Buat yang gak sempat browsing, barangkali ada manfaatnya....
Pendidikan Lumrah Asal Tak Salah Kaprah ADJIE Massaid mengaku sangat dekat dengan dua anaknya, Zahwa Rezi Massaid dan Aaliyah Massaid. Apalagi setelah berpisah dengan penyanyi Reza Artamevia, urusan menyediaan kebutuhan anaknya menjadi tanggung jawab Adjie. Untunglah, ia sudah terbiasa mengurus penyediaan susu, vitamin, buah-buahan, dan urusan tetek-bengek anak lainnya. Tentu saja termasuk mengurus sekolah si kecil. Artis yang sekarang menjadi anggota DPR itu memilih High/Scope Indonesia untuk menyekolahkan Zahwa, 4 1/2 tahun, dan Aaliyah, 3 tahun. Keduanya ditempatkan di kelas pra-sekolah. ''Saya berusaha memilih sekolah yang terbaik buat anak-anak saya,'' kata Adjie, yang bernama lengkap Chandra Pratomo Samiadjie Massaid itu. Sebelum memilih High/Scope, Adjie sudah mencoba dua sekolah lain. Ketika Zahwa berumur enam bulan, dia dititipkan di Kidsports selama 13 bulan. Kemudian Zahwa dipindahkan ke Kinderland di Pondok Indah selama tiga bulan. Adjie menilai, fasilitas kedua sekolah itu sudah tak memadai untuk aktivitas anaknya. Padahal, keduanya termasuk sekolah yang banyak diminati untuk pendidikan pra-sekolah. ''Semakin besar, anak saya makin gesit dan menyukai tempat yang lapang, '' kata Adjie, anggota Partai Demokrat perwakilan Jawa Timur. Anak kedua, Aaliyah, pun akhirnya disekolahkan di tempat yang sama. Adjie harus membayar Rp 3,6 juta tiap tiga bulan per anaknya. Sedangkan uang gedung Rp 10 juta. Ketika menempatkan Zahwa yang baru enam bulan di pra-sekolah, ada rekannya yang bertanya kepada Adjie. ''Apa sih perlunya menyekolahkan bayi?'' kata teman Adjie itu. Tapi Adjie beranggapan bahwa anak butuh bersosialisasi sedini mungkin. Jika dikurung di rumah, anak-anak jadi kurang pergaulan. Berdasar keyakinan itu, Adjie melepas anak dari rumah seawal mungkin. Faktanya, menurut pengamatan dia, kedua anaknya kini cukup percaya diri. Zahwa sudah terbiasa bercakap dengan bahasa Inggris. ''What is that, Dad? What is this, Dad?'' kata Zahwa, seperti ditirukan ayahnya. Saat Gatra mengunjungi salah satu sekolah High/Scope di Taman Alfa Indah, Jakarta Barat, anak-anak di sana memang terbiasa berbahasa Inggris. ''Hello Miss. We are going home,'' sapa seorang anak dengan ramah. Kebetulan yang ditemui Gatra adalah anak-anak SD yang hendak pulang. Dheynda Chrisya Arifia, 8 tahun, berbadan besar, berkulit hitam manis, tampak dijemput ibunya. Sang bunda, Yanti Yoni D. Waluyo, 52 tahun, rajin antar-jemput putra keempatnya itu. Umur Dheynda jauh dari kakak-kakaknya yang sudah menikah semua. ''Kelahiran Dheynda memang sangat ditunggu, karena dia laki-laki satu-satunya,'' tutur Yanti. Sebelum di High/Scope, Dheynda ditempatkan di Taman Kanak-kanak Mutiara milik Kak Seto Mulyadi. Tapi Dheynda tidak melanjutkan SD di sana karena dipandang kurang cocok oleh ibunya. ''Pekerjaan rumahnya banyak, besoknya masih ulangan. Padahal, anak-anak kan butuh bermain dan bergaul,'' kata Yanti kepada Gatra. Awalnya, Dheynda adalah anak pemalu dan penakut. ''Anak saya berbadan besar tapi bernyali kecil," ujar Yanti. Tapi sekarang Dheynda sudah berani ke kamar mandi sendiri, serta bisa makan dan ganti baju tanpa dibantu. Meski di sekolah bercakap-cakap dengan bahasa Inggris, ia masih ikut les privat di rumah dua kali seminggu. Selain itu, ia juga mengikuti ekstrakurikuler matematika dan renang. Sebenarnya, menurut Antarina Amir, pemimpin High/Scope, mata pelajaran yang diberikan sekolahnya sudah memadai. Anak didik masuk ke kelas pukul delapan pagi dan pulang pukul dua siang. ''Tapi orangtua sering salah kaprah. Mereka masih mengursuskan anaknya sampai kecapekan,'' kata Rina, panggilan Antarina Amir, pemegang lisensi High/Scope untuk Asia Pasifik sejak 1996. Namun Rina mengakui, orangtua zaman sekarang banyak yang gerah menghadapi ketatnya persaingan memperoleh pekerjaan di masa mendatang. Tidak mengherankan jika minat orangtua memasukkan anaknya ke sekolah berstandar internasional makin