Kesaksian di Menit-menit Awal
Reporter: Cut Ida - Lhokseumawe, 2004-12-27 09:50:55

 

 

Situasi di kawasan Pusong, Lhokseumawe, sesaat setelah gempa hari Minggu (26/12) pagi masih berlangsung normal. Masyarakat masih melakukan kegiatan sehari-hari. Warga di pasar ikan dan warung kopi masih menumpuk dengan aktivitas masing-masing. Bahkan di bibir pantai masih terlihat nelayan yang baru turun dari laut.

 

Di samping masjid Pusong, dua orang anak yang ditanyai acehkita tentang lokasi rumah ambruk mengaku tidak tahu. “Kami baru turun dari laut,” kata dua remaja tanggung berkulit gelap tersebut.  

 

Tidak ada kepanikan yang terjadi meski tembok Lembaga Permasyarakatan Lhokseumawe terlihat ambruk sejauh sekitar 40 meter. Warga Pusong yang berumah di tepi pantai masih  duduk di depan rumah masing-masing sambil bercerita mengenai gempa yang baru terjadi, yang belakangan diketahui berkekuatan 6,8 skala Richter seperti dilaporkan Badan Meteorologi dan Geofisika Medan.

 

Sejumlah wartawan, termasuk acehkita, kemudian melakukan koordinasi dan saling tukar informasi di Kota Lhokseumawe. Akhirnya diputuskan untuk mencari kembali rumah yang dikabarkan ambruk akibat gempa di kawasan nelayan kumuh Pusong yang terletak kurang dari satu kilometer arah selatan Pendopo Bupati Aceh Utara. Saat itulah tiba-tiba diperoleh informasi bahwa air laut sudah meluap sampai ke Jalan Sukaramai Lhokseumawe yang jauhnya sekitar 400 meter dari bibir pantai.

 

Di sebuah jalan kecil yang membelah Jalan Sukaramai, terlihat kepanikan luar biasa. Puluhan warga, ibu-ibu dan anak-anak berlari panik ke luar dari perkotaan. “Pusong tenggelam! Pusong tenggelam!” teriak mereka.

 

Keadaan tiba-tiba tidak terkendali. Warga berlari ke sana ke mari tak tentu arah. Di Jalan Samudera samping kantor BPD Lhokseuawe, sebuah truk reo TNI hendak melaju ke arah Selatan atau keluar dari Kota Lhokseumawe. Namun lajunya tiba-tiba terhenti dengan massa yang kabur dari arah perkotaan. Sebuah truk colt warna kuning yang hendak ke kota urung melanjutkan perjalanan dan berbelok di Jalan Samudera samping BPD. Akibatnya, lalu lintas kacau balau. Suara klakson bercampur dengan jerit panik ibu-ibu dan anak-anak. Nama Allah tak henti-henti mengucur dari bibir para warga.

 

Tak ada yang mengatur warga di tengah kepanikan itu. Warga mengurus dirinya sendiri. Mereka bergerak mengikuti naluri, atau mengikuti gelombang massa. Banyak anak menangis kehilangan ibunya. Banyak ibu menangis kehilangan anaknya. Saat itu tidak ada tempat untuk mengadu selain menjerit-jerit. Rakyat seperti hidup di negara tanpa pemerintahan.

 

Satu jam berlalu. Kepanikan kian terasa. Namun belum terlihat ada pejabat instansi pemerintah yang mengurus warga. Di depan terminal antarkota dalam provinsi di Lhokseumawe, terlihat dua wakil ketua DPRD Lhokseumawe, Tun Azhari dan Syahrial Kidam, berusaha mengevakuasi warga dengan kendaraan dinasnya. Kemudian di kejauhan mobil pemadam kebakaran juga mengevakuasi warga pesisir dengan sirene meraung-raung.

 

Di tengah kepanikan itu muncul instruksi dari aparat kepolisian Polsek Banda Sakti, Lhokseumawe, untuk mengungsi ke Lapangan Hiraq yang lebih tinggi agar terbebas dari terjangan tsunami. Beberapa aparat kepolisian dan TNI sudah terlihat mengevakuasi warga.

 

Bahkan di Lapangan Hiraq, aparat TNI terlihat lebih sibuk ketimbang aparat pemerintahan sendiri.

 

“Tendanya kok cuma satu? Bahan makanan dan minuman kok belum ada? Tim medis di mana?” pertanyaan beruntun itu keluar dari seorang warga Lhokseumawe, Fauzi Abubakar. Tokoh pemuda Muhammadiyah Aceh itu tampak kesal ketika melihat warga seperti tak terurus. 

 

“Walikota sedang tidak berada di tempat,” jawaban itu sering terdengar setiap jalan keluar yang hendak diambil terhalang.

 

“Wah, untuk mengurus tenda saja harus ada Walikota. Apa kerja pejabat yang lain? Kenapa mereka tidak terlihat?” gugat Fauzi di Lapangan Hiraq. Saat itu, ketua DPRD Lhokseumawe TA Khaled, sedang berkoordinasi dengan aparat keamanan setempat untuk segera memberikan pertolongan darurat kepada para korban. Tak lama kemudian baru terlihat ada petugas yang menerima laporan pengaduan korban hilang. Itu pun hanya dicatat seorang pegawai kantor camat Banda Sakti, Lhokseumawe, dibantu dua aparat Koramil setempat yang susah berkomunikasi dalam bahasa Aceh.

 

Tak terlihat aparat pemerintahan saat dibutuhkan warga. Sense of crisis mereka sudah lama mati. Dan tak tersentuh kembali meski diguncang gempa  berkekuatan 6,8 skala Richter.

