Pengalaman Buruk Di Rs Husada Pengalaman Buruk di RS Husada
Ibu saya bernama Sri Wulan. Beliau meninggal dunia pada usia 88 tahun pada tanggal 22 Juli 2004. Walaupun hampir delapan bulan telah berlalu, kematian ibu saya masih meninggalkan kesedihan mendalam di hati saya. Kesedihan itu juga diikuti kekecewaan dan kemarahan atas buruknya perawatan dan pelayanan yang dialami beliau selama dirawat di RS Husada beberapa hari terakhir menjelang kematiannya. Adapun kejadiannya adalah sebagai berikut: Pada hari Sabtu tanggal 10 Juli 2004 ibu saya mengalami mual-mual yang berakibat beliau kehilangan nafsu makannya. Kira-kira pukul 1 siang, saya membawa beliau ke RS Husada untuk dirawat inap dan beliau pun ditempatkan di kamar D, Paviliun VIP Anggrek, di mana sebulan sebelumnya kamar itu adalah kamar yang pernah ditempati beliau selama lebih dari 3 bulan. Sesampainya di kamar, perawat seperti biasanya segera memasangkan infus di lengan, mengukur tekanan darah, mengambil sampel darah untuk diperiksa di laboratorium dan melakukan tes EKG jantung. Ketika tes EKG dilakukan, rasa cemas dan khawatir menghinggapi hati saya begitu saya melihat grafik EKG yang dihasilkan. Meskipun saya bukan seorang dokter, firasat saya mengatakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres pada jantung ibu saya, maka saya pun segera menanyakan kondisi jantung ibu saya kepada sang perawat. Si perawat menjawab bahwa ia sendiri tidak tahu; hasil EKG harus dikonsultasikan dahulu kepada dokter ahli jantung untuk mendapatkan diagnosanya. Karena pada saat itu ibu saya merasa sangat mual, saya mendesak perawat untuk segera memberi pertolongan dan mendapatkan obat penangkal mual dari dokter jaga. Selain itu, karena ibu saya menderita diabetes mellitus, keadaan beliau saat itu yang tidak bisa makan sama sekali membuat saya khawatir akan terjadinya hypoglycemia (kadar gula dalam darah turun drastis) yang bisa membahayakan keselamatan jiwanya. Setelah kurang lebih dua jam saya bolak-balik ke kantor perawat Paviliun Anggrek untuk menanyakan tentang obat mual, perawat akhirnya datang memberikan obat tersebut. Yang memprihatinkan, selama saya menunggu dari jam 2 siang sampai jam 6 sore, tidak ada satupun dokter yang datang memeriksa ibu saya. Jangankan dokter ahli, dokter jaga pun tidak ada sama sekali. Dengan panik saya pun bolak-balik ke kantor perawat meminta agar segera didatangkan dokter, namun setiap kali ditanya, para perawat selalu menggelengkan kepala dan mengatakan bahwa mereka tidak tahu kapan persisnya dokter akan datang karena hari itu adalah hari Sabtu sehingga banyak dokter yang tidak bertugas. Karena hari sudah menjelang malam, saya akhirnya memutuskan pulang setelah sebelumnya saya wanti-wanti para perawat untuk segera mendatangkan dokter. Saya pun pulang dengan penuh pengharapan dan kepercayaan bahwa ibu saya akan mendapatkan perhatian dan perawatan yang baik, apalagi mengingat bahwa hampir semua perawat di Paviliun Anggrek sudah mengenal ibu saya. Namun ternyata malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Keesokan harinya, saya datang ke RS kira-kira pukul 9 pagi. Alangkah terkejutnya saya ketika mengetahui bahwa sepanjang malam kemarin hingga Minggu pagi sebelum pukul 8 tetap tidak ada satupun dokter yang datang. Menurut penuturan perawat, kira-kira pukul 8 pagi ada seorang dokter muda yang tugas jaga malam datang memeriksa; tapi itupun hanya pemeriksaan rutin yang sederhana, tidak ada tindakan medis apa-apa. Dan