tinggi. Demikian juga yang terjadi di High/Scope. Sejak berdiri pada 1996, sekarang High/Scope memiliki sekolah di lima lokasi, mulai dari pra-sekolah sampai SMP. Satu lagi berada di Medan, Sumatera Utara. Jumlah murid seluruhnya 1.300 anak. ''Tahun 2007, kami harus memiliki SMA,'' kata Rina, yang mengaku punya hubungan darah dengan Ki Hajar Dewantara, tokoh pejuang pendidikan Indonesia. Untuk memenuhi kebutuhan pasar, High/Scope menawarkan kurikulum untuk mempersiapkan anak didik agar bisa bersaing dengan putra-putri dunia. Itulah sebabnya, High/Scope menggunakan bahasa Inggris dalam percakapan sehari-hari. ''Tapi bukan bermaksud kebarat-baratan,'' ujar Rina, alumnus Clarion University of Pennsylvania, Amerika Serikat. Sebagai ''imbalannya'', sekolah kerap mengadakan acara ''Indonesian Day'', saat anak-anak wajib berkata-kata dalam bahasa Indonesia. Hari itu, siswa juga diperkenalkan dengan makanan, pakaian, dan adat dari berbagai daerah di Nusantara. Pengantar bahasa Inggris sebenarnya juga banyak diterapkan di sekolah lain. Misalnya di Kinderfield, yang berlokasi di kawasan Tebet, Jakarta Selatan. ''Pada intinya, kami mengajarkan bahasa Inggris, matematika, olahraga, dan seni, '' kata Yustisia, pimpinan sekolah Kinderfield, kepada Elmy Diah Larasati dari Gatra. Ketika Gatra menengok kelas Kindergarten A, terlihat 16 anak sedang berlatih bahasa Inggris. Seorang guru mengajak anak-anak mengeja kata dalam bahasa Inggris. Sementara anak didik diminta melingkari kata sesuai gambar dalam kertas latihan. Tidak mengherankan, meski masih kecil, anak-anak sudah bisa cas-cis-cus dalam bahasa Inggris. Orangtua sering dibuat kikuk oleh kecakapan anak dalam berkomunikasi ala Amerika itu. ''Don't speak Indonesian!'' kata Alya Latisha, 6 tahun, kepada ibunya, Nunik Maharani Maulana. Demi anaknya, Nunik yang karyawan perusahaan minyak asing itu menyesuaikan diri dengan banyak bercakap dalam bahasa Inggris. Tisha adalah anak kedua Nunik yang bersekolah di Kinderfield. Anak terkecil, Ahmad Kemal Maulana, 4 tahun, juga sekolah di situ. Demikian juga putri pertamanya, Amyra Zuri Nandini, 7 tahun, yang kini duduk di kelas I SD. Dalam bahasa Inggris, Amyra bahkan sudah bisa menulis cerita sehari-hari di atas satu halaman kertas. ''Kadang saya kaget, sebab dia sudah menggunakan kata-kata yang sulit," ujar Nunik. Misalnya kata confidence, yang dulu baru dikenal ibu berusia 36 tahun itu waktu sekolah di SMP. Dengan bekal bahasa pergaulan internasional yang kuat itu, Nunik yakin anak-anaknya bisa menghadapi masa depan dengan lebih percaya diri. ''Saya sendiri tidak menentukan anak mesti jadi apa,'' kata wanita yang bersuamikan pengusaha Rahim Maulana itu. Rupanya Nunik sudah kapok memaksakan kemauannya kepada anak. Suatu kali, ia pernah mengarahkan Tisha yang pemalu untuk berlatih pidato dan drama. Hasilnya, Tisha justru tertekan dan dengan tegas menolak meneruskan latihan. ''Speech, no!'' Nunik kini lebih menginginkan anak-anaknya percaya diri dengan caranya masing-masing. Selain dengan mengembangkan kemampuan akademis, ketiga buah hatinya juga diikutkan dalam berbagai kegiatan seni dan olahraga. Amyra berlatih tari balet, olahraga tekwondo, dan kursus piano. Tisha aktif berlatih nyanyi, melukis, dan menjadi anggota drum band. Sedangkan Kemal sementara ini ikut melukis. Toh, Nunik tetap merasa pendidikan agama di sekolah anaknya masih sangat kurang. Padahal, ia berpendapat, sepandai-pandai anaknya dalam ilmu pengetahuan, agama tidak boleh ditinggalkan. Ia pun mengundang guru mengaji ke rumahnya. Selain mengajari baca Al-Quran, guru itu juga mengajari etika dan mendongeng kisah-kisah yang mengandung nilai-nilai kebaikan. Beberapa orangtua malah menganggap ajaran agama bukan pelajaran sampingan. Karena itu, mereka mengirim anak-anaknya ke sekolah-sekolah plus dengan label agama. Misalnya Lazuardi Global Islamic School di Cinere yang artinya ''Sekolah Taman''. Disebut taman karena begitu banyak pepohonan yang ada di lokasi sekolah. Karena berbasis