KAPAN ANAK BELAJAR BAHASA INGGRIS?

 
Ada anggapan, semakin muda usia semakin mudah anak belajar bahasa daripada
orang dewasa. Ada pula yang berpendapat, belajar bahasa asing sejak dini
bukan jaminan. Sementara yang lain bilang, keberhasilan belajar bahasa asing
sangat ditentukan oleh motif atau kebutuhan berkomunikasi dalam
lingkungannya. Mana yang benar? E. Kosasih, mahasiswa Pengajaran Bahasa pada
Program Pascasarjana IKIP Bandung, dan wartawan Intisari A. Hery Suyono
menuturkannya berikut ini.

Belakangan ini aneka kursus bahasa asing, terutama Inggris, kian semarak.
Tidak hanya untuk orang dewasa, tetapi juga anak-anak. Lembaga persekolahan
pun tak mau ketinggalan zaman. Pengajaran bahasa Inggris yang semula hanya
dikenal di tingkat SMTP, kini diberikan kepada siswa SD, bahkan murid
Sekolah Taman Kanak-Kanak.

Fenomena seperti itu antara lain terpacu oleh obsesi orang tua yang
menghendaki anaknya cepat bisa berbahasa asing. Mereka berpandangan, semakin
dini anak belajar bahasa asing, semakin mudah ia menguasai bahasa itu.
Lalu, bagaimana pendapat para pakar bahasa?

Masa emas belajar bahasa
Beberapa pakar bahasa mendukung pandangan "semakin dini anak belajar bahasa
asing, semakin mudah anak menguasai bahasa itu". Misalnya, McLaughlin dan
Genesee menyatakan bahwa anak-anak lebih cepat memperoleh bahasa tanpa
banyak kesukaran dibandingkan dengan orang dewasa.

Demikian pula Eric H. Lennenberg, ahli neurologi, berpendapat bahwa sebelum
masa pubertas, daya pikir (otak) anak lebih lentur. Makanya, ia lebih mudah
belajar bahasa. Sedangkan sesudahnya akan makin berkurang dan pencapaiannya
pun tidak maksimal.

Dr. Bambang Kaswanti Purwo, ketua Program Studi Linguistik Terapan Bahasa
Inggris, Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta, dalam tulisannya Pangajaran
Bahasa Inggris di SD dan SMTP, menyebut bahwa usia 6 - 12 tahun, merupakan
masa emas atau paling ideal untuk belajar bahasa selain bahasa ibu (bahasa
pertama). Alasannya, otak anak masih plastis dan lentur, sehingga proses
penyerapan bahasa lebih mulus.

Lagi pula daya penyerapan bahasa pada anak berfungsi secara otomatis. Cukup
dengan pemajanan diri (self-exposure) pada bahasa tertentu, misalnya ia
tinggal di suatu lingkungan yang berbahasa lain dari bahasa ibunya, dengan
mudah anak akan dapat menguasai bahasa itu. Masa emas itu sudah tidak
dimiliki oleh orang dewasa.

Namun, bukan berarti orang dewasa tidak mampu menguasai bahasa kedua (bahasa
asing). Lenneberg mengemukakan, orang dewasa dengan inteligensia rata-rata
pun mampu mempelajari bahasa kedua selewat usia 20 tahun. Bahkan ada yang
mampu belajar berkomunikasi bahasa asing pada usia 40 tahun.

Kenyataan itu tidaklah bertentangan dengan hipotesis mengenai batasan usia
untuk penguasaan bahasa karena penataan bahasa pada otak sudah terbentuk
pada masa kanak-kanak. Hanya saja lewat masa pubertas terjadi "hambatan
pembelajaran bahasa" (language learning blocks). "Jadi, maklum bila belajar
bahasa selewat masa pubertas, justru lebih repot daripada ketika usia lima
belas atau lima tahun," ujar Bambang.

