Mencontoh Kesabaran Si Kakak
Publikasi: 30/09/2005 10:52 WIB

Jika rasa jenuh menyerang, sulit bagiku untuk dapat mengendalikan emosi. 
Sehingga inginnya marah saja daripada bersikap sabar ketika menghadapi tingkah 
laku anak yang menurutku berlebihan. Anakku yang pertama berusia 3 tahun dan 
adiknya 1,5 tahun yang sangat suka bermain. Tidak heran kalau rumahku sering 
terlihat berantakan dengan mainan. Untuk kasus ini, aku merasa tidak perlu 
marah ketika harus selalu membereskan kembali. Justru aku menikmatinya dan 
berharap semoga anak-anakku mencerdas dengan stimulus mainan-mainan yang 
pendidikan.

Karena asyiknya bermain, terkadang anakku sulit sekali bila disuruh tidur 
siang. Suatu saat si adik mulai bosan dan mengantuk. Aku segera menggendongnya 
agar cepar tidur, namun sayang usahaku tidak cepat berhasil. Kubiarkan ia 
bermain kembali bersama kakaknya yang masih asyik bermain. Ketika aku 
perhatikan lagi, nampaknya si adik tidak menikmati lagi permainannya, ia lebih 
sering merengek dan terlihat bosan. Aku coba suapkan makanan, tapi ia menolak. 
Begitu pula ketika kubujuk agar tidak rewel. Kugendong si kecil sambil diiringi 
bacaan shalawat, namun ia tetap menangis. Hingga berulang kali aku mencoba 
menidurkannya, tapi belum berhasil juga.

Kesabaranku rasanya mulai berkurang dan aku terus mempertanyakan apa sebenarnya 
mau anak ini. Main, makan tidur semuanya tidak mau. Karena masih menangis, 
kuturunkan dia dari gendongan ke lantai yang beralas kasur yang sengaja 
disediakan untuk tempat bermain. Aku berharap tangisnya berhenti, ternyata 
malah semakin menjadi. Aku membiarkannya dan tidak berusaha membujuknya. 

Kupikir nanti kalau sudah capek akan berhenti sendiri. Perkiraanku meleset si 
kecil tetap saja menangis. Kakaknya yang sejak tadi memperhatikan adiknya 
menangis pergi menghampiri, sambil mengusap-usap tubuh adiknya dia mengatakan 
sesuatu layaknya orang dewasa, "Cup, cup. jangan menangis ya sayang, ini ada 
Aa." Mendengar bujukan si kakak spontan tangisan si kecil mulai mengecil 
volumenya dan akhirnya berhenti menangis.

Kakaknya langsung terlihat senang dan berkata, "Mama, lihat dede sudah berhenti 
menangis!" Ia terus menghibur adiknya, "Ciluk.ba.ciluk .ba! Mama, dede sudah 
tersenyum lagi!" Aku hanya diam saja memperhatikan tanpa komentar.
Tidak lama kemudian, kakaknya kembali membujuk si adik yang masih dalam posisi 
tidur. "Kita main tenis yuk sama Aa, ini raket sama bolanya." Adiknya langsung 
bangun dan mengikuti ajakan kakaknya bermain.

Aku menarik nafas panjang sambil berucap Subhanallah. Maha Suci Allah yang 
telah mengkaruniakan aku dua orang anak. Dia telah memberiku pelajaran yang 
berharga melalui sikap sabar anakku. Di saat aku merasa jenuh, kesal dan kurang 
sabar, si kakak mencontohkan sikap sabar dan lemah lembut ketika menghadapi 
tingkah laku si kecil yang sulit dimengerti. Ah, aku harus mencontoh kesabaran 
anakku. Terima kasih, Nak.

Tulisan ini diambil dari Majalah Ummi No. 1/XVII Mei 2005/1426 H

M Tri Agus
http://triagus.multiply.com

Kirim email ke