tsb adalah forwad dari e-mail lain.
==================================================
Bahan kajian kirimkan ke :   [EMAIL PROTECTED]

Untuk bergabung kiirmkan e-mail kosong ke :
[EMAIL PROTECTED] 

Your use of Yahoo! Groups is subject to http://docs.yahoo.com/info/terms/ 



---------------------------------------------------------------------
>> Mau kirim bunga hari ini ? Klik, http://www.indokado.com/
>> Info balita, http://www.balita-anda.com
>> Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]

Kirim email ke