 

***     

 

Di Aceh Utara, situasinya lebih parah. Dari pemerintahan sipil, tak terlihat sibuk mengurus korban hanya tim medis. Padahal di Aceh Utara tercatat paling banyak korban. Sampai Senin (27/12) pagi, Pemkab mencatat 653 korban meninggal yang tersebar di Kecamatan Syamtalira Bayu (85 jiwa), Seunuddon (173 jiwa), Muara Batu (107 jiwa), Dewantara (10 jiwa), Tanah Pasir (135 jiwa), Baktiya (101 jiwa), Baktiya Barat (8 jiwa), dan Samudera (423 jiwa). Sementara 423 dinyatakan hilang.

 

“Kemungkinan korban masih bisa bertambah. Korban meninggal di Aceh Utara diperkirakan bisa mendekati 1.000 jiwa,” ungkap Penjabat Bupati Aceh Utara, T Alamsyah Banta, Minggu tengah malam.

 

Dia membantah pemerintah setempat lamban dalam menangani korban. Ketika disebut proses evakuasi sangat sulit karena kurangnya sarana angkutan, Alamsyah menyatakan truk colt yang digunakan untuk mengevakuasi korban luka dan meninggal di Syamtalira Bayu sudah disewa Pemkab Aceh Utara. Padahal seperti yang disaksikan acehkita di depan Balai Desa Kecamatan Syamtalira Bayu, beberapa truk colt itu sedang dalam perjalanan dari timur ke arah Kota Lhokseumawe. Truk itu dihentikan warga dan dimintai tolong mengevakuasi korban ke RSUD Cut Meutia yang terletak di kawasan Buketrata, sekitar 9 kilometer timur Kota Lhokseumawe. Setelah korban luka ditempatkan di unit gawat darurat (UGD) dan korban meninggal di kamar mayat, truk itu kembali melanjutkan perjalanan.

 

Minimnya sarana transportasi memang sangat terasa. Korban tidak hanya dievakuasi dengan mobil TNI/Polri, tetapi juga dengan mobil milik masyarakat, bahkan dengan sepeda motor. Setiap rentang lima menit, mobil atau sepeda motor muncul dengan korban meninggal yang disambut dengan jeritan keluarga korban.

 

Seorang ibu berusia 31 tahun, warga Desa Lancok Kecamatan Syamtalira Bayu, sedang bercerita tentang kejadian itu  ketika sebuah sepeda motor berhenti persis di depan ruang UGD.  Sontak dia bangkit yang mendekap sesosok tubuh mungil yang telah menjadi mayat. “Aneuk loen nyon! Aneuk loen nyoe! (anak saya ini! Anak saya ini!)  Ya Allaaaah!!” jeritnya histeris.

 

Dia meloncat-loncat sembari menghujani pipi putrinya yang berusia tiga tahun dengan ciuman.  Semenit lalu perempuan itu masih menyisa harapan agar bisa menemukan anaknya dalam keadaan hidup.

 

Perempuan itu hanya ditenangkan oleh sejumlah warga yang ada di depan UGD. Setelah itu,  dia segera terlupakan setelah korban lain berdatangan. Kendaraan berhenti silih berganti, dan seperti tidak pernah akan selesai. Namun ambulan yang terlihat hanya dua unit. Selebihnya kendaraan aparat keamanan dan kendaraan masyarakat.

 

“Korban di Lancok terpaksa diikat di pohon kelapa agar tidak hanyut dibawa air lagi. Evakuasi sulit dilakukan karena kendaraan kurang,” ujar Mukhtar, seorang wartawan yang baru saja keluar dari Desa Lancok, sebuah kampung nelayan di Syamtalira Bayu, Aceh Utara.

 

Fauzi Abubakar, ketua Pemuda Muhammadiyah Aceh Utara yang ikut mengevakuasi korban dan memberikan bantuan makanan di Muara Batu dan Syamtalira Bayu, sangat geram melihat lambannya Pemda setempat dalam memberikan bantuan.

 

“Ini sudah keterlaluan. Kalau tadi bolehlah mereka beralasan gempa baru saja terjadi. Sekarang sudah pukul 17.30, sudah hampir sembilan jam. Tapi korban masih dievakuasi dengan kendaraan seadanya dan petugas yang terbatas. Kenapa tidak ada instruksi untuk mengerahkan semua ambulance yang ada!” geram Fauzi yang ditemui sedang mengatur lalu lintas kendaraan pengevakuasi korban di Bayu bersama pemuda setempat.

 

Instruksi seperti itu memang ada. Tapi lahir sudah menjelang tengah malam ketika Bupati Alamsyah menggelar rapat koordinasi untuk penanggulangan korban gempa. Di dalam instruksi penanganan musibah tersebut, juga termasuk menyerahkan bantuan masing-masing Rp 20 juta untuk sembilan kecamatan yang terkena gempa Tsunami, hari Minggu. Itu belum termasuk bantuan rehabilitasi rumah korban dan infrastruktur lainnya. Berbagai langkah penyelamatan lain pun akan dilaksanakan Pemkab Aceh Utara, seperti penguburan korban yang belum bisa terlaksana, juga urusan sekitar 30.000 pengungsi di sejumlah balai desa dan rumah sakit.

 

Namun pemberian bantuan itu sungguh sangat terlambat sehingga menjadi tawar. Ketika warga karam akibat terjangan gelombang tsunami, bantuan selembar papan jauh lebih berarti daripada uang puluhan juta rupiah. Dan itulah yang tidak diberikan pemerintah, setidaknya di Lhokseumawe dan Aceh Utara. [A] 

 

 

 

 

 

EKA LUKI MAULANA

 

EDP. Technical Support

PT.Patco Elektronik Teknologi

Phone. 021 - 88324761

Email. [EMAIL PROTECTED]

 

 

Kirim email ke