HATI-HATI TERHADAP KONSPIRASI MENYELAMATKAN
PARA PENJAGAL POSO!

Sebagian kalangan Kristen kini gencar berkampanye menuntut pembebasan tiga PENJAGAL POSO, yaitu: Fabianus Tibo, Domingus da Silva, dan Marinus Riwu.

Vatikan sudah mengirim utusan kepada ketiga PENJAGAL yang kini taat beribadah di penjara. Sementara para pendeta dan aktifis Kristen kini berupaya memanipulasi fakta dengan mengatakan ketika PENJAGAL itu hanya KORBAN konspirasi. Mereka menilai Tibo Cs. sama sekali tidak bersalah.

Padahal lembaga hukum di republik ini sudah membuktikan ketiga orang itu sebagai AKTOR pembantaian atas Muslim Poso.

Umat Islam dan para aktifis Islam, serta segenap segmen bangsa lain, harap tidak termakan oleh kampanye manipulatif yang sangat menyinggung perasaan keadilan ribuan Muslim Poso, yang telah menyaksikan lebih dari 3 ribu Muslim Poso tewas dalam pembantaian berencana yang dipimpin oleh Ir. Lateka, Tibo, Riwu, da Silva, dan beberapa pendeta Poso (Tibo sendiri sudah menyebut beberapa nama pendeta dalam daftar 16 tokoh yang disebutnya sebagai aktor utama).

Kita memang senang dan amat setuju kalau eksekusi TIBO cs. ditunda demi untuk pemeriksaan 16 aktor intelektual Pembantaian Poso (kata yang lain 10 orang). Tapi bukan MEMBATALKAN eksekusi terhadap Para Penjagal itu!

Bagi kawan-kawan yang masih belum begitu yakin terhadap kesalahan TIBO CS. silakan baca pengakuan seorang mantan wartawan Antara di Poso. Dia sekarang masih tetap wartawan tapi di media lain.

Sebagai tambahan, jaksa agung muda Prasetyo dalam wawancara di AN TV juga sudah menyebutkan latar belakang Fabianus Tibo yang pernah menjadi residivis karena membunuh 4 (prang) Muslim atas dasar masalah agama!!!

Mansyur Alkatiri
Balitbang PP Al-Irsyad Al-Islamiyyah
www.alirsyad.org

CORDOVA Bookstore Online
www.cordova-bookstore.com
www.cordova-bookstore.com/maduarab.htm


OCHAN RUSLAN wrote:

Kawan-kawan,

Saya setuju dengan pikiran S. Sinansari Ecip soal keadilan hukum terhadap Fabianus Tibo, Marinus Riwu dan Dominggus da Silva. Tapi saya pikir, mungkin belum lengkap data yang disampaikan guru ku ini. Karena itu, ada beberapa data penting yang perlu disharing, juga demi dan untuk keadilan hukum di Indonesia yang oleh s. Sinansari Ecip nanti akan tercoreng-moreng.

Ir. Lateka adalah mantan pejabat di Dinas Kehutanan Sulawesi Tengah. Memang, dia adalah pimpinan "perang" Kelompok Merah yang membakar pemukiman dan membunuh masyarakat muslim di Poso Pesisir pada 23 Mei 2000 itu. Tapi, yang perlu diluruskan adalah soal kematian Lateka.

Sesungguhnya kematian Lateka ini bukan hanya karena dipukul dengan rotan milik Habib Saleh (Habib Shaleh adalah pimpinan majelis Zikir Nurul Khairaat di Poso--yang menjadi benteng bagi Poso Kota saat itu. Dimana ketika itu, warga muslim sudah banyak yang meninggalkan Poso, mengungsi ke Kodim dan Polres) yang diberikan kepada seorang jamaah majelis. Karena tidak mungkin, orang yang mati karena dipukul rotan, di perutnya ada bekas lobang tertembus peluru tajam. Saat itu, Lateka hendak memenggal kepala Habib Shaleh, lantas dengan teriakan Allahu Akbar, Habib Shaleh lalu memberikan rotan kepada seorang jamaah yang baru usai salat Subuh. Lalu Lateka dipukuli dan roboh, terus ditembak oleh polisi.

Saat itu, jika Lateka mendengarkan saran Kapolres Poso ketika itu, Baso Opu (kini sudah almarhum) maka sebenarnya kerusuhan sudah selesai ketika itu. Saat itu, saya kebetulan ada di Poso dan tidur di ruang kerja Kapolres karena semua hotel dan rumah terkunci rapat. Malam itu, Kapolres menerima telepon dari Lateka yang melaporkan bahwa dia akan masuk Poso pada malam itu juga.

Kapolres menyarankan agar Lateka mengurungkan niatnya. (saya mendengarkan Kapolres saling ngancam sama Lateka). Setelah itu juga Kapolres langsung memimpin rapat membahas soal rencana Lateka itu. Maka pasukan pun dikerahkan untuk antisipasi masuknya pasukan Lateka. Termasuk ada anggota Brimob yang ditempatkan di depan masjid Kelurahan Kayamanya itu.

Perintahnya satu saat itu: Tembak di tempat bagi perusuh).

Lateka benar-benar melaksanakan keinginannya. Dia datang dengan massa dalam jumlah besar, dengan menggunakan truk dan mobil mikrolet. Sasarannya adalah membumihanguskan Poso Kota. Perjalanan dia ke Poso Kota berhasil, tapi dihadang oleh jamaah Majelis Zikir Nurul Khairaat pimpinan Habib Shaleh.

Pertempuran sengit terjadi di depan masjid di Kelurahan Kayamanya itu. Allahu Akbar dan Haleluya bersahut-sahutan. Saat itu posisi berdiri saya hanya sekitar 50 meter dari lokasi pertempuran bersama Kapolres.


Sekitar 1 jam pertempuran itu terjadi, dan tiba-tiba terdengar pekik Allahu Akbar paling keras disertai robohnya Lateka dan mundurnya pasukan Merah, setelah tahu bahwa Lateka dan pimpinan pasukan sisiru (si perempuan yang ditulis s. Sinansari Ecip itu) tewas oleh pasukan Habib Shaleh. Lateka tewas dengan tangan yang terputus, lobang peluru di perut, dan luka-luka lainnya. Saat itu sudah sangat pagi, sekitar jam 06.15 wita.

Kapolres perintahkan, agar sebelum dimasukan ke dalam peti jenazah, tangan Lateka disambung kembali dengan dijahit, termasuk beberapa luka bekas tembakan itu agar diperban. Sampai di situ cerita tentang Lateka.

BAGAIMANA TIBO?

Setelah Lateka tewas, di Tentena sedang ada konsentrasi massa yang sangat besar di sebuah lapangan sepak bola. Saat itu, pihak GKST membacakan "surat wasiat" dari Lateka yang menunjuk Tibo sebagai pimpinan Kelompok Merah.

(Dedy Kurniawan--sekarang Tempo di Kendari---dulunya sama-sama saya di LKBN ANTARA Biro Palu punya foto itu).

Saat itu, saya memang tidak melihat Marinus. Saya hanya melihat Tibo dan Dominggus berwajah bengis dengan memegang parang panjang berkaos hitam.

Kapolda Sulteng saat itu, Zainal Abidin Ishak datang untuk negosiasi agar menghentikan kerusuhan. Tapi malah Kapolda Sulteng nyaris tewas (sorry memang Kapolda ini sangat jantan--maklum orang Makassar).

Tibo dieluk-elukan, disanjung-sanjung bak seorang Jenderal Besar yang akan memimpin pertempuran besar. Maka saat itulah, Tibo resmi menjadi pimpinan Kelompok Merah. Puluhan istri dan anak-anak mengaku bahwa suami mereka digantung dan dipenggal di depan mata kepala mereka, lalu mayatnya dibuang ke sungai Poso. Semuanya menunjuk Tibo, Dominggus dan Marinus. Para janda ini mengaku bahwa kemaluan mereka ditusuk-tusuk dengan sebatang kayu.

Semuanya mengatakan bahwa itu dilakukan oleh Dominggus di hadapan Tiibo. Mereka tahu itu adalah Dominggus, karena Tibo memerintahkan dengan menyebut nama Dominggus.

