Meremehkan Kemampuan Anak
Penulis: Sismanto


Orang
tua selalu dihadapkan pada kondisi yang selalu dinamik, di satu sisi
mempunyai cita-cita ideal pada anaknya, sementara di sisi lain anak
melakukan hal yang tidak sesuai dengan keinginan dan cita-cita ideal
orang tuanya. Misalnya, keinginan orang tua tidak ditanggapi positif
oleh aksentuasi perilaku anak yang berakibat orang tua meremehkan
setiap kemampuan yang dimiliki oleh anak-anaknya.

Meremehkan
anak-anak dan sedikit sekali memberikan dorongan serta anjuran kepada
mereka. Misalnya, orang tua berusaha menyuruh mereka diam manakala
mereka lagi asyik berbicara. Bahkan, saya selalu diejek, begitu pula
obrolan juga senantiasa diperolok-olok, yang hal itu menyebabkan anak
kurang mempunyai kepercayaan pada dirinya, ia kurang berani berbicara
apalagi mengeluarkan pendapat. Mencaci maki mereka apabila melakukan
kesalahan, mengumpat-ngumpat mereka apabila mereka gagal dan kalah.
Sedangkan, ayah merasa bangga dan sombong dengan berbuat seperti itu.
Dengan demikian, ada jarak psikologis antara kedua belah pihak sehingga
tidak mungkin lagi si ayah dapat mempengaruhi anak-anaknya.

Mengejek mereka bilamana mereka istiqamah (konsekuen dalam agama). Sikap 
seperti ini merupakan fenomena pelecehan yang paling berat. Oleh karena
itu, jika Anda dapati ada di antara orang tua yang suka meremehkan
anak-anaknya apabila di antara mereka itu ada yang bertakwa,
berperilaku baik, shaleh, konsekuen dalam beragama, dan mendapatkan Hidayah 
(dari Allah), sehingga anak-anak tersebut sesat dan berbalik haluan.
Akibatnya, stelah peristiwa itu, mereka menjadi beban atas diri ayah
dan sebagai penyebab timbulnya berbagai bencana buat dia.

Tidak
memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengoreksi dan mengadakan
perubahan yang lebih baik. Ada orang tua yang memarahi anaknya hanya
karena kesalahan dan kekeliruan yang sepele. Bahkan, bisa jadi orang
tua tidak dapat melupakan kesalahan itu. Apabila si anak mencuri, ia
dipanggil dengan panggilan “hai pencuri”. Apabila ia berdusta ia
dipanggil dengan sebutan “wahai pendusta”. Seolah-olah
kesalahan-kesalahan tersebut mrpk pukulan keras yang tidak mungkin
dapat pudar dan merupakan tanda keaiban yang tidak kunjung sirna. Dari
sini si anak itu berkembang, sedangkan pada dirinya tertanam perasaan
bahwa ia adalah pencuri atau pendusta. Dengan demikian, ia tidak dapat
melepaskan diri dari aibnya, disamping ia tidak mendapatkan orang yang
dapat membantu mengatasi masalahnya itu.

Sikap-sikap
yang saya sebutkan di muka merupakan sikap apriori orang tua terhadap
anak-anaknya. Adapula Orang tua selalu menginginkan anaknya punya
cita-cita yang tinggi, bahkan tidak jarang pula yang memaksakan
kehendak atas keinginan yang diinginkannya. “Nak, kamu jadi ini aja
atau jadi itu aja. Jangan jadi anu!” demi memuluskan keinginannya itu
orang tua memasukkan pilihan ekskul di sekolahnya, padahal anak tidak
menginginkan ekskul pilihan orang tuanya. Kalau kurang dengan pilihan
ekskulnya di sekolah, orang tua lantas mendatangkan guru les untuk
mengasah dan menambah kompetensi anaknya akan keinginannya itu. Jangan
salahkan anaknya bila tidak semangat dalam belajarnya, tidak semangat
mengikuti kegiatan ekskul di sekolah atau ogah-ogahan ketika guru
lesnya datang ke rumah. 

Untungnya,
semasa kecil orang tua saya tidak terlalu membebaniku mempunyai
cita-cita yang tinggi. Bagi beliau, cukup menjadi orang yang bermanfaat
di dunia, negara, dan agama sudah cukup. Padahal dalam hati kecil saya
punya cita-cita menjadi guru besok kalau sudah besar. Cita-cita jadi
guru itu terpatri dalam dada dan selalu saya ingat di setiap kali
menjelang tidur, bangun tidur, dan berangkat ke sekolah.

Pernah
juga cita-cita ini saya utarakan kepada teman sekelas, dan mereka semua
memberikan sorakan dengan nada mengejek. “Masa , laki-laki punya
cita-cita jadi guru?” ejekan beberapa teman sekelas itu tidak seratus
persen saya salahan. Bisanya, kalau teman-teman sekelas ditanya
Ibu/bapak guru maka mereka akan menjawab bahwa cita-cita mereka menjadi
dokter, pilot, polisi, atau insinyur. Bagiku cita-cita menjadi guru
adalah cita-cita yang mulia satu tingkat lebih baik menurutku setelah
menjadi “ibu”.

Dengan bekal kebebasan pilihan atas cita-cita
itu, saya ingin memberikan kepercayaan kepada orang tua saya bahwa saya
akan mewujudkan cita-cita itu, saya akan tetap ingin selalu mewujudkan
keinginan sederhana orang tua saya menjadi orang yang bermanfaat di
dunia, negara, dan agama. Meski sekarang saya menjadi guru di sekolah
dasar di Sangata – wilayah terpencil yang kurang punya akses – dan di
suatu sekolah yang menampung anak-anak karyawan pertambangan. Berawal
menjadi guru di sanalah akan saya bangun mimpi-mimpi dan cita-cita
orang tua saya yang secara spesifik tidak beliau sebutkan tapi tetap
saya patri dalam dalam dalam kalbu sanubariku “menjadi guru bagi diri
sendiri, sebelum menjadi guru orang lain”.

Berbekal
motto ini, saya tidak ingin menggurui, saya tetap ingin menjadi
pembelajar yang baik. Meskipun secara profesi saya sebagai guru, itu
hanya masalah profesi tapi sejatinya saya tetaplah menjadi seorang
pembelajar. Pembelajar yang selalu belajar dari anak didik-anak didik
saya, temen-temen guru, dan belajar dari kehidupan nyata. Amin
Allahumma Amin .. (*)


      

Kirim email ke