maaf kalau sudah pernah ...


-----Original Message-----
From: Hasan, Disnawiyanti (SLSMera Contractor) [mailto:[EMAIL PROTECTED]
Sent: Thursday, May 26, 2005 9:42 AM
Subject: I cried for my brother six times"


Aku Menangis untuk Adikku Enam Kali oleh: DHB Wicaksono 
Bismilahirrahmanirrahim Walhamdulillah Wassholatu Wassalamu `Ala Rasulillah, 
Wa'ala Aalihie Washohbihie Waman Walaah amma ba'du...

Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi 
hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung mereka menghadap 
ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku. Suatu 
ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di sekelilingku 
kelihatannya membawanya, aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku. Ayah 
segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan diriku berlutut di depan tembok, 
dengan sebuah tongkat bambu di tangannya. 

"Siapa yang mencuri uang itu?" Beliau bertanya. 

Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun 
mengaku, jadi Beliau mengatakan, "Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak 
dipukul!" 

Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi.

Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata, "Ayah, aku yang 
melakukannya!" 

Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu 
marahnya sehingga ia terus menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan nafas. 
Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi, "Kamu 
sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan 
kamu lakukan di masa mendatang? ... Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu 
pencuri tidak tahu malu!" 

Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan 
luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. 

Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku 
menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, "Kak, jangan menangis lagi 
sekarang. Semuanya sudah terjadi." 

Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk 
maju mengaku. 

Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru 
kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. 
Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11. 

Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA 
di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, saya diterima untuk masuk ke sebuah 
universitas propinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok 
tembakaunya, bungkus demi bungkus. Saya mendengarnya merengut, "Kedua anak kita 
memberikan hasil yang begitu baik...hasil yang begitu baik..." 

Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, "Apa gunanya? 
Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?" 

Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata, "Ayah, saya 
tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup membaca banyak buku." 

Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya.

"Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan jika berarti 
saya mesti mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai 
selesai!" 

Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang. 
Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, 
dan berkata, "Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya; kalau tidak 
ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini." 

Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke universitas. 
Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah 
dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. 
Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas 
bantalku: 

"Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan 
mengirimu uang." 

Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air 
mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 
20. 

Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku 
hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku 
akhirnya sampai ke tahun ketiga (di universitas). 

Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan 
memberitahukan, "Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana!" 

Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku?

Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor 
tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, "Mengapa kamu tidak bilang 
pada teman sekamarku kamu adalah adikku?" 

Dia menjawab, tersenyum, "Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka 
pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu? Apa mereka tidak akan 
menertawakanmu?" 

Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari 
adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, "Aku tidak perduli 
omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apa pun juga! Kamu adalah adikku 
bagaimana pun penampilanmu..." 

Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia 
memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan, "Saya melihat semua gadis kota 
memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu." 

Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam 
pelukanku dan menangis dan menangis. Tahun itu, ia berusia 20. Aku 23. 

Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah 
diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku menari 
seperti gadis kecil di depan ibuku. 

"Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah 
kita!" 

Tetapi katanya, sambil tersenyum, "Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk 
membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka 
ketika memasang kaca jendela baru itu.." 

Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus 
jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan membalut 
lukanya. 

"Apakah itu sakit?" Aku menanyakannya.

"Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi konstruksi, 
batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku 
bekerja dan..." 

Di tengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan 
air mata mengalir deras turun ke wajahku. Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26. 

Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Berkali-kali suamiku dan aku 
mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka 
tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak 
akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan, "Kak, 
jagalah mertuamu aja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini." 

Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkan 
pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak 
tawaran tersebut. Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi. 

Suatu hari, adikku diatas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah kabel, ketika 
ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah sakit. 

Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, saya 
menggerutu, "Mengapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak akan pernah 
harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka 
yang begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?" 

Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya. "Pikirkan 
kakak ipar--ia baru saja jadi direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan. 
Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan menjadi 
buah bibir orang?" 

Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar kata-kataku yang 
sepatah-sepatah: "Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!" 

"Mengapa membicarakan masa lalu?" 

Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29.

Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari dusun 
itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya, 
"Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?" 

Tanpa bahkan berpikir ia menjawab, "Kakakku."

Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan tidak dapat 
kuingat. 

"Ketika saya pergi sekolah SD, ia berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari 
kakakku dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke 
rumah. Suatu hari, Saya kehilangan satu dari sarung tanganku. Kakakku 
memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan berjalan 
sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca 
yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya. Sejak hari itu, 
saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan baik 
kepadanya." 

Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya 
kepadaku. 

Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku, "Dalam hidupku, orang yang 
paling aku berterima kasih kepadanya adalah adikku."

Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan perayaan 
ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.

Diterjemahkan dari : "I cried for my brother six times"

~ Disna ~  ph. 021 - 348 30475 - 80 ext. 117
 Menara Era 11th Floor 
 Jkt 10410    

                                                                                

Disclaimer - This message and any attachments are confidential and may contain 
privileged information intended only for the use of the addressee(s) named 
above. If you are not the intended recipient or the person responsible for 
delivering this message to the intended recipient, you are hereby notified that 
any use, dissemination, distribution or reproduction of this message is 
prohibited. If you have received this message in error, please notify sender 
immediately by return e-mail and destroy any electronic or paper copy of this 
message. Sender advises that this email and any attached files should be 
scanned to detect viruses and accepts no liability for loss or damage resulting 
from the use of any attached files. 


                                                           

 


Kirim email ke