Jadi, memang korban muslim di Tagolu dan sekitarnya itu dibantai oleh pasukan Tibo. Saya bersama salah seorang dari Dompet Dhuafa Republika, kalau saya tidak salah saya sebut dia dengan Mas Ari atau Eri--maaf agak lupa-- menemukan di baruga (tempat pertemuan) di Desa Tagolu, banyak sekali tali bekas gantungan dan bekas darah orang diseret dan sudah mengering. Lalu kami juga menemukan ada kuburan massal yang berisi 19 mayat. Ada yang tinggal kepala, ada yang hanya kaki, tangan dan ada yang masih utuh.

Jadi, menurut saya bahwa pantas kalau memang ketiga yang saya sebut sebagai PENJAGAL POSO ini pantas dihukum mati karena perbuatannya. Soal 16 nama, itu perkara lain lagi. Itu adalah tugas polisi untuk mengungkapnya. Belakangan kan Tibo sudah mengklarifkikasi bahwa Yahya Pattiro, manta Asisten I Gubernur Sulteng tidak terlibat. Itu bukti bahwa Tibo tak bisa dipercaya--plin-plan. Jadi kemudian kalau 16 nama ini terbukti, hukum juga mereka.

Sekali lagi, Tibo memang pantas menerima hukuman itu. Hukuman mati itu juga mencerminkan keadilan bagi umat Islam di Poso. Hukuman mati bagi Tibo, akan menjadi obat penenang bagi umat Islam di Poso. Pertanyaan kemudian, jika Tibo tidak dihukum mati, adakah yang bisa bertanggungjawab jika Poso kembali rusuh....???

Salam

Ochan

=================


Jay Parandy <[EMAIL PROTECTED]> wrote:


Tibo Hanya korban Bukan operator lapangan

Pascah keluarnya keputusan hukum yang besrsifat tetap yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Palu pada 5 April 2001,
diperkuat Pengadilan Tinggi Sulteng, 17 Mei 2001, dan Mahkamah Agung,
21 Oktober 2001. Penolakan grasi dari presiden 9 November 2005 kepada Tibo Cs, maka sudah bisa dipstikan bahwa secara hukum tibo cs telah dinyatakan bersalah dan dihukum mati oleh ketetapan hukum Indonesia.

Dalam melihat kasus Tibo Cs mestinya Tibo Cs tidak diposisikan sebagai subjek tunggal. Proses hukum yang terjadi pun tidak objektif semua bukti-bukti hukum yang ada tidak kongruen (sebangun) dengan penampilan tibo Cs, artinya Tuduhan hukum yang dialamatkan pada tibo Cs menurut saya salah alamat. Tibo Cs dilihat dari latar belakangnya, riwayat hidup dan tingkat pemahaman terhadap konflik yang terjadi, dapat dipastikan sangat tidak mungkin Tibo Cs adalah operator lapangan. Semua Tuduhan yang alamatkan pada Tibo Cs tidak sekelas dengan kecerdasan yang dimiliki oleh Tibo Cs. Kalau tibo Cs dituduh terlibat dalam kerusuhan Poso saya setuju, akan tetapi seberapa besar keterlibatan Tibo dan sejauh mana Tibo Cs memahami konspirasi besar yang ada di dalamnya hingga Tibo Cs, seolah-olah dijadikan sebagai figur kunci dalam kerusuhan Posso itu yang menurut saya salah alamat. Yang mestinya dicatat, dalam suatu ruang konflik yang melibatkan massa dalam skala besar dan cakupan wilayah yang cukup luas cuma ada dua pilihan bagi orang-orang yang terjebak terlibat didalamnya, yaitu kalau tidak dibunuh, maka pasti membunuh. Karena ngga ada orang yang akan objektif menilai. setiap orang hanya akan memiliki naluri bertahan. Dan Tibo Cs yang saya pahami pasti memiliki naluri itu pulah.

Pengadilan Kita, adalah pengadilan yang kaku. Alat Bukti hukum, saksi, tempat kejadian adalah tiga hal yang menjadi rujukan, persoalannya kalau orang dijebak untuk memenuhi tiga unsur tersebut di atas, ini kan sangat ironis. Dan Tibo Cs adalah orang-orang yang dikorbankan dan masuk dalam perangkap tiga unsur titik api dalam istilah kepolisian itu.

Sekarang apa yang dijadikan tujuan dengan adanya keputusan hukum terhadap Tibo Cs?, kalau ini dianggap sebagai jalan untuk menuntaskan kasus kerusuhan di posso, maka ini salah besar, sebab jelas-jekas salah alamat. Atau jangan-jangan pengadilan yang diarahkan untuk menutupi fakta yang sebenarnya. Kalau kita mau serius mestinya yang dicari buka operator lapangan kerusuhan atau orang yang diperalat operator seperi Tibo Cs, tapi HARUS CARI SIAPA "USER" dan "IN USER-NYA".

Tibo Cs dalam kerusuhan posso adalah orang-orang yang murni memparaktekan NALURI SELF DEFENSE,...tidak lebih dari itu. Atau mungkin Tibo Cs berada pada waktu dan tempat yang salah.., sehingga akibat kerjaan negatif orang lain mereka yang kebagian sukses FEE (HUKUMAN MATI) dari persitiwa itu.....


"M. Ichsan Loulembah" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

Republika - Kamis, 13 April 2006

OPINI

Merunut Kisah Tibo dkk

S Sinansari ecip, Penulis Beberapa Buku tentang Kerusuhan Poso

Tibo, da Silva, dan Riwu akan dieksekusi. Grasinya sudah ditolak dan
kejaksaan sebagai pelaksana hukuman dengan tegas mengatakan Tibo dkk
akan dieksekusi April ini. Mari melihat tidak dari segi hukum formalnya
-- yang konon sudah habis, tetapi dari segi peristiwanya.

Kabupaten Poso yang lama --sekarang sudah dipecah-- dihuni dua kelompok
besar pemeluk agama. Daerah pinggir Kota Poso dan pegunungan dihuni
penduduk asli, suku Toraja, Manado, dan lain-lain. Mereka beragama
Kristen Protestan dengan pusatnya di Tentena, yang bahkan menjadi pusat
Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST).

Daerah pantai/pesisir kebanyakan dihuni oleh pendatang Bugis, Jawa,
Gorontalo, dan penduduk asli. Agama mereka Islam. Pemeluk Katolik hanya
sedikit, termasuk Tibo dkk yang datang dari Flores. Tulisan ini tidak
bermaksud membuka luka lama. Tapi tanpa memeriksa beberapa peristiwa
penting, kasus Tibo dkk akan kehilangan konteksnya.


GS, Tibo, Lateka

Pertengahan Mei 2000, Tibo mendapat kabar dari GS bahwa Gereja Santa
Maria akan dibakar dan umatnya akan dibunuh. Di dalam kompleks gereja
ini ada Panti Asuhan Santa Theresia. Tibo dkk akan menjemput anak-anak
yang sedang belajar di sana untuk dipulangkan ke rumahnya
masing-masing. Kebanyakan mereka tidak berasal dari Kota Poso.

Tibo dkk datang ke kompleks itu 21 Mei 2000. Mereka yang berjumlah 17
orang, singgah dulu ke Tentena bertemu GS untuk memastikan kabar
pertama. GS tetap meyakinkan Tibo bahwa serangan akan terjadi. Mereka
bermalam di Tentena.

Pada 22 Mei pukul 15.00 Wita, Tibo dkk tiba di Mo-engko. Ternyata
penghuni kompleks belum mengetahui rencana penyerangan, seperti
dikatakan GS. Karena sebagian siswa sedang mengikuti ebtanas, para guru
minta penyelamatan siswa dilakukan esok harinya. Tibo setuju dan mereka
bermalam di asrama.

Pada dini hari tanggal 23 Mei, sebagian penghuni kompleks dibangunkan
oleh hiruk pikuk. Puluhan orang, di antaranya berpakaian hitam,
bertopeng, berikat kepala merah, dan membawa senjata apa saja (bukan
senjata api) berlarian masuk kompleks. Sebagian mereka malah sempat
minum dan memakan makanan kecil. Mereka ini dipimpin Ir Lateka.

Rombongan ini sempat bercerita bahwa mereka telah menyerang beberapa
kelurahan yang dilalui dan membunuh seorang polisi dan seorang mantan
lurah. Tak lama kemudian mereka menghilang ke arah gunung melalui pintu
belakang kompleks.

Tibo menuju ke bagian depan halaman gereja. Ada beberapa polisi yang
menanyainya. Entah bagaimana mulanya, mereka mengganggap Tibo lah yang
mereka kejar-kejar itu. (Bagian ini ada di laporan TV).

Polisi yang diberi tahu, meski agak lama dan alot, mau mengerti dan
meninggalkan Tibo. Sebaliknya, massa Muslim yang jumlahnya makin
banyak, kemudian marah lalu merusak dan membakar kompleks.

Penghuni kompleks, menurut Tibo, sudah lebih dulu meninggalkan area
gereja ke arah gunung. Mereka menyaksikan dari jauh kompleksnya
terbakar. Mereka pun menganggap Tibo sudah tewas. Anak-anak asrama
berjumlah 85 orang, belum termasuk guru, suster, dan lain-lain. Tapi
Tibo menyusul mereka dan bertemu di gunung.

Menjelang petang mereka bertemu dengan seseorang untuk dimintai
bantuan. Warga siap membantu tetapi mereka akan membantu rombongan yang
terdahulu tiba. Itulah pasukan Lateka dkk. Mereka ini juga bercerita
telah menyerang dan membunuh orang. Lateka dan beberapa orang lain
terluka. Semua keterangan Tibo dkk disertakan dalam lampiran suratnya
kepada presiden tanggal 11 April 2005.

Vonis mati dijatuhkan Pengadilan Negeri Palu pada 5 April 2001,
diperkuat Pengadilan Tinggi Sulteng, 17 Mei 2001, dan Mahkamah Agung,
21 Oktober 2001. Penolakan grasi dari presiden 9 November 2005.
Pengajuan kembali perkara (PK) telah dilakukan, tetapi dianggap tidak
benar. Menurut ahli hukum, PK boleh diajukan beberapa kali bila
syaratnya memang terpenuhi.

Informasi yang berkembang kemudian adalah, Tibo dkk yang merusak dan
membunuh tiga orang dalam perjalanannya ke Gereja Santa Maria, yang
sebenarnya dilakukan Lateka dkk. Ditambahkan, selain seorang polisi dan
mantan lurah, juga seorang lain ikut dibunuh.

Tuduhan terhadap Tibo dkk juga menyangkut keterlibatannya menyerang dan
membunuh warga Muslim di Pesantren Walisongo dan sekitarnya.


Baku balas

Keruwetan juga terjadi pada penyerangan ke Pesantren Walisongo,
Kilometer 9 menuju Tentena dari arah kota. Tibo dkk yang membawa pulang
anak-anak siswa sesampai di Tentena, tidak boleh balik membawa
pengungsi ke kampungnya. Menurut Tibo, Lateka meminta Tibo
menggantikannya bertugas di Lage, tidak jauh dari Walisongo. Masih
menurut Tibo, dia tidak mau mendapat tugas ini karena rinciannya tidak
jelas.

Pesantren dibakar habis dan penghuninya dibunuh. Pada kerusuhan di
sini, Tibo dkk dilihat oleh korban-korban yang masih hidup. Pada 2 Juni
2000, Lateka dan pasukannya masuk kota lagi. Sial baginya, di
Kayamanya, mereka terlibat pertempuran dengan para santri Habib Shaleh
Alaydrus, pimpinan Majelis Dzikir Nurul Khairaat dan penduduk setempat.
Dua tewas, yakni Paulina (perempuan) dan Lateka, karena dipukul rotan.
Dia ditandai sebagai pimpinan karena memberi komando menggunakan
pengeras suara (megaphone).

Siapa Lateka? Dia bekas wakil ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal
Provinsi Sulteng. Dia ipar Herman Parimo, tokoh yang tampil dalam
kerusuhan sebelumnya.

Itu adalah dua peristiwa terpenting dan pahit dalam Kerusuhan Poso.
Mereka sudah dirujukkan oleh pemerintah di Malino, Sulawesi Selatan.
Salah satu butir kesepakatan rujuk adalah proses hukum bagi yang
bersalah berjalan terus. Menurut Tibo, sebelum dia menyerah kepada
tentara, pimpinan gereja di Tentena datang ke rumahnya. Tibo diminta
menyerah karena akan diperiksa. Mereka kemudian sampai dihukum mati,
yang menurut mereka tidak seimbang dengan kesalahannya.


Hukuman mati

Akankah Tibo dkk dieksekusi? Jadwal akhir Maret telah terlewati dan
akan dilangsungkan April ini. Pertanyaan intinya, bisakah proses hukum
formal yang habis mengalahkan rasa keadilan? Yang disebut keadilan di
sini adalah Tibo dkk merasa tidak bersalah, terutama menyangkut
peristiwa yang dilakukan Lateka dkk. Mereka menunjuk 16 orang tokoh,
terutama dari arah Tentena, termasuk GS, yang perlu diusut. Merekalah
yang menurut Tibo dkk otak kerusuhan dan provokator.

Tampaknya mereka yang ditunjuk Tibo dkk adalah orang-orang kuat.
Menurut polisi, sebagian buktinya kurang kuat. Pemeriksaan di pengadilan hanya sepintas lalu, tidak ditemukan bukti kuat keterlibatan mereka. Ini perlu dituntaskan untuk memenuhi rasa keadilan.

Akan bijaksana bila proses pelaksanaan hukuman mati ditangguhkan dulu.
Periksalah dengan cermat para saksi yang memberikan kesaksian tertulis
bahwa Tibo dkk bukanlah pelaku penyerangan yang antara lain membunuh
polisi. Periksa pula dengan tuntas dan tanpa pandang bulu 16 tokoh yang
disebut Tibo dkk. Kemungkinan besar, Tibo dkk terbebas dari kasus ini.

Periksa juga Tibo dkk dalam kaitan penyerangan atas Pesantren Walisongo
dan sekitarnya. Meski Tibo mengaku tidak bersedia dilibatkan oleh
Lateka, banyak saksi mengetahui Tibo dkk ada di tempat peristiwa dan
salah seorang ikut berunding dengan penghuni pesantren. Di sini mungkin
Tibo dkk ada ''andil''-nya, seberapapun kecilnya.

Pemeriksaan-pemeriksaan tersebut termasuk memenuhi Kesepakatan Malino.
Sering terjadi saksi bisa meningkat menjadi tersangka. Jika Tibo dkk
bersalah, hukumlah sesuai perbuatan pidananya. Tetapi, bila hasil
pemeriksaan menunjukkan kebalikannya, bebaskan Tibo dkk. Jangan biarkan
hukum di Indonesia tercoreng-moreng terus.

Saksi-saksi tentang tidak terlibatnya Tibo dkk pada kasus pertama
(dianggap sebagai pasukan Lateka), cukup banyak. Secara tertulis,
kesaksian sudah diberikan oleh para bekas guru, bekas siswa, dan orang
tua murid dari Kompleks Gereja Santa Maria. Ini perlu juga mendapat
perhatian. Kalau perlu mereka diperiksa ulang.

Manakala simpulan yang ditarik salah, maka yang dihukum akan salah.
Terlanggarlah ungkapan,''Lebih baik tidak menghukum 100 orang yang
bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah''.


Ikhtisar

*Informasi yang berkembang bahwa Tibo dkk yang merusak dan membunuh
tiga orang dalam perjalanannya ke Gereja Santa Maria, sebenarnya
dilakukan Lateka dkk.

*Dalam penyerangan atas Pesantren Walisongo, banyak saksi hidup melihat
Tibo dkk ada di tempat peristiwa dan salah seorang ikut berunding
dengan penghuni pesantren. ( )



--
Internal Virus Database is out-of-date.
Checked by AVG Anti-Virus.
Version: 7.0.289 / Virus Database: 265.0.0 - Release Date: 08-11-2004



================
Kirim bunga, http://www.indokado.com
Info balita: http://www.balita-anda.com
Stop berlangganan/unsubscribe dari milis ini, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]
Peraturan milis, email ke: [EMAIL PROTECTED]

Kirim email ke