Dari pengurus Dompet BA :

Kasus Busung Lapar di NTB
- Tujuh Anak Balita Meninggal


26-05-05


Mataram,  Kompas  -  Dari 51 bayi berusia di bawah lima tahun yang mengalami 
gizi buruk selama Januari-Mei 2005 di Nusa Tenggara Barat, tujuh di antaranya 
meninggal dunia. Para korban itu meninggal karena menderita kekurangan kalori 
dan protein amat parah.
Hal tersebut ditandai dengan perubahan fisiknya yang sudah mencapai tingkat 
marasmus kwarsiorkor atau busung lapar.


Kondisi ini sangat ironis mengingat Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan salah 
satu daerah di Indonesia yang cukup baik hasil pertaniannya, yakni surplus 
beras.


Dari tujuh anak balita yang meninggal itu, enam meninggal di Rumah Sakit Umum 
(RSU) Mataram, seorang meninggal di rumah penderita. Hal itu diungkapkan dr 
Mar'i Sanad, Kepala Sub-Dinas Pelayanan Kesehatan dan Gizi Dinas Kesehatan NTB, 
dalam rapat koordinasi
untuk membahas masalah gizi buruk di daerah itu, Rabu (25/5) di Mataram. Rapat 
koordinasi dipimpin Gubernur NTB Lalu Serinata, didampingi Wakil Gubernur NTB 
Bonyo Tamrin Rayes.


Kasus  kematian  anak balita itu diperoleh dari laporan puskesmas di NTB. Dari 
51 anak balita penderita gizi buruk, sebanyak 26 anak berasal dari Kabupaten 
Lombok Barat. Menurut catatan, setiap bulan rata-rata 100 anak penderita gizi 
buruk harus dirawat di
RSU Mataram.


Dalam laporan ke Dinas Kesehatan NTB disebutkan, selama Januari-Mei 2005 (dari 
minggu pertama hingga minggu ke-17) tercatat 245 kasus gizi buruk. Jumlah itu 
meliputi 1 kasus di Kota Mataram, 7 kasus di Lombok Tengah, 20 kasus di Lombok 
Barat, dan 217 kasus
di Lombok Timur.


Pulang paksa


Staf  Humas  RSU  Mataram  yang dimintai keterangan semalam menyatakan, ada dua 
kasus kematian akibat gizi buruk, yaitu Husnurrahmah (1,5), warga Desa 
Pringgarata, Lombok Tengah, yang meninggal Selasa lalu pukul 04.00 di RSU 
Mataram. Seorang lainnya adalah
Marjanah (juga anak balita). Ia meninggal di kediamannya di Kelurahan Karang 
Pule, Kota Mataram, Senin lalu. Marjanah dibawa pulang paksa dari rawat inap 
RSU Mataram setelah orangtuanya menandatangani surat pernyataan.


Ketua  Komisi  B  DPRD  NTB  Hadi  Faesal  yang hadir dalam rapat itu 
mengatakan masih ada kesimpangsiuran data jumlah penderita busung lapar 
tersebut. Namun, munculnya kasus itu menghadirkan ironi bagi NTB yang sejak 
dicanangkan Operasi Tekad Makmur tahun
1980-an, provinsi itu mengalami surplus pangan melalui program olah tanah 
dengan sistem goro rancah (gora). Seperempat abad silam warga Lombok Tengah 
bagian selatan khususnya selalu kekurangan pangan (beras) yang mengakibatkan 
terjadinya busung lapar.


Lebih kontradiktif lagi, saat ini sejumlah ilmuwan mancanegara dari 
International Rice Research Institute (IRRI) berada di Lombok untuk melakukan 
penelitian mengenai keberhasilan bercocok tanam dengan sistem gora. "Saya jadi 
serba tidak enak. Di satu pihak
kami surplus beras, tetapi di pihak lain terjadi kasus gizi buruk," ucap Hadi.


Penyebab gizi buruk yang umumnya menimpa anak balita antara lain adalah 
rendahnya tingkat pendapatan (daya beli) penduduk, sanitasi dan lingkungan yang 
juga berkaitan dengan sosial budaya atau kebiasaan dan pola asuh gizi yang 
keliru.


Gejala klinis busung lapar antara lain warna rambut penderita jadi kemerahan, 
tubuh kurus kering, dan tulang nyaris terbalut kulit (marasmus). Jika gejala 
klinis tidak tertangani dengan baik, perut penderita makin buncit dan kaki 
membengkak (kwarsiorkor).


Ditanya soal istilah busung lapar yang ditujukan terhadap penderita gizi 
buruk-yang membuat sejumlah pejabat jajaran Pemerintah Provinsi NTB kebakaran 
jenggot-menurut Mar'i, pihaknya sudah tidak memakai istilah itu lagi.


Namun, Gubernur Serinata menyatakan tidak perlu sewot dengan istilah-istilah 
itu. Menurut dia, munculnya kasus itu hendaknya dijadikan hikmah agar tidak 
terulang di masa mendatang.


