Untuk bocah malang itu Teman-teman, Ada yang menyakitkan mendengar kisah anak SD yang mencoba bunuh diri gara-gara tak mampu membayar beaya ekstra kulrikuler sebesar Rp 2,500 (betul, masih jauh lebih mahal sebungkus bentoel mild). Haryanto, bocah itu, kini masih dirawat di rumah sakit Hasan Sadikin Bandung. Menurut dokter, ia terancam cacat. Otaknya sempat tak mendapat pasokan oksigen entah berapa lama akibat tercekik. Ia juga terancam bisu, karena pita suaranya tercekat kabel telepon.
Tentu, masih sangat banyak haryanto-haryanto yang lain. Dan kita tak mampu berbuat apa-apa. Tapi untuk seorang Haryanto, yang terancam cacat dan bisu, kita coba untuk sedikit -- sangat sedikit, membantunya. Kita berharap ia sembuh seperti sediakala. Kita berharap ia bisa kembali bersekolah, seperti harapan teman-temannya di kampung dan di sekolahnya. Sisakan sebagian penghasilan Anda untuk masa depan bocah malang itu. Sampai akhir pekan ini saja (minggu 31 agustus 2003), karena pekan depan uang itu sudah harus sampai ke tangan yang berhak. No rekening BCA Capem Utan Kayu 580-0091090 atas nama PT MEdia Lintas Inti Nusantara (yang menaungi Kantor Berita Radio 68H) Ps: silakan kalau ada yang bersedia memforward email ini ke pihak lain. --------- Tajuk Bocah Itu Gantung Diri 25 Agustus 2003 68H Bocah itu baru berumur 12 tahun. Namanya Haryanto. Tinggal dan bersekolah di sebuah desa kecil di Garut, Jawa Barat. Ia masih duduk di kelas 6 SD. Hampir tak ada yang istimewa dari keterangan tentang Haryanto. Ia mungkin hanya satu dari sekian juta anak-anak Indonesia yang sering kita lupakan. Sampai Jum'at pekan lalu, ia mengejutkan kita semua dengan kenekadannya menggantung diri, dengan seutas tali jemuran. Astaga. Bocah semuda itu, umur-umur yang mestinya masih menikmati kegembiraan anak-anak. Tetapi, Haryanto begitu putus asanya, hingga mencoba untuk menyudahi hidupnya. Untunglah, percobaan bunuh diri itu gagal. Sampai kemarin ia masih tak sadarkan diri dan dirawat di rumah sakit. Sambil terus berharap Haryanto akan dapat diselamatkan, kita tak habis pikir : begitu beratkah beban masyarakat kita, sehingga anak-anakpun tak ingin melanjutkan hidup mereka? Haryanto mencoba bunuh diri, karena merasa sangat malu setelah ibunya tak mampu memberi uang Rp 2.500. Uang itu dibutuhkannya untuk membayar kegiatan tambahan di sekolah. Membuat sulaman burung. Meskipun itu hanya kegiatan tambahan, Haryanto rupanya tak mau ketinggalan dari teman-temannya. Mungkin juga ia takut pada gurunya, kalau tak ikut kegiatan itu. Kita tahu, suasana semacam apa yang terbangun dalam hubungan guru-murid di masyarakat kita. Kalau sang guru sudah terlanjur janji dengan pihak lain tentang perlunya pelajaran tambahan itu, hukumnya menjadi wajib buat para siswa untuk ikut serta. Dan, ibu Haryanto bukanlah ibu yang pelit. Ia hanya terpaksa membuat prioritas dalam keterdesakannya. Sebagai istri kuli pikul di pasar, ia tentu tak mendapat uang belanja yang berlebih. Pagi itu, ketika Haryanto minta uang untuk kegiatan ekstra kurikuler, ia hanya mendapat uang belanja Rp 7.000 dari suaminya. Itu pun sudah habis untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Mana pula tersisa untuk membayar biaya praktek sulaman burung. Lantas kita pun mengelus dada : sebuah keluarga dengan sejumlah anak, hidup hanya dengan Rp 7.000 sehari. Kira-kira sama dengan tingkat hidup kaum marhaen di masa Belanda dulu. Kaum marhaen yang pernah menjadi alasan Soekarno menggugat, karena mereka terpaksa hidup dengan penghasilan sebenggol sehari. Begitu burukkah prestasi bangsa ini, sehingga sebagian warganya masih tertinggal dalam taraf hidup seperti masa Belanda satu abad lalu? Gugatan ini sulit untuk dielakkan. Badan PBB untuk pembangunan, baru-baru ini melansir peringkat kesejahteraan bangsa-bangsa. Dan, Indonesia tak jauh dari peringkat negara sangat miskin seperti Laos dan Vietnam. Kita tertinggal jauh dari tetangga dekat, semacam Malaysia, Thailand, apalagi Singapura. Anehnya, peringkat buruk itu, tak mendapat perhatian selayaknya dari pemerintah kita. Kaum intelektual pun tak ramai membicarakan rapot buruk itu. Tetapi di tengah apatisme dan hilangnya inspirasi, kita ingin tetap berharap pada perbaikan masalah pendidikan. Sebab, inilah akar yang di kemudian hari dapat memperbaiki nasib bangsa kita. Undang-Undang Dasar telah mematok agar pemerintah mengalokasikan 20% anggarannya untuk pendidikan. Ini belum dilaksanakan. Dan, kita mendesak agar kebijakan sektor pendidikan segera diubah. Terutama, gunakan dana tambahan itu untuk biaya-biaya yang langsung berkaitan dengan kegiatan belajar mengajar. Jangan pula, tambahan dana itu macet di tingkat departemen atau kantor cabangnya. Kita ingin, kesejahteraan guru termasuk yang diutamakan dari tambahan dana itu. Agar guru-guru tak perlu ngobyek, atau mencari tambahan penghasilan dari kontraktor-kontraktor pendidikan. Kita tak ingin lagi, ada guru yang memaksakan tambahan pelajaran, hanya karena ingin mendapat komisi. Kita tak ingin murid-murid dibebani dengan macam-macam biaya tambahan; dan membuat orang tua mereka tak berdaya. Pengalaman Haryanto, bocah kecil dari Garut yang ingin bunuh diri itu, tak boleh terulang kembali. --------------------------------------------------------------------- >> Mau kirim bunga hari ini ? Klik, http://www.indokado.com/ >> Info balita, http://www.balita-anda.com >> Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]