ternyata ibu saya masih merasakan mual dan tetap tidak bisa makan, bahkan badannya semakin lemas karena semalam tidak bisa tidur, meskipun obat mual sudah diberikan sejak kemarin. Rasa khawatir dan marah pun makin memuncak dalam diri saya dan saya pun bergegas menuju ke kantor perawat sekali lagi, mendesak untuk segera didatangkan dokter ahli. Atas desakan saya, perawat akhirnya mengatakan bahwa dr. Nanda sedang berkeliling memeriksa pasien di Paviliun Anggrek. Dr. Nanda adalah salah satu anggota tim dokter yang merawat penyakit diabetes ibu saya selama dua tahun terakhir sehingga saya mengenalnya dan segera menemuinya untuk minta pertolongannya. Kepada dr. Nanda saya kemukakan kekhawatiran saya mengenai hasil EKG ibu dan ia pun segera memeriksanya. Kekhawatiran saya terbukti begitu dr. Nanda mengatakan bahwa kondisi jantung ibu memang kurang baik dan ia menyarankan agar ibu dirawat di ICCU. Maka saat itu pula ibu pun dipindahkan ke ICCU. Keesokan siangnya, Senin 12 Juli, dokter ahli diabetes yang merawat ibu datang ke ICCU dan mengatakan kepada saya bahwa jantung ibu mengalami masalah. Akan tetapi, dokter ahli jantung yang menangani ibu di ICCU berkata lain; menurutnya ginjal ibulah yang bermasalah sehingga ibu mengalami gangguan jantung. Memasuki hari ke-4 di ICCU, kondisi ibu saya terus menurun. Badannya makin kurus, mukanya pucat, lengannya membengkak dan nafasnya sesak hingga harus dibantu oksigen dari tabung. Penderitaan ibu menusuk hati saya karena selama ini saya belum pernah melihat beliau begitu menderita. Sempat pada hari ketiga di ICCU, kesadaran ibu menurun drastis sehingga beliau tidak mengenali siapapun termasuk anggota keluarganya. Beliau hanya bisa memandangi kami dengan tatapan kosong dan tak bisa berbicara sepatah kata pun. Kesadarannya baru pulih setelah saya berhasil mendesak ICCU untuk mendatangkan dokter ahli syaraf. Anehnya, sampai saat itu dokter ahli ginjal belum juga datang dan lagi-lagi saya harus meminta dokter jaga di ICCU untuk mendatangkan dokter ahli ginjal. Ternyata dokter ahli ginjal tidak bisa segera datang karena RS sebesar Husada tidak punya dokter ahli ginjal yang berdinas tetap di sana sehingga harus meminjam dari RS lain! Ini sungguh sangat ironis. Dokter ahli ginjal pinjaman dari RSCM pun akhirnya datang setelah ibu dirawat 4 hari di ICCU, padahal pada hari kedua di ICCU dokter jantung sudah menyatakan bahwa kondisi ginjal ibulah yang menyebabkan masalah pada jantung. Hal ini mencerminkan betapa lambannya penanganan pasien di RS Husada, terutama bagi pasien yang berada di ruang ICCU yang sangat membutuhkan perawatan cepat dan intensif. Perlu diketahui bahwa sebelum masuk ICCU, ibu saya belum pernah mengalami komplikasi jantung maupun ginjal meskipun beliau sudah mengidap penyakit diabetes selama kurang lebih 20 tahun. Hal ini sudah ditegaskan oleh dokter diabetes yang merawat ibu saya selama dua tahun terakhir berdasarkan konsultasi ke dokter ahli jantung dan ginjal secara berkala. Bahkan dokter diabetes itu pernah mengatakan bahwa ibu saya tidak menderita penyakit lain selain diabetes Lambannya penanganan pasien di RS Husada diperparah dengan tidak adanya koordinasi antar dokter. Sebagai anggota keluarga pasien, saya harus sibuk menanyakan dokter ahli apa saja yang perlu diikutsertakan dalam tim medis. Dan tidak seperti layaknya sebuah tim yang bahu-membahu dan saling berkomunikasi dalam mengobati pasien, para dokter yang merawat ibu saya di ICCU bertindak sendiri-sