Televisi, Matikan Benda itu Atau Dia Akan Menerkam
Matikan Televisi, Atau Benda Itu Menerkam Rajiv sebut saja begitu adalah seorang laki-laki berusia sekitar 8 tahunan. Anak ini ditemukan tidak bernyawa, dengan kepala terluka setelah diketahui terjun dari apartemennya di lantai 9. Rajiv ingin meniru Krrish, tokoh superhero televisi di India yang digambarkan bisa terbang dan menyelamatkan bumi. Kiko, seorang anak berumur 4 tahun tiba-tiba mengatakan Mama tidak berguna!. Kalimat yang mungkin si anak sendiri tidak tahu maknanya. Usut punya usut, ternyata pengasuhnya [baby sitter] mengajaknya nonton sinetron di televisi. Si pengasuh ini tidak sadar, kenikmatannya nonton sinetron direkam dengan baik pada memori Kiko. APA yang terjadi? Kekuatan kotak elektronik bernama televisi itu ternyata begitu luarbiasa merasuk dalam kehidupan kita, Anda, saya dan anak-anak kita. Televisi, si kotak ajaib yang keberadaanya sudah menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari, seringkali menimbulkan kecemasan bagi orangtua yang anaknya masih kecil. Cemas kalau anak jadi malas belajar karena kebanyakan nonton televisi, cemas kalau anak meniru kata-kata dan adegan-adegan tertentu, cemas mata anak jadi rusak [minus], dan cemas anak menjadi lebih agresif karena terpengaruh banyaknya adegan kekerasan di televisi. Sayangnya, sampai saat ini, media televisi masih menjadi alternatif pilihan utama bagi penonton, karena media televisi sebagai media informasi dan hiburan yang hingga kini masih melahirkan pengaruh yang baik dan buruk bagi perkembangan psikologis dan peilaku pemirsanya, termasuk anak-anak. Televisi sebagai media yang memiliki sifat audiovisual mampu menghadirkan keja dian, peristiwa, atau khayalan-khayalan semata seperti film laga dari luar negeri [import] yang banyak sekali mengandung unsur kekerasan, percintaan yang telah banyak menyimpang dari budaya kita, atau sinetron-sinetron remaja dalam negeri yang cenderung mengangkat tema kekerasan, sadisme, kebencian, permusuhan, percintaan, serta gaya hidup menengah ke atas serta mendukung hidup konsumtif dan hedonisme. Belum lagi tayangan mancanegara seperti telenovela atau video klip yang juga mengandung unsur-unsur pornografi dan pornoaksi, sehingga anak-anak dibawah umurlah yang paling cepat terpengaruh oleh tayangan televisi dengan anggapan apa yang disiarkan televisi adalah sebuah kenyataan dan kebenaran. Berbagai tulisan, kertas kerja, dan penelitian bahkan seminar-seminar, lokakarya, symposium yang ditulis dan dibicarakan oleh para pakar dan para ahli dibidangnya memperdebatkan dampak negatif yang ditimbulkan oleh media televisi. Tudingan miring mengenai kebobrokan televisi sebenarnya sudah merebak sejak kelahirannya pada era tahun 1950. Konsumen media televisi tidak hanya para kalangan orang tua, dewasa, remaja, tetapi juga dari kalangan anak-anak. Yang dikhawatirkan dari kalangan orang tua adalah anak-anak yang belum mampu membedakan mana yang baik dan buruk serta mana yang pantas dan tidak pantas, karena media televisi mempunyai daya tiru yang sangat kuat bagi pertumbuhan dan perkembangan anak-anak. Dr Hardiono D Pusponegoro SpA(K), spesialis anak dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta memaparkan, sebuah penelitian terhadap anak di bawah 3 tahun dan 3 - 5 tahun yang menonton televisi. Dalam penelitian itu, anak di bawah 3 tahun melihat layar kaca itu rata-rata 2 jam sehari dan anak 3 - 5 tahun rata-rata 3 jam sehari. Setelah berusia 6 - 7 tahun dilakukan penilaian. Hasilnya, setiap jam melihat TV anak di bawah 3 tahun menunjukkan penurunan uji membaca, uji membaca komprehensif, dan penurunan memori. Sebaliknya, anak 3 - 5 tahun memiliki kemampuan mengenal dengan membaca naik. Artinya, anak di bawah 3 tahun lebih banyak menyebabkan efek buruk kecuali kemampuan mengenal dengan membaca. Menurut Hardiono, otak berfungsi merencanakan, mengorganisasi, dan mengurut perilaku untuk kontrol diri sendiri, konsentrasi, atau atensi. Otak juga berfungsi menentukan baik atau tidak. Pusat di otak yang mengatur hal ini adalah korteks prefrontal yang berkembang selama masa anak dan remaja, jelasnya ketika menjadi salah satu pembicara dalam peluncuran program Dancow Parenting Center (DPC) di Jakarta, 6 Mei 2006 lalu. Mengutip penelitian Hancox RJ. Association of