Message
  Semoga Bermanfaat 
  -bunda AQIL-

        PASIEN Indonesia, Antara Rumah Sakit "Setan" & Rumah Sakit "Malaikat"

        Jakarta, KCM 

                 
                   
                   
             

        Hingga tahun 2003 berakhir, kondisi pelayanan kesehatan di Indonesia masih 
jauh dari harapan.

        Saat ini, seperti yang umum dikeluhkan masyarakat, biaya kesehatan sangatlah 
mahal. Tidak adanya aturan perundang-undangan, Standar Profesi, dan Standar Pelayanan 
Medis yang jelas bagi pemberi jasa pelayanan kesehatan (paramedis), semakin menambah 
runyam persoalan pelayanan kesehatan.

        Lalu, apa yang terjadi kalau orang Indonesia sakit dan membutuhkan perawatan? 
Pilihannya tinggal dua: ketemu rumah sakit "malaikat" atau rumah sakit "setan". 
Begitulah suara sumbang yang muncul dalam pembicaraan sehari-hari.

        Kalau pasien ketemu rumah sakit atau dokter "malaikat", beruntunglah mereka, 
karena  akan ditangani dengan baik sesuai penyakitnya.

        Sialnya, jika ketemu rumah sakit "setan". Pasien akan dirawat berlama-lama, 
meski sudah sembuh. Tetapi, trik ini sudah kuno. Yang sekarang terjadi, begitu pasien 
masuk, langsung dilakukan pemeriksaan lengkap, memakai peralatan canggih seperti 
magnetic resonance imaging (MRI), USG (Ultrasonograf) tiga dimensi, computerized 
tomographic scanner (CT Scanner) dan lain-lain, meski tidak diperlukan.

        Benarkah rumor seperti itu? 

        "Oh iya, hal-hal seperti itu memang terjadi," kata Dr. Marius Widjajarta SE, 
Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI).

        "Bahkan pernah terjadi pasien yang mengeluh batuk pilek langsung masuk Unit 
Gawat Darurat dan di-scanning. Kalau sudah begitu biayanya bisa mencapai 2-3 juta 
rupiah."

        "Nanti, kalau koceknya sudah "diperas" habis-habisan tinggal "tulang"-nya 
dilempar ke rumah sakit lain," lanjut dokter Marius.  

        Ada pula pasien yang didiagnosis keroyokan. Istilahnya "paket lima". Begitu 
pasien  masuk rumah sakit langsung diperiksa lima dokter spesialis sekaligus. 
Akibatnya, biaya yang harus dikeluarkan pasien jadi membengkak. Sedihnya lagi, ibu 
hamil pun "dikerjai". Dengan berbagai dalih mereka diharuskan melahirkan melalui 
operasi cesar. Bahkan ada rumah sakit bersalin yang 60 persen pasiennya melahirkan 
dengan cara operasi.  

        Nah, trik operasi cesar pun ternyata sudah ketinggalan zaman. Yang terbaru 
adalah paket operasi cesar plus ambil usus buntu. Rupanya, tidak hanya restoran fried 
chicken yang mengeluarkan PAHE -- paket hemat tapi tidak hemat-- dokter pun demikian. 

        Mengapa dokter tega berbuat begitu? Seorang dokter mengaku ditekan oleh rumah 
sakit tempatnya bekerja. "Saya mendapat laporan dari salah satu rekan sejawat kalau 
dia tidak mau melakukan yang mereka inginkan, dia akan dipecat," kata dokter Marius.  

        Tipu-tipu rumah sakit macam ini sebenarnya sudah ada sejak dulu, hanya saja 
kalau dulu masih malu-malu, sekarang ini makin menggila karena persaingan semakin 
ketat.  

        Kalau sudah begitu keadaannya, Anda jangan heran bila periksa ke rumah sakit A 
dikatakan gagal ginjal, sementara rumah sakit B mengatakan Anda sakit kanker. Padahal 
mungkin penyakit Anda mungkin tidaklah seseram itu. Bagi yang punya uang berlebih, 
bisa pergi ke Singapura, untuk mendapatkan diagnosis bandingan. Nah, yang koceknya 
pas-pasan tinggallah dilempar kiri kanan sampai uangnya ludes. 

        Menggambarkan kondisi pelayanan kesehatan Indonesia memang seperti masuk hutan 
belantara. Tak ada rambu-rambunya. Orang berlalu lintas saja diatur dengan rambu lalu 
lintas, sementara yang menyangkut kesehatan dan nyawa manusia sama sekali tak ada 
aturan dan standar yang jelas. Misalnya, aturan perundang-undangan, Standar Profesi 
atau Standar Pelayanan Tenaga Kesehatan. 

        Akibatnya, pelayanan kesehatan tidak lagi berdasarkan kemanusiaan, tetapi 
bisnis. Siapa yang mampu membayar, dialah yang berhak menikmati pelayanan maksimal. 
Sering kali, begitu pasien datang untuk mendapatkan pertolongan, yang pertama ditanya 
petugas rumah sakit bukan apa penyakitnya. Mereka lebih dulu ditanya mengenai 
pembiayaan dan siapa penanggung jawabnya.

        Meskipun masyarakat ekonomi lemah berhak mendapatkan pelayanan kesehatan 
secara cuma-cuma, hal itu masih sebatas wacana alias lips service saja.

