Situasi di kawasan Pusong,
Lhokseumawe, sesaat setelah gempa hari Minggu (26/12) pagi masih berlangsung
normal. Masyarakat masih melakukan kegiatan sehari-hari. Warga di pasar ikan
dan warung kopi masih menumpuk dengan aktivitas masing-masing. Bahkan di
bibir pantai masih terlihat nelayan yang baru turun dari laut.
Di
samping masjid Pusong, dua orang anak yang ditanyai acehkita tentang lokasi
rumah ambruk mengaku tidak tahu. “Kami baru turun dari laut,”
kata dua remaja tanggung berkulit gelap tersebut.
Tidak
ada kepanikan yang terjadi meski tembok Lembaga Permasyarakatan Lhokseumawe
terlihat ambruk sejauh sekitar 40 meter. Warga Pusong yang berumah di tepi
pantai masih duduk di depan rumah
masing-masing sambil bercerita mengenai gempa yang baru terjadi, yang
belakangan diketahui berkekuatan 6,8 skala Richter seperti dilaporkan Badan
Meteorologi dan Geofisika Medan.
Sejumlah
wartawan, termasuk acehkita, kemudian melakukan koordinasi dan saling tukar
informasi di Kota Lhokseumawe. Akhirnya diputuskan untuk mencari kembali
rumah yang dikabarkan ambruk akibat gempa di kawasan nelayan kumuh Pusong
yang terletak kurang dari satu kilometer arah selatan Pendopo Bupati Aceh
Utara. Saat itulah tiba-tiba diperoleh informasi bahwa air laut sudah meluap
sampai ke Jalan Sukaramai Lhokseumawe yang jauhnya sekitar 400 meter dari
bibir pantai.
Di
sebuah jalan kecil yang membelah Jalan Sukaramai, terlihat kepanikan luar
biasa. Puluhan warga, ibu-ibu dan anak-anak berlari panik ke luar dari
perkotaan. “Pusong tenggelam! Pusong tenggelam!” teriak mereka.
Keadaan
tiba-tiba tidak terkendali. Warga berlari ke sana ke mari tak tentu arah. Di
Jalan Samudera samping kantor BPD Lhokseuawe, sebuah truk reo TNI hendak
melaju ke arah Selatan atau keluar dari Kota Lhokseumawe. Namun lajunya
tiba-tiba terhenti dengan massa yang kabur dari arah perkotaan. Sebuah truk
colt warna kuning yang hendak ke kota urung melanjutkan perjalanan dan
berbelok di Jalan Samudera samping BPD. Akibatnya, lalu lintas kacau balau.
Suara klakson bercampur dengan jerit panik ibu-ibu dan anak-anak. Nama Allah
tak henti-henti mengucur dari bibir para warga.
Tak
ada yang mengatur warga di tengah kepanikan itu. Warga mengurus dirinya
sendiri. Mereka bergerak mengikuti naluri, atau mengikuti gelombang massa.
Banyak anak menangis kehilangan ibunya. Banyak ibu menangis kehilangan
anaknya. Saat itu tidak ada tempat untuk mengadu selain menjerit-jerit.
Rakyat seperti hidup di negara tanpa pemerintahan.
Satu
jam berlalu. Kepanikan kian terasa. Namun belum terlihat ada pejabat instansi
pemerintah yang mengurus warga. Di depan terminal antarkota dalam provinsi di
Lhokseumawe, terlihat dua wakil ketua DPRD Lhokseumawe, Tun Azhari dan
Syahrial Kidam, berusaha mengevakuasi warga dengan kendaraan dinasnya.
Kemudian di kejauhan mobil pemadam kebakaran juga mengevakuasi warga pesisir
dengan sirene meraung-raung.
Di
tengah kepanikan itu muncul instruksi dari aparat kepolisian Polsek Banda
Sakti, Lhokseumawe, untuk mengungsi ke Lapangan Hiraq yang lebih tinggi agar
terbebas dari terjangan tsunami. Beberapa aparat kepolisian dan TNI sudah
terlihat mengevakuasi warga.
Bahkan
di Lapangan Hiraq, aparat TNI terlihat lebih sibuk ketimbang aparat
pemerintahan sendiri.
“Tendanya
kok cuma satu? Bahan makanan dan minuman kok belum ada? Tim medis di
mana?” pertanyaan beruntun itu keluar dari seorang warga Lhokseumawe,
Fauzi Abubakar. Tokoh pemuda Muhammadiyah Aceh itu tampak kesal ketika
melihat warga seperti tak terurus.
“Walikota
sedang tidak berada di tempat,” jawaban itu sering terdengar setiap
jalan keluar yang hendak diambil terhalang.
“Wah,
untuk mengurus tenda saja harus ada Walikota. Apa kerja pejabat yang lain?
Kenapa mereka tidak terlihat?” gugat Fauzi di Lapangan Hiraq. Saat itu,
ketua DPRD Lhokseumawe TA Khaled, sedang berkoordinasi dengan aparat keamanan
setempat untuk segera memberikan pertolongan darurat kepada para korban. Tak
lama kemudian baru terlihat ada petugas yang menerima laporan pengaduan
korban hilang. Itu pun hanya dicatat seorang pegawai kantor camat Banda
Sakti, Lhokseumawe, dibantu dua aparat Koramil setempat yang susah berkomunikasi
dalam bahasa Aceh.
Tak
terlihat aparat pemerintahan saat dibutuhkan warga. Sense of crisis mereka
sudah lama mati. Dan tak tersentuh kembali meski diguncang gempa berkekuatan 6,8 skala Richter.
***
Di
Aceh Utara, situasinya lebih parah. Dari pemerintahan sipil, tak terlihat
sibuk mengurus korban hanya tim medis. Padahal di Aceh Utara tercatat paling
banyak korban. Sampai Senin (27/12) pagi, Pemkab mencatat 653 korban
meninggal yang tersebar di Kecamatan Syamtalira Bayu (85 jiwa), Seunuddon (173
jiwa), Muara Batu (107 jiwa), Dewantara (10 jiwa), Tanah Pasir (135 jiwa),
Baktiya (101 jiwa), Baktiya Barat (8 jiwa), dan Samudera (423 jiwa).
Sementara 423 dinyatakan hilang.
“Kemungkinan
korban masih bisa bertambah. Korban meninggal di Aceh Utara diperkirakan bisa
mendekati 1.000 jiwa,” ungkap Penjabat Bupati Aceh Utara, T Alamsyah
Banta, Minggu tengah malam.
Dia
membantah pemerintah setempat lamban dalam menangani korban. Ketika disebut
proses evakuasi sangat sulit karena kurangnya sarana angkutan, Alamsyah
menyatakan truk colt yang digunakan untuk mengevakuasi korban luka dan
meninggal di Syamtalira Bayu sudah disewa Pemkab Aceh Utara. Padahal seperti
yang disaksikan acehkita di depan Balai Desa Kecamatan Syamtalira Bayu,
beberapa truk colt itu sedang dalam perjalanan dari timur ke arah Kota
Lhokseumawe. Truk itu dihentikan warga dan dimintai tolong mengevakuasi
korban ke RSUD Cut Meutia yang terletak di kawasan Buketrata, sekitar 9
kilometer timur Kota Lhokseumawe. Setelah korban luka ditempatkan di unit
gawat darurat (UGD) dan korban meninggal di kamar mayat, truk itu kembali
melanjutkan perjalanan.
Minimnya
sarana transportasi memang sangat terasa. Korban tidak hanya dievakuasi
dengan mobil TNI/Polri, tetapi juga dengan mobil milik masyarakat, bahkan
dengan sepeda motor. Setiap rentang lima menit, mobil atau sepeda motor
muncul dengan korban meninggal yang disambut dengan jeritan keluarga korban.
Seorang
ibu berusia 31 tahun, warga Desa Lancok Kecamatan Syamtalira Bayu, sedang
bercerita tentang kejadian itu ketika
sebuah sepeda motor berhenti persis di depan ruang UGD. Sontak dia bangkit yang mendekap sesosok
tubuh mungil yang telah menjadi mayat. “Aneuk loen nyon! Aneuk loen
nyoe! (anak saya ini! Anak saya ini!)
Ya Allaaaah!!” jeritnya histeris.
Dia
meloncat-loncat sembari menghujani pipi putrinya yang berusia tiga tahun
dengan ciuman. Semenit lalu perempuan
itu masih menyisa harapan agar bisa menemukan anaknya dalam keadaan hidup.
Perempuan
itu hanya ditenangkan oleh sejumlah warga yang ada di depan UGD. Setelah
itu, dia segera terlupakan setelah
korban lain berdatangan. Kendaraan berhenti silih berganti, dan seperti tidak
pernah akan selesai. Namun ambulan yang terlihat hanya dua unit. Selebihnya kendaraan
aparat keamanan dan kendaraan masyarakat.
“Korban
di Lancok terpaksa diikat di pohon kelapa agar tidak hanyut dibawa air lagi.
Evakuasi sulit dilakukan karena kendaraan kurang,” ujar Mukhtar,
seorang wartawan yang baru saja keluar dari Desa Lancok, sebuah kampung
nelayan di Syamtalira Bayu, Aceh Utara.
Fauzi
Abubakar, ketua Pemuda Muhammadiyah Aceh Utara yang ikut mengevakuasi korban
dan memberikan bantuan makanan di Muara Batu dan Syamtalira Bayu, sangat
geram melihat lambannya Pemda setempat dalam memberikan bantuan.
“Ini
sudah keterlaluan. Kalau tadi bolehlah mereka beralasan gempa baru saja
terjadi. Sekarang sudah pukul 17.30, sudah hampir sembilan jam. Tapi korban
masih dievakuasi dengan kendaraan seadanya dan petugas yang terbatas. Kenapa
tidak ada instruksi untuk mengerahkan semua ambulance yang ada!” geram
Fauzi yang ditemui sedang mengatur lalu lintas kendaraan pengevakuasi korban
di Bayu bersama pemuda setempat.
Instruksi
seperti itu memang ada. Tapi lahir sudah menjelang tengah malam ketika Bupati
Alamsyah menggelar rapat koordinasi untuk penanggulangan korban gempa. Di
dalam instruksi penanganan musibah tersebut, juga termasuk menyerahkan
bantuan masing-masing Rp 20 juta untuk sembilan kecamatan yang terkena gempa
Tsunami, hari Minggu. Itu belum termasuk bantuan rehabilitasi rumah korban
dan infrastruktur lainnya. Berbagai langkah penyelamatan lain pun akan
dilaksanakan Pemkab Aceh Utara, seperti penguburan korban yang belum bisa
terlaksana, juga urusan sekitar 30.000 pengungsi di sejumlah balai desa dan
rumah sakit.
Namun
pemberian bantuan itu sungguh sangat terlambat sehingga menjadi tawar. Ketika
warga karam akibat terjangan gelombang tsunami, bantuan selembar papan jauh
lebih berarti daripada uang puluhan juta rupiah. Dan itulah yang tidak diberikan
pemerintah, setidaknya di Lhokseumawe dan Aceh Utara. [A]
|