Kamis, 29 Mei 2003, 7:53 WIB 

Deteksi Dini Janin "Sindrom Down" Tidak Harus Mahal 

Deteksi dini kelainan Sindrom Down pada janin sejauh ini merupakan suatu
cara yang banyak direkomendasikan kalangan medis untuk memastikan kondisi
janin. Sebab, kelainan genetik hingga kini belum ada obatnya. Deteksi dini
juga dapat dilakukan masyarakat dengan biaya murah di Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo. 

Demikian dikatakan Prof Dr dr Biran Affandi SpOG seusai peresmian Klinik
OSCAR (One Stop Clinic for Assessment of Risk) di Rumah Sakit Ibu dan Anak
(RSIA) Family di Jakarta, Rabu (28/5/2003). 
Dengan OSCAR, pasien bisa melakukan deteksi dini Sindrom Down dan berbagai
kelainan genetik lainnya secara terpadu, meliputi konseling sebelum
pemeriksaan, uji biokimia terhadap ibu, pemeriksaan janin dengan USG, dan
konseling pascapemeriksaan.  

Menurut Biran, kalangan masyarakat umum saat ini masih sangat kurang
kesadarannya untuk mendeteksi kelainan sindrom Down pada janin usia dini
(tiga bulan pertama). "Kesadaran kurang karena kurangnya pengetahuan dan
informasi," katanya. 

Kelainan genetik dapat terjadi pada berbagai kalangan masyarakat. Bagi
masyarakat berada, akses untuk mendeteksi dini kelainan sindrom Down dapat
dilakukan di berbagai klinik swasta dengan biaya ratusan ribu rupiah. Sedang
kalangan menengah bawah sebenarnya dapat melakukan deteksi dini dengan biaya
murah. 

Ditemui terpisah Prof Dr dr Gulardi Wiknjosastro SpOG mengatakan, deteksi
dini SD dapat dilakukan di klinik fetomaternal RSCM. Pemeriksaan dilakukan
dengan memeriksa ketebalan cairan di belakang leher (nuchal translucency
atau NT), bisa juga dengan mengambil dan memeriksa cairan ketuban atau
plasenta, dan pemeriksaan darah ibu hamil. Jika ketebalan NT lebih dari 3
milimeter, berarti janin berisiko terkena sindrom Down. 

Gulardi mengatakan, deteksi dini sindrom Down dilakukan pada usia janin
mulai 11 minggu (2,5 bulan) sampai 14 minggu. Dengan demikian, orangtua akan
diberi kesempatan memutuskan segala hal terhadap janinnya. Jika memang
kehamilan ingin diteruskan, orangtua setidaknya sudah siap secara mental. 

Kelainan sindrom Down terjadi karena kelebihan jumlah kromosom pada kromosom
nomor 21, yang seharusnya dua menjadi tiga. Kelainan kromosom itu bukan
faktor keturunan. Kelainan bisa menyebabkan penderitanya mengalami kelainan
fisik seperti kelainan jantung bawaan, otot-otot melemah (hypotonia), dan
retardasi mental akibat hambatan perkembangan kecerdasan dan psikomotor.
Hingga kini, penyebab kelainan jumlah kromosom itu masih belum dapat
diketahui. 

Menurut Biran, sejauh ini diketahui faktor usia ibu hamil mempengaruhi
tingkat risiko janin mengidap SD. Usia yang berisiko adalah ibu hamil pada
usia lebih dari 35 tahun. Kehamilan pada usia lebih dari 40 tahun, risikonya
meningkat 10 kali lipat dibanding pada usia 35 tahun. Sel telur (ovum)
semakin menua seiring pertambahan usia perempuan.
"Kalau usia perempuan 40 tahun, ovumnya berarti sudah 40 tahun," kata Biran.


Dokter Jonny Herman SpOG dari Rumah Sakit Ibu dan Anak Family mengatakan,
kini pendeteksian sindrom Down dapat dilakukan dengan alat ultrasonografi
3D/4D yang berakurasi hingga 90 persen. Jika diperlukan, setelah pemeriksaan
ultrasonografi, dapat dilakukan pemeriksaan kromosom (chorionic Villus
Sampling atau CVS) untuk memastikan kelainan kromosom pada janin. (B14)  

Copyright =A9 2002 PT. Kompas Cyber Media =20 


---
Outgoing mail is certified Virus Free.
Checked by AVG anti-virus system (http://www.grisoft.com).
Version: 6.0.295 / Virus Database: 159 - Release Date: 11/1/01
 

---------------------------------------------------------------------
>> Mau kirim bunga hari ini ? Klik, http://www.indokado.com/
>> Info balita, http://www.balita-anda.com
>> Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]

Kirim email ke