Television Viewing During Childhood with Poor Educational Achievement Arch Pediatr Adolesc Med 2005, Hardiono menambahkan, Menonton televise saat masa anak dan remaja berdampak jangka panjang terhadap kegagalan akademis umur 26 tahun. Dalam penjelasan Hardiono, hanya dari menonton televisi saja otak kehilangan kesempatan mendapat stimulasi dari kesempatan berpartisipasi aktif dalam hubungan sosial dengan orang lain, bermain kreatif dan memecahkan masalah. Selain itu televisi bersifat satu arah, sehingga anak kehilangan kesempatan mengekplorasi dunia tiga dimensi serta kehilangan peluang tahapan perkembangan yang baik. Dalam riset yang saya baca ini, malah dianjurkan untuk anak dibawah usia 5 tahun, disarankan tidak usah menonton televisi sama sekali, tegasnya. Televisi, Buruk Untuk Perkembangan Anak Penelitian yang melibatkan anak-anak dari Kanada, Australia, Amerika dan Indonesia dalam hal menonton televisi mendapatkan hasil menarik. Percaya atau tidak, anak Indonesia adalah penonton televisi terlama, disusul Amerika, Australia dan paling rendah Kanada. Bagaimana tidak, kita bangun tidur langsung nonton televisi, mau tidur disempetin nonton televisi lagi. Jangan-jangan, tidur saja masih peluk televisi, canda Dr Hardiono. Penelitian lain yang dilakukan Liebert dan Baron dari Inggris, menunjukkan hasil: anak yang menonton program televisi yang menampilkan adegan kekerasan memiliki keinginan lebih untuk berbuat kekerasan terhadap anak lain, dibandingkan dengan anak yang menonton program netral [tidak mengandung unsur kekerasan]. Efek jangka panjang soal kekerasan ini juga dipaparkan Prof Dr Sarlito Wirawan Sarwono, Psikolog dari universitas Indonesia. Menurut psikolog yang sering meneliti soal perilaku kekerasan ini, semakin sering anak menonton program TV dengan muatan kekerasan semakin tinggi kecenderungan menjadi agresif saat beranjak dewasa. Simpelnya begini, anak-anak yang menonton program mengandung kekerasan selama 1-3 jam/hari menunjukkan perilaku agresif 3 kali lebih banyak dibandingkan anak-anak yang menonton program sejenis kurang dari 1 jam/hari,`` ujarnya saat menjadi pembicara dalam seminar bertajuk Program Edukasi Orang Tua Untuk Anak Indonesia, Dancow Parenting Center [DPC]. T! ayangan televisi yang mengandung kekerasan dapat meningkatkan pikiran-pikiran mengenai permusuhan pada anak dan mengurangi kecenderungan anak untuk membantu orang lain. Pendapat serupa dengan Sarlito pernah dilontarkan oleh Professor L. Rowell Huesmann, dari University of Michigan, yang meneliti pengaruh kekerasan pada media televisi terhadap perubahan perilaku. Efek yang ditimbulkan mungkin tidak langung, tapi akan muncul ketika si anak mulai dewasa kelak. Pendapat ini diamini oleh Professor Jonathan Freedman dari University of Toronto Kanada, Ilmu pengetahuan membuktikan, tayangan kekerasan itu ikut membantu melahirkan generasi pelaku kekerasan juga. Andrea Martinez di Universitas Ottawa Kanada pernah melakukan review komprehensif tentang ilmu kesusastraan untuk Komisi Radio-Televisi dan Telekomunikasi Kanada di 1994. Dia menyimpulkan bahwa kurangnya kesepakatan bersama tentang efek media menimbulkan tiga area `tidak jelas` atau ketidakleluasaan dari penelitian itu sendiri. Pertama, kekejaman di media sangat sulit untuk di definisikan dan diukur. Beberapa ahli yang mengikuti `violence` atau kekejaman yang disiarkan dalam program televisi, seperti George Gerbner dari Universitas Temple, mendefinisikan tindakan kejam atau `violence act` [atau ancaman] dari melukai atau membunuh seseorang, tergantung dari metode yang digunakan secara sendiri-sendiri atau dari konteks keadaan sekitar film tersebut. Dengan demikian, Gerber memasukkan data `violence` pada film kartun. Tetapi yang lain, seperti seorang profesor dari Universitas Laval, Guy Paquette dan Jacques de GUise, secara spesifik tidak mengikutsertakan kekejaman film kartun dari penelitian mereka karena sifatnya yang komedi dan menampilkan hal-hal yang tidak realistik. Kedua, para peneliti tidak setuju dengan tipe hubungan dari data pendukung. Beberapa memperdebatkan bahwa keberadaan kekejaman di media menyebabkan agresi pada seseorang. Yang lain mengatakan kalau hal ini berhubungan, tetapi tidak ada hubungan penyebab [hubungan akan keduanya, terjadinya agressi bisa disebabkan oleh faktor