Surplus


Provinsi  NTB  dengan areal tanam 322.388 hektar menghasilkan 1.457.226 gabah 
kering giling (GKG) atau setara 734.442 ton beras setahun. Dari total produksi 
itu, 527.497 ton beras untuk konsumsi lokal provinsi berpenduduk 4.127.519 jiwa 
tersebut atau masih
ada surplus 206.945 ton. Divisi Regional Dolog NTB hanya mampu melakukan 
pengadaan 84.500 ton beras, sementara selebihnya diantarpulaukan.


Menurut  catatan  Kepala Bidang Harga dan Distribusi Pangan Badan Urusan 
Ketahanan Pangan Daerah NTB Ir P Dadih Permana, beras asal NTB yang dikirim ke 
Makassar (Sulawesi Selatan), Ende, dan Maumere (Flores), serta Sumba Barat 
(Nusa Tenggara Timur), bahkan
Surabaya (Jawa Timur), rata- rata 300 ton setiap bulan selama Januari-Juni 2004.


Menanggapi  surplus  beras  itu, Wakil Gubernur NTB Bonyo Tamrin Rayes 
mengingatkan agar program yang diutarakan sejumlah dinas/instansi dilaksanakan 
secara nyata di lapangan. "Kalaupun tadi dilaporkan ada surplus beras, perlu 
diingat, kelebihan itu ada di
tangan kalangan tertentu, bukan di tangan masyarakat," katanya.


Data Dinas Pertanian NTB menunjukkan, kondisi ketersediaan produksi padi di 
provinsi itu selama Januari-Desember 2005 diperkirakan mencapai 844.340 ton, 
dengan kebutuhan konsumsi 530.788 ton, sehingga ada surplus 313.552 ton.


NTT rawan pangan


Dari  Nusa  Tenggara  Timur (NTT) kemarin juga dilaporkan, hingga akhir Maret 
2005 tercatat 115 kecamatan yang terdiri dari 1.215 desa atau kelurahan di NTT 
mengalami rawan pangan karena kemarau berkepanjangan. Penduduk yang mengalami 
rawan pangan tercatat
194.633 keluarga (sekitar 902.897 jiwa) atau hampir seperempat dari penduduk di 
NTT yang berjumlah 4.165.568 jiwa.


"Kemarau  berkepanjangan  membuat  sejumlah  komoditas, seperti padi, jagung, 
ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, kacang hijau, dan sorgum, mengalami gagal 
panen atau rusak. Total areal yang gagal panen mencapai 82.461 hektar dari 
areal tanam 519.944 hektar
atau sekitar 14 persen," ujar Gubernur NTT Piet A Talo seusai menghadap Wakil 
Presiden Jusuf Kalla di Istana Wakil Presiden, Jakarta, kemarin.


Piet menjelaskan, rawan pangan di NTT terjadi hampir merata di seluruh daerah 
yang menjadi langganan kekeringan ini. Namun, tahun ini musim kemarau di NTT 
berlangsung lebih panjang dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, yaitu 
lebih dari delapan bulan.


Tingkat kerusakan paling berat terjadi di sembilan kabupaten, yaitu Belu, Timor 
Timur Selatan, Sumbawa Barat, Sikka, Lembata, Kupang, Rote Ndao, Ngada, dan 
Flores Timur. Rata-rata kerusakan areal di daerah itu lebih dari 4.000 hektar.


Seusai  diberikan  laporan mengenai kondisi rawan pangan di NTT, Kalla meminta 
kepada Gubernur NTT beserta pejabat di bawahnya untuk meningkatkan daya beli 
masyarakat. Hal itu dapat dilakukan dengan memanfaatkan teknologi pertanian, 
misalnya dengan memilih
bibit pertanian yang lebih tahan di lahan kering.


"Untuk peningkatan daya beli masyarakat ini, Wakil Presiden memberi contoh, 
Jakarta tidak punya sawah, tetapi warganya bisa membeli beras. Untuk masalah 
rawan pangan di NTT, upaya peningkatan daya beli masyarakat harus 
ditingkatkan," tutur Piet.


"Untuk kondisi darurat, dari Bulog telah disiapkan sekitar 9.000 ton beras guna 
disebarkan ke daerah-daerah yang rawan pangan. Beras sebanyak itu hanya cukup 
untuk kebutuhan masyarakat selama tiga bulan," ujar Piet. (RUL/INU)






AYO GALANG SOLIDARITAS UNTUK MEMBANTU KORBAN MUSIBAH DI ACEH & DAN SUMATERA 
UTARA !!!
================
Kirim bunga, http://www.indokado.com
Info balita: http://www.balita-anda.com
Stop berlangganan/unsubscribe dari milis ini, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]
Peraturan milis, email ke: [EMAIL PROTECTED]

Kirim email ke