http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=10865&cl=Fokus

Menyoroti Sisi Gelap Child Trafficking di Indramayu
[3/8/04]

Child trafficking atau perdagangan anak merupakan salah satu bentuk
eksploitasi terhadap anak. Perangkat dan aparat hukum yang ada belum 
mampu memberantas kejahatan terorganisir tersebut.

Indramayu, kabupaten yang terletak di pesisir pantai utara Laut
Jawamerupakan potret nyata dari maraknya perdagangan seks komersial yang
secara sistematis melibatkan anak-anak sebagai "korban". Dalam sebuah 
perjalanan bersama tim International Labour Organization (ILO) selama
dua hari pekan lalu, hukumonline berkesempatan menelusuri daerah yang
sering disebut-sebut sebagai sentra perdagangan anak. Di kota "lumbung
beras" itu, anak-anak perempuan berusia mulai dari 13 sampai 18 tahun
menjadi sasaran utama para penyalur perdagangan seks tersebut. Lihat
saja yang terjadi di desa Amis dan Jambak, dua desa di kabupaten
Indramayu dimana perdagangan anak untuk eksploitasi seks marak
dilakukan. Perdagangan anak di dua desa ini bisa disebut sudah
"membudaya" dan menjadi hal yang sangat umum.

"Tingkat trafficking di Indramayu sangat tinggi dan memperihatinkan,"
ujar Pandji Putranto, Senior Programme Officer ILO untuk Penanggulangan
Penghapusan Pekerjaan Terburuk Anak. 

Maraknya perdagangan anak di kabupaten yang memiliki luas 204.011 hektar
itu adalah suatu ironi, mengingat Indonesia telah memiliki Undang-Undang
No.23/2002 tentang Perlindungan Anak (UU No.23/2002). Betapa tidak, UU
No.23/2002 telah secara tegas melarang perbuatan child trafficking. 

Iming-iming uang dan kekayaan

Iming-iming uang kerap menjadi `pemikat' yang belakangan justru
menjerumuskan mereka ke lembah kelam. Berdasarkan survei yang dilakukan
Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) dan ILO tahun 2003-2004,
anak-anak yang dieksploitasi sebagai pekerja seks umumnya ditawarkan
upah 5 juta rupiah sebulan. Simaklah penuturan Solehat dan Iis, dua
remaja Indramayu yang tergoda rayuan uang. 

Solehat menuturkan, teman-teman sebayanya sudah banyak yang `sukses'
menjadi Pekerja Seks Komersial (PSK) di Jakarta. Cerita-cerita tentang
kehidupan mewah dan menjanjikan, kerap dikatakan teman-temannya yang
pulang dari Jakarta. Solehat menggambarkan, banyak anak-anak di desanya
yang berasal dari keluarga tidak mampu karena umumnya orangtua mereka
hanya bekerja sebagai buruh tani ataupun TKW. Oleh sebab itu, mereka
sering tergiur bila diiming-imingi pekerjaan dan penghasilan yang besar.

Lain halnya dengan Iis, ketika ditawari pekerjaan sebagai entertainer
oleh pamannya, ia langsung tertarik. Iis berniat membantu ayahnya yang
hanya bekerja sebagai buruh tani dan ibunya yang bekerja sebagai TKW.
Jadi, Iis tidak menampik tawaran tersebut.

Jauh di dalam lubuk hatinya, sebenarnya Iis sadar banyak teman sebayanya
yang malah terjerumus menjadi PSK lantaran bekerja di kota besar. Namun
tidak pernah terlintas dalam benaknya ketika ia datang ke kawasan Duren
Sawit, Jakarta, gadis yang kini tengah melanjutkan sekolahnya di
Indramayu, diharuskan berpose dengan pakaian minim dan latihan menari
ala striptease. Beruntung, Iis masih bisa melarikan diri. 

Solehat dan Iis hanyalah contoh kecil untuk menggambarkan persoalan
child trafficking di Indramayu. Kendatipun demikian, belum banyak pihak
yang berinisiatif untuk mengatasi masalah "jual-menjual" anak ini.
Padahal, masyarakat di sekitar dua desa tersebut sudah sadar betul dan
mengetahui tentang adanya `proyek' perdagangan anak yang terorganisir.
"Sudah banyak pihak yang tahu betul kalau di desa-desa di Indramayu
marak terjadi trafficking," ujar Andri Yoga Utami dari YKAI. 