        "Kalau orang miskin sakit, ibaratnya tinggal menunggu mati saja," kata Dr. 
Marius.

        Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan yang lebih dari 10 tahun 
diundangkan, hingga kini belum ada kepastian hukum dan perlindungan hukumnya, baik 
bagi  paramedis maupun bagi penerima pelayanan kesehatan (pasien). Salah satunya, 
belum ada peraturan yang mengatur soal malapraktik yang dilakukan oleh dokter.

        Kembali lagi yang merana konsumen kesehatan. Pasien sulit menuntut dokter 
secara hukum, sebab tidak ada standar yang membedakan mana tindakan malpraktik, 
kecelakaan dan kelalaian. Kalau hakim memakai pasal-pasal dalam Kitab Undang-undang 
Hukum Pidana (KUHP), dokter bisa berkelit, masak tenaga profesional disamakan dengan 
tukang jambret? Misalkan, seorang dokter bergelar profesor melakukan operasi lalu 
pasiennya mati, tentu mereka tak mau disamakan dengan dengan tukang jambret yang 
nodong di Blok M, kemudian korbannya mati ditusuk.

        Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia yang sejak November 
1998-Juli 2003 menangani 254 kasus, 90 persen menyelesaikan kasusnya melalui mediasi. 
"Untuk penggantian dibawah 100 juta, beberapa kali bisa kita dapatkan," ujar Dr. 
Marius. 

        Tapi jangan harap bisa sampai ke pengadilan, tambahnya. Dokternya pasti menang 
terus, sebab hakim tak bisa membedakan mana malpraktik, mana kelalaian, mana 
kecelakaan, karena standarnya memang tidak ada.  

        Bayar Dulu Baru Sakit  

        ·        Satu hal yang bisa mencegah merajalelanya rumah sakit "setan" adalah 
sistem asuransi sosial yang akan segera diberlakukan pemerintah April 2004 mendatang. 

        Pemerintah dan DPR sudah berkomitmen menyelesaikan pembahasan Rancangan 
Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (RUU SJSN) dan Undang-Undang Asuransi 
Kesehatan Sosial Nasional, akhir Maret. 

        Dengan undang-undang tersebut, semua penduduk Indonesia diwajibkan memiliki 
asuransi sosial untuk mendapatkan jaminan pelayanan kesehatan. Bagi penduduk miskin, 
premi dibayar pemerintah daerah setempat. 

        TNI, pegawai negeri, dan pegawai swasta, bisa mendapatkan asuransi melalui 
instansi masing-masing. Sedangkan yang bekerja secara informal dan mampu secara 
ekonomi dapat mendaftarkan diri secara langsung ke Badan Penyelenggara Jaminan Sosial 
(BPJS), yaitu PT Askes, PT Taspen, PT Asabri, dan PT Jamsostek. 

        Asuransi ini memungkinkan masyarakat mendapat layanan kesehatan dasar, mulai 
dari puskesmas atau klinik kesehatan sampai rumah sakit yang menjadi rujukan. Setengah 
dari premi asuransi kesehatan dibayar pemilik usaha yang memiliki pekerja atau pemberi 
kerja, selebihnya dipotong dari gaji pekerja. Asuransi berlaku untuk peserta yang 
terdaftar berikut anggota keluarganya. 

        Bagi masyarakat miskin, pemerintah mengeluarkan kartu sehat yang berfungsi 
sebagai polis asuransi sosial. Dengan kartu tersebut, masyarakat bisa mengakses 
pelayanan kesehatan gratis sesuai dengan standar layanan kesehatan dasar. Pemerintah 
daerah akan membayar premi asuransi sosial untuk masyarakat miskin Rp 6.500 per orang 
per bulan.

        Dengan sistem asuransi ini akan ada pergeseran dari sakit baru bayar menjadi 
bayar baru sakit. Orang harus membayar dulu, dan jika mengalami gangguan kesehatan 
tinggal menggunakan fasilitas haknya. 

        Bila sistem asuransi ini diberlakukan, dokter dan rumah sakit tidak bisa 
"main-main" lagi. Kalau reputasi mereka buruk, tentu tidak akan dipakai sebagai 
rujukan oleh perusahaan asuransi. 

        Perusahana asuransi dalam hal ini akan membuat kriteria tersediri, misalnya, 
kalau pasien sakit A maka biaya yang akan diganti hanya pelayanan yang memang 
berkaitan dengan penyakitnya. Bila ada tindakan medik diluar semestinya, akan menjadi 
tanggungjawab dokter dan rumah sakit yang bersangkutan. Dengan demikian rumah sakit 
dan dokter "setan" yang selama ini bertindak seenak udel-nya akan akan rontok dengan 
sendirinya.

        Semoga di tahun monyet ini, warga Indonesia berkesempatan mendapatkan 
pelayanan kesehatan yang lebih baik. Kalangan rumah sakit sebaiknya mau merenungkan 
kembali layanan rumah sakit-nya kepada masyarakat. Berani mengakui kelemahan yang ada 
dan memperbaikinya. (ZRP)  



        " Aku percaya hubungan kami tertulis pada bintang-bintang  
          di langit. Kami memang ditakdirkan bersama dan aku tahu  
          dia adalah belahan jiwaku "

       


------------------------------------------------------------------------
          



Kirim email ke