Semoga jadi bahan renungan kita & smg berkenan.....

Mamanya Ravael


Subject: RE: Aku Biasa-Biasa Saja...... 

--------------------------------------------------------------------------------

From: Subiantari, Mrs. 
Sent: Tuesday, March 22, 2005 12:33 PM
Subject: FW: Aku Biasa-Biasa Saja......

 

Dear All,

Isi tulisan di bawah memberi inspirasi untuk kita para orang tua (terutama ibu) 
untuk mendalami kecerdasan emosional anak kita.... 

Ternyata kecerdasan intelektual tidak ada artinya tanpa diimbangi kecerdasan 
emosional. Indah hidup ini kalau anak2 memiliki keduanya. Amien.

 

Salam,

Tari

 

 

  "Aku Biasa-Biasa Saja."

 

 

Mon, 28 Feb  2005 00:08:49 -0800

 

Tahukah anda, apa yang paling dibanggakan orang tua dari anak-anaknya?

Boleh jadi adalah kecerdasan scholastic, seperti matematika, bahasa, menggambar

(visual), musik (musical), dan olahraga (kinestetik).

 

Tetapi, pernahkah kita membanggakan jika anak kita memiliki kecerdasan moral,  
kecerdasan intrapersonal, atau kecerdasan interpersonal?

 

Rasanya jarang, sebab ketiga kecerdasan yang terakhir hampir pasti uncountable, 
tidak bisa dihitung, dan sayang sekali tidak ada pontennya (nilainya) di 
sekolah, karena di sekolah hanya memberikan penilaian kuantitatif.

 

Ada sebuah cerita tentang seorang anak, sebut saja namanya Fani (6,5 tahun), 
kelas I SD. Ia memiliki banyak sekali teman. Dan ia pun tidak bermasalah harus 
berganti teman duduk di sekolahnya. Ia juga bergaul dengan siapa saja 
dilingkungan rumahnya.  Adasatu hal yang menarik saat ia bercerita tentang 
teman-temannya.

 

"Bu, Ifa pinter sekali lho, Bu...! Pinter Matematika, Bahasa Indonesia,  
Menggambar....pokoknya pinter sekali....!" katanya santai. Vivi juga pintar 
sekali  menggambar, gambarnya bagus ...sekali! Kalau si Yahya hafalannya   
banyaaak... sekali!"

 

Ya, memang. Fani senang sekali membanggakan teman-temannya. Ketika mendengar 
celoteh anaknya ibunya tersenyum dan bertanya, " Kalau Mbak Fani pinter apa?" 

 

Ia menjawab dengan cengiran khasnya,"

Hehehe...kalau aku, sih, biasa-biasa saja".

 

Jawaban itu mungkin akan sangat biasa bagi anda, tetapi ibunya tertegun, karena 
pada dasarnya Fani memang demikian. Ia biasa-biasa saja untuk ukuran prestasi 
scholastic.

 

Tapi coba kita dengarkan apa cerita gurunya, bahwa Fani sering diminta 
bantuannya untuk membimbing temannya yang sangat lamban mengerjakan tugas 
sekolah,   mendamaikan temannya yang bertengkar.

 

Bahkan ketika dua orang adiknya, Farah (4,5 tahun) dan Fadila (2,5 tahun) 
bertengkar. Fani langsung turun tangan. "Sudah..! sudah, Dek! Sama saudara 
tidak boleh bertengkar, Hayo tadi siap yang  mulai?" 

Adiknya saling tunjuk."Hayo, jujur ...! Jujur itu disayang Allah..! Sekarang 
salaman ya... saling memaafkan".

 

Pun ketika suatu hari ia melihat baju-baju bagus di toko, dengarlah komentarnya:

"Wah bajunya bagus-bagus ya Bu? Aku sebenarnya pengin, tapi bajuku dirumah 
masih bagus-bagus, nanti saja kalau sudah jelek dan Ibu sudah punya rezeki, aku 
minta dibelikan ..."

 

Ibunya pun tak kuasa menahan air matanya, Subhanallah, anak sekecil itu sudah 
bisa menunda keinginan, sebagai salah satu ciri kecerdasan emosional.

 

Saya sebenarnya ingin berbagi cerita tentang ini kepada anda, karena betapa 
banyak dari kita yang mengabaikan kecerdasan-kecerdasan emosional seperti itu. 
Padahal kita tahu dalam setiap tes penerimaan pegawai, yang lebih banyak 
diterima adalah orang yang mempunyai kecerdasan emosional walaupun dari sisi 
kecerdasan scholastic adalah  BIASA-BIASA SAJA.

 

Kadang kita merasa rendah diri manakala anak kita tidak mencapai ranking 
sepuluh  besar disekolah. Tetapi herannya, kita tidak rendah diri manakala 
anak-anak kita tumbuh menjadi pribadi yang egois, mau menang sendiri, sombong, 
suka menipu atau tidak biasa bergaul.

 

Maka ketika Fani mengatakan "AKU BIASA-BIASA SAJA", maka saat itu ibunya  
menjawab "Alhamdulillah, Mbak Fani suka menolong teman-teman, tidak sombong, 
mau bergaul dengan siapa saja. Itu adalah kelebihan Mbak Fani, diteruskan dan 
disyukuri ya..?" 

Ya... ibunya ingin mensupport dan memberikan reward yang positif bagi Fani. 
Karena kita tahu anak-anak kita adalah amanah dan suatu saat amanah itu akan 
diambil dan ditanyakan bagaimana kita menjaga amanah. Sebagaimana doa kita 
setiap hari agar anak-anak menjadi penyejuk mata dan hati.

 

Sudahkah kita mencoba untuk menggali potensi-potensi kecerdasan emosional 
anak-anak kita? 

Kalau belum mulailah dari diri kita, saat ini juga.

 

  --

  L. Fini R.A

 

Reply via email to