Islam, di setiap pelajaran selalu diselipkan ajaran agama. Kegiatan baca-tulis Al-Quran, salat berjamaah, dan pesantren kilat adalah santapan rutin di Lazuardi. Sekolah ''beragama'' itu menjadi sasaran orangtua yang mengharap anaknya bisa memegang teguh ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. ''Saya mencari sekolah dengan kriteria sederhana saja. Menanamkan pelajaran agama, dan metode pengajarannya tidak mengekang anak,'' kata Untung Rahardjo, 37 tahun. Untung mendaftarkan anaknya, Faiz Ainurrofiq, 6 tahun, ke Lazuardi. Karyawan Telkom yang tinggal di Depok, Jawa Barat, ini mendapat saran dari teman sejawatnya untuk memilih Lazuardi. Untung pun tertarik, meski harus keluar duit Rp 16,2 juta untuk uang pangkal, dan uang bulanan Rp Rp 440.000. Ketika memasuki kawasan sekolah yang luasnya 2 hektare itu, Untung merasakan suasana yang sejuk. Pohon rambutan, jambu, pepaya, dan banyak lagi ternyata dikelola oleh para siswa. Ketika panen, sekolah menyelenggarakan ''Market Day'', saat anak-anak menjual hasil kebun itu kepada guru dan orangtua siswa. Selain buah-buahan, sekolah juga menyediakan kebun sayur-sayuran, seperti bayam, terong, dan kangkung. ''Sayur-sayuran itu nanti dijual. Uangnya bisa disumbangkan ke penduduk yang membutuhkan,'' kata Lizmar Rohimi, Manajer Usaha Lazuardi, kepada Dahlya Maryana dari Gatra. Tumbuhnya sekolah Islam di Indonesia dipelopori sukses Al-Azhar Kebayoran Baru, Jakarta, yang berdiri sejak 1963. ''Sekolah kami lebih plus dibandingkan sekolah nasional plus lainnya, kok,'' kata Hawin Churiyati, kepala seksi yang mengurus kurikulum TK-SD Al-Azhar. Di Al-Azhar, murid belajar agama Islam selama enam jam per minggu. Sementara di sekolah umum, biasanya hanya dua jam. Hawin berpromosi bahwa kurikulumnya selalu diperbarui berdasar kemajuan zaman dan masukan dari para orangtua. Karena nama Al-Azhar sudah terkenal, minat orangtua menyekolahkan anaknya ke sana cukup besar. Pada saat penerimaan siswa SD, yang dibutuhkan sekitar 25 anak per kelas. Tapi, menurut Hawin, peminatnya mencapai empat kali jumlah kursi yang tersedia. Untuk mempermudah dapat tiket ke SD, orangtua biasanya memasukkan anaknya sejak TK di Al-Azhar. Sebab lulusan TK Al-Azhar tidak perlu tes untuk masuk ke SD Al-Azhar. Kecenderungan pasangan muda mengirim anak-anaknya ke sekolah serba plus tentu dengan harapan bakal menempatkan anaknya di jajaran generasi yahud masa depan. Tapi orangtua harus bijak memilih sekolah yang sesuai dengan kemampuan anaknya. "Jangan cuma tergiur oleh tawaran fasilitas serba plus, '' kata Ch. Suprapto, Direktur Pendidikan TK dan SD, Departemen Pendidikan Nasional. Suprapto mengingatkan sekolah agar tidak membebani murid TK dan SD secara berlebihan cuma agar terlihat hebat. ''Ciptakan pembelajaran yang menyenangkan,'' katanya. Apalagi, sekolah kadang menjadi ''andalan'' orangtua yang sibuk untuk menitipkan anaknya. Lihatlah apa yang dialami pasangan Puguh Santoso, 34 tahun, dan Septi Widyastuti, 33 tahun, warga Yogyakarta. Pasangan muda ini menyekolahkan anaknya, Aufa Haridz Aristya Widya, 4 tahun, di pra-TK Budi Mulia, Yogyakarta. Septi sibuk meneruskan sekolah S-2 di Jurusan Biologi Universitas Airlangga, Surabaya. Sementara suaminya bekerja di Jakarta. ''Kasihan Aufa, tidak bisa ketemu saya dan ayahnya. Di rumah hanya dengan pembantu. Makanya, saya sekolahkan dia biar punya teman,'' kata Septi kepada Tri Wahyu Cahyono dari Gatra. Meski tak terungkap, bisa jadi itu pula sebenarnya alasan para orangtua menyekolahkan anaknya sejak dini, walaupun ongkosnya mahal. Rihad Wiranto, Dessy Eresina Pinem, dan Elmy Diah Larasati [Laporan Utama, Gatra Nomor 20 Beredar Senin, 28 Maret 2005] AYO GALANG SOLIDARITAS UNTUK MEMBANTU KORBAN MUSIBAH DI ACEH & DAN SUMATERA UTARA !!! ================ Kirim bunga, http://www.indokado.com Info balita: http://www.balita-anda.com Stop berlangganan/unsubscribe dari milis ini, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED] Peraturan milis, email ke: [EMAIL PROTECTED]