Pada penguasaan bahasa pertama dikenal istilah "masa kritis" (critical
period). Pada penguasaan bahasa kedua (bahasa asing) terdapat istilah "masa
peka" (sensitive period). Berdasarkan penelitian Patkowski, masa peka
penguasaan sintaksis bahasa asing adalah masa sampai usia 15 tahun. Anak
yang dihadapkan pada bahasa asing sebelum usia 15 tahun mampu menguasai
sintaksis bahasa asing seperti penutur asli. Sebaliknya, pada orang dewasa
hampir tak mungkin aksen bahasa asing dapat dikuasai.

Lebih detail dipaparkan oleh peneliti lain. Penelitian Fathman terhadap 200
anak berusia 6 - 15 tahun yang belajar bahasa Inggris sebagai bahasa kedua
di sekolah di AS, menunjukkan bahwa anak yang lebih muda (usia 6 - 10 tahun)
lebih berhasil pada penguasaan fonologi (tata bunyi) bahasa Inggris.
Sedangkan pada anak lebih tua (11 - 15 tahun) lebih berhasil pada penguasaan
morfologi (satuan bentuk bahasa terkecil) dan sintaksisnya (susunan kata dan
kalimat).

Masih tentang penguasaan aspek tertentu dari bahasa asing dalam kaitannya
dengan faktor usia, Scovel menyebutkan, kemampuan untuk menguasai aksen
bahasa asing berakhir sekitar usia 10 tahun. Sedangkan penguasaan kosa kata
dan sintaksis, menurut catatannya, tidak mengenal batasan usia.

Pro-kontra periode kritis
Masa ideal anak belajar bahasa bertolak dari apa yang disebut periode kritis
bagi penguasaan bahasa ibu. Periode kritis sebenarnya masih berupa hipotesis
bahwa dalam perjalanan hidup manusia terdapat jadwal biologis yang
menentukan masa-masa kegiatan seseorang (Brown, 1994).

Periode kritis sering dihubung-hubungkan dengan proses pembelahan antara
otak kiri dengan otak kanan. Hasil penelitian neurologis menyebutkan, pada
usia menjelang dewasa, fungsi-fungsi kemanusiaan terbagi atas dua bagian.
Fungsi intelektual, logika, analisis, dan kemampuan berbahasa berada pada
otak bagian kiri. Sedangkan fungsi yang berhubungan dengan emosi dan fungsi
lain yang bersifat sosial dikendalikan oleh belahan otak kanan. Ketika
memasuki proses pembelahan otak itulah, menurut para pakar anatomi bahasa,
masa peka bahasa itu berlangsung.

Setelah proses "penyebelahan" (lateralization) otak selesai, menurut
hipotesis Lenneberg, perkembangan bahasa cenderung menjadi "beku".
Keterampilan dasar yang belum dapat dicapai pada masa itu (kecuali untuk
artikulasi) biasanya akan tetap tidak sempurna.

Kapan tepatnya proses terjadinya masa pembelahan otak, masih terdapat
ketidaksepakatan di antara para ahli. Pandangan-pandangan yang berseberangan
antara lain dikemukakan oleh Sorenson dan Jane Hill.

Menurut penelitian Sorenson terhadap suku Tukaro di Amerika Selatan,
menjelang usia dewasa masyarakat Tukaro paling tidak sudah menguasai dua
atau tiga dari 24 bahasa yang biasanya mereka pergunakan. Yang lebih
mengherankan lagi, jumlah penguasaan bahasa itu malahan semakin banyak dan
lebih sempurna ketika mereka menjelang usia tua.

Bukti lain. Berdasarkan penelitian yang dilakukannya terhadap masyarakat
Barat, Jane Hill berkesimpulan bahwa dalam perkembangan normal seseorang
dapat mempelajari bahasa asing dengan sempurna, terlepas dari apakah ia
berusia muda atau tua.