ketiga] dan yang lain mengatakan bahwa data tersebut mendukung kesimpulan bahwa tidak ada hubungan sama sekali diantara keduanya [kekejaman televisi dan agresi seseorang]. Ketiga, bahkan mereka yang setuju bahwa ada sebuah hubungan antara kekejaman yang ada di media dan agresi, tidak setuju bagaimana yang satu mempengaruhi yang lain [kekejaman di televisi mempengaruhi tindakan seseorang]. Beberapa orang mengatakan bahwa mekanisme terjadinya hal itu berdasarkan psikologi, bermula dari bagaimana kita mempelajari sesuatu. Contohnya, Huesmann mendebatkan bagaimana anak-anak mengembangkan sifat kognitif, yang menuntun tindakan mereka dengan meniru gaya pahlawan dalam televisi. Saat mereka menonton tayangan yang mengandung kekejaman, anak-anak belajar untuk memikirkan dalam hati bagaimana penggunaan kekejaman sebagai metode yang cocok untuk menyelesaikan masalah. Kembali pada riset soal dampak televisi, dari penelitian terhadap 260 anak-anak Sekolah Dasar [SD] yang ada di Jakarta, Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia [YKAI] membuktikan televisi ternyata medium yang banyak ditonton dengan alasan paling menghibur. Kenyataan ini menunjukkan bahwa televisi menjadikan media yang benar-benar diidolakan oleh anak-anak. Anak-anak lebih bersifat pasif dalam berinteraksi dengan televisi, bahkan seringkali mereka terhanyut dalam dramatisasi terhadap tayangan yang ada di televisi. Hal lain yang merupakan imbas dari terpantek menonton televisi pada anak-anak adalah munculnya gejala obesitas [kegemukan]. Dr. Endang Darmoutomo, MS, SpGK, Spesialis Gizi Klinik dari RS Siloam Gleneagles Karawaci Banten, mengatakan kecenderungan menonton telvisi terlalu lama akan meningkatkan angka obesitas pada anak-anak. Satu jam nonton televisi misalnya, akan meningkatkan obesitas sebesar 2%. Pasalnya selama menonton, anak lebih banyak ngemil dan tak melakukan aktivitas olah tubuh, sambung Dr Endang, saat menjadi pembicara dari sudut pandang gizi. Hal yang sama berlaku bagi anak yang lebih suka bermain games atau komputer dibanding anak yang bermain-main di luar bersama teman-teman. "Saat nonton telvisi atau main game, terjadi ketidakseimbangan energi yang masuk dan yang digunakan," ujar Dr. Endang. Saat anak nonton televisi, kalori yang dibakar hanya 36 kkal/jam, padahal apa yang dia konsumsi jauh melebihi kalori yang digunakan. "Anak perlu aktif untuk bertumbuh," tandas Dr. Endang. Disarankannya, untuk memperbanyak aktivitas luar ruang untuk anak. Daya Tiru Yang Kuat Untuk Anak-Anak Mengingat sangatlah sulit bagi orangtua untuk menjauhkan anak dari televisi, ada baiknya orangtua melakukan pendampingan anak ketika menonton dan beri penjelasan Sebenarnya daripada tiba-tiba mengomel ataupun memuji anak, hal pertama yang sebaiknya dilakukan adalah memberi pengertian dan mendampingi anak ketika menonton televisi. Jika anak bertanya jawablah pertanyaan tersebut dengan rinci dan sesuai dengan perkembangan anak. Banyak hal yang belum diketahui oleh seorang anak, oleh karena itu kalau tidak ada yang memberi tahu ia akan mencari sendiri dengan mencoba-coba dan meniru dari orang dewasa. Apakah hasil percobaan maupun peniruannya benar atau salah, anak mungkin tidak tahu. Di sinilah tugas orangtua untuk selalu memberi pengertian kepada anak, secara konsisten. Kebingungan anak karena standar ganda yang diterapkan orangtua juga bisa teratasi kalau orangtua memberi penjelasan kepada anak. Tidak ada artinya jika kita terus menerus menyalahkan media televisi sebagai biang kerok kerusakan moral dan kepribadian anak-anak. Karena media televisi sebagai media informasi dan hiburan akan terus hadir dengan segala kontroversinya di tengah-tengah kita. Mereka televisi itu-- akan terus mempengaruhi mental, emosi, fisik dan perkembangan jiwa anak. Nah, peran orang tualah yang harus peka dan kritis terhadap tayangan-tayangan yang disajikan untuk anak-anaknya. Jangan sampai anak kita pingin jadi Krrish yang bisa terbang, atau tiba-tiba memaki persis seperti di sinetron Indonesia. Pilihan Anda? [joko.moernantyo/foto: istimewa] -------------------------------------------------------------- Beli tanaman hias, http://www.toekangkeboen.com Info balita: http://www.balita-anda.com Peraturan milis, email ke: [EMAIL PROTECTED] menghubungi admin, email ke: [EMAIL PROTECTED]