Namun, untuk memberantasnya ternyata tidak semudah membalikkan telapak
tangan. Ironisnya lagi, tak jarang orangtua dari anak-anak yang
diperdagangkan tersebut, malah mendorong buah hatinya melakukan
pekerjaan seks komersil. Uang selalu dijadikan faktor utama.

Anto Ikayadi, salah satu pekerja sosial untuk membantu pencegahan
perdagangan anak ini mengakui, masyarakat di desa Jambak dan Amis justru
berlomba-lomba untuk membangun rumah mewah dan harta yang berlimpah.

"Ada kebanggaan tersendiri ketika menjadi orang kaya di daerah ini," 
ujar Anto. Padahal uang tersebut disinyalir diperoleh dari anak-anak 
mereka, yang harus mencari nafkah sebagai PSK.

Selain persoalan materi, berdasarkan pengamatan hukumonline, gaya hidup
yang cenderung `metropolis' juga dengan mudah ditemui di pelosok
Indramayu. Ketika hukumonline menjelajahi pelosok Indramayu bersama tim
ILO, di pelosok-pelosok desa masih saja bisa ditemui diskotik maupun
cafe. Dan jangan heran, sepanjang jalan-jalan sepi di sekitar sawah,
banyak dijumpai pemandangan pasangan muda-mudi yang tengah bercengkrama
di sepeda motor. Tak ubahnya kehidupan metropolis. 

Meski sering dianggap lumrah, ternyata tidak semua masyarakat sekitar
menganggap masalah perdagangan anak menjadi bagian dari budaya
masyarakat Indramayu. Berdasatkan data-data investigasi yang dikumpulkan
pekerja-pekerja sosial dari YKAI dan ILO, dikatakan memang ada pro dan
kontra tentang perdagangan anak ini.  

Berdasarkan survei dan temuan-temuan YKAI dan ILO di lapangan,
pemerintah daerah, bupati, dan guru merupakan elemen-elemen yang secara
tegas menentang child trafficking ini. Sedangkan kepala desa setempat,
orangtua maupun kepolisian, justru disinyalir memberi jalan mulus bagi
praktek child trafficking ini. 

Masyarakat di sekitar desa Jambak dan Amis bisa jadi sudah mengetahui
siapa yang menjadi `penyalur' di sekitar wilayah mereka. Toh, dua orang
berinisial W yang disinyalir menjadi `penyalur' tetap bisa melenggang
bebas. Kedua orang itu memang sempat didatangi aparat keamanan setempat.
Namun mereka didatangi bukan untuk dimintai pertanggungjawaban atau
ditangkap atas perbuatannya, melainkan dimintai upeti untuk `uang tutup
mulut'.

Melihat maraknya perdagangan anak ini—khususnya di daerah Indramayu--
, Andri Yoga Utami yang beberapa tahun terakhir aktif  mensosialisasikan
pencegahan perdagangan anak, menggarisbawahi pentingnya menempatkan anak
sebagai korban bukan sebagai pelaku.

Berdasarkan penelusuran latar belakang dan pengalaman-pengalaman anak-
anak di desa setempat, jelas harus dibedakan antara pelaku dengan
korban. Dalam hal ini, Andri menegaskan bahwa dalam persoalan child
trafficking, anak tidak bisa ditempatkan sebagai pelaku, melainkan
korban.

UU No.23/2002 yang lahir sejak Oktober 2002 lalu secara jelas telah 
menjabarkan konsep tentang hak-hak anak, termasuk memberikan
perlindungan bagi anak. Menurut Andri, pada persoalan child trafficking
kesalahan bukan pada anak. Sebab, ketentuan-ketentuan yang ada dalam UU
No.23/2002 secara jelas menyebutkan bahwa anak berhak mendapatkan
perlindungan dari orangtua dan negara. Oleh sebab itu, dalam proses
perdagangan ini, orangtua maupun orang-orang dewasa di tempat korban
tinggal dianggap gagal dalam memberi perlindungan untuk si anak. 

Sulitnya mengimplementasikan UU

Perdagangan anak untuk eksploitasi seks komersial ternyata tidak hanya
merambah daerah Indramayu semata. Survei ILO menunjukkan sejumlah tempat
di Indonesia seperti Garut, Kuningan, Jepara, Pekalongan,
Situbondo,Banyuwangi, Medan, Lampung, Pontianak dan Singkawang, tercatat
sebagai daerah yang marak terjadinya perdagangan anak untuk eksploitasi
seks.