Proses pembelahan otak, menurut Eric Lenneberg, terjadi sejak anak berusia
dua tahun dan berakhir menjelang pubertas. Sedangkan Norwan Geshwind
berpendapat, pembelahan otak (periode kritis) usai jauh sebelum masa
pubertas. Lebih ekstrem lagi pendapat Stephen Krashen, yakni proses
pembelahan itu berakhir sewaktu anak berusia lima tahun.

Dengan demikian, jelas bahwa hipotesis periode kritis tidak bisa dijadikan
kriteria keberhasilan pengajaran bahasa kedua atau bahasa asing.
Keberhasilan seseorang belajar bahasa asing, menurut Gardner dan Lambert,
tidak tergantung pada kemampuan intelektual atau kecakapan bawaan berbahasa,
tetapi sangat ditentukan oleh motif atau kebutuhan berkomunikasi dalam
lingkungannya.

Bukan jaminan
Sejak masuk SD bahkan TK, anak sudah "dituntut" menguasai lebih dari satu
bahasa; bahasa daerah dan Indonesia. Keduanya dipakai sebagai bahasa
pengantar dalam proses belajar-mengajar.

Betapa beratnya beban mereka, bila kemudian masih ditambah lagi belajar
bahasa Inggris. Empat bahasa harus mereka kuasai dalam satu periode,
misalnya.

Kenyataan itu bukannya menambah cepat anak menguasai bahasa asing. Di
samping akan menimbulkan beban psikologis, tak tertutup kemungkinan laju
perkembangan bahasa daerah dan nasional anak pun malahan terhambat, atau
justru merusak sistem-sistem bahasa yang terlebih dahulu dia kuasai.

Hal seperti itu tidak jauh berbeda dengan anak yang sedang belajar bola
tangan. Sebelum ia mahir bermain bola tangan, lalu ditimpa lagi dengan
permainan bola basket dan sepak bola. Pelatih tidak perlu heran apabila
kemudian si anak memasukkan bola dengan tangan ketika bertanding sepak bola,
atau menyundul dan menendang bola ketika anak bermain bola basket.

Jeperson jauh-jauh sebelumnya memperingatkan bahwa anak yang mempelajari dua
bahasa tidak akan dapat menguasai kedua bahasa itu dengan sama baiknya. Juga
tak akan sebaik mempelajari satu bahasa. Kerja otak untuk menguasai dua
bahasa akan menghambat anak untuk mempelajari hal lain yang harus dia
kuasai. Perkembangan bahasa anak terganggu, baik dalam penggunaan kosa kata,
struktur tata bahasa, bentuk kata, dan beberapa penyimpangan bahasa lainnya.

Tidak terelakkan, dalam era global penguasaan bahasa Inggris hukumnya wajib.
Siapa yang ingin luas pergaulan, sukses berbisnis, maupun menguasai ilmu
pengetahuan mau tidak mau harus menguasai bahasa yang satu ini. Namun, dalam
penanaman kita dituntut sikap bijak dan tidak tergesa-gesa.

Di samping perlu mempertimbangkan kemampuan anak, para orang tua hendaknya
memperhatikan pula kepentingan anak akan penguasaan bahasa daerah dan
nasional. Kedua bahasa itu tidak bisa dilepaskan begitu saja dari fungsi
keseharian dan tanggung jawab sosial anak. Sebab itu, akan lebih baik bila
bahasa Inggris atau bahasa asing lain diberikan setelah bahasa daerah dan
bahasa nasional terkuasai secara mantap. Pengajaran bahasa asing dalam usia
dini toh bukan jaminan mutlak keberhasilan berbahasa pada anak. 
 
*************************
 

AYO GALANG SOLIDARITAS UNTUK MEMBANTU KORBAN MUSIBAH DI ACEH & DAN SUMATERA 
UTARA !!!
================
Kirim bunga, http://www.indokado.com
Info balita: http://www.balita-anda.com
Stop berlangganan/unsubscribe dari milis ini, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]
Peraturan milis, email ke: [EMAIL PROTECTED]

Kirim email ke