Untuk itu, implementasi UU No.23/2002 sangat diharapkan dapat
menanggulangi masalah perdagangan anak ini. UU tersebut sebenarnya
secara jelas telah menjabarkan pasal-pasal yang dapat menjerat pelaku
perdagangan anak untuk ekploitasi seks komersial.

"Beberapa pasal dalam Undang-undang Perlindungan Anak sudah memberi
perlindungan bagi child trafficking. Namun penerapannya inilah yang
sangat sulit dilakukan" ujar Andri. Pasal 82 dan 83 UU No.23/2002 secara
jelas telah menjatuhkan pidana penjara selama 15 tahun dan denda sebesar
Rp. 300 juta rupiah sebagai bentuk hukuman maksimal bagi pelaku
perdagangan anak, khususnya untuk eksploitasi seks.

Selain itu beberapa pasal lain yang juga memberikan kewajiban dan
tanggung jawab bagi pemerintah, lembaga negara dan masyarakat untuk
melindungi anak-anak dari eksploitasi seksual sudah tercantum secara
jelas dalam uraian Pasal 59, 66, 68 UUNo.23/2002.

Apalagi Pandji menambahkan, UU No.23/2002 yang dibuat sebagai
perlindungan hukum bagi anak, telah mengadopsi beberapa Konvensi ILO.
Misalnya tentang batas minimum usia yang diperbolehkan bekerja dan
penghapusan mengenai bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.
"Dengan telah diadopsinya konvensi-konvensi tersebut UU ini (UU
Perlindungan Anak,red) cukup baik, namun yang sulit ya implementasinya,"
ujar Pandji.  

Sejumlah kasus di Indramayu merupakan contoh betapa sulitnya menghapus
perdagangan anak khususnya untuk ekploitasi seksual. Padahal, menurut
Pandji perangkat hukum untuk menjerat pelaku sudah siap.

Namun, untuk menjerat pelaku perdagangan anak ini tidak semudah
membalikkan telapak tangan. "Sudah ada konspirasi tingkat tinggi yang
sulit untuk menjerat pelaku," tambah Andri.

Ia menambahkan, dalam perdagangan anak untuk eksploitasi seks ini
tentunya melibatkan banyak pihak, bukan hanya penyalur semata. Pengusaha
dari daerah-daerah dimana korban bekerja, seharusnya juga digiring untuk
bertanggungjawab dalam kasus perdagangan anak ini.

Selain itu, ada cara-cara lain dari pelaku perdagangan anak untuk
menghindari jeratan aparat yang berwajib. Menurut Pandji, orang-orang
yang ditangkap polisi dengan dugaan melakukan perdagangan anak untuk
eksploitasi seks sering berdalih. "Ketika diminta keterangan, mereka
beralasan anak-anak korban akan dibawa ke kota untuk bekerja sebagai
pembantu rumah tangga," ujar Pandji. Akibatnya, pelaku-pelaku
perdagangan anak pun lolos dengan mudah.

Pandji sendiri mengakui, untuk menjerat pelaku perdagangan anak harus
ada kerjasama antara masyarakat, korban maupun pihak kepolisian. Itu
juga bukan perkara yang mudah. Berkaca dari contoh dua desa di Indramayu
di atas, dapat dikatakan masyarakat sekitar sudah mengetahui siapa-siapa
"dalang" yang bermain dalam perdagangan anak di desa tersebut. Namun,
hingga saat ini tidak ada pihak yang berani bertindak.

Menurut Anto, beberapa faktor menjadi penyebab sulitnya menggiring dan
menangkap pelaku perdagangan anak di di desa-desa KabupatenIndramayu.
"Sebagian masyarakat masih menerima masalah perdagangan anak dengan
reaksi yang biasa-biasa saja," tukas Anto. Jadi, tidak ada laporan
masyarakat yang resmi kepada Kepolisian setempat. Inilah yang membuat
pelaku perdagangan makin sulit lagi untuk dikriminalisasikan. Akankah
kita menutup mata dan menyerah bila kejadian yang menimpa Solehat dan
Iis terus terulang?

(Gie)







---------------------------------
  Yahoo! Messenger - Communicate instantly..."Ping" your friends today! Download 
Messenger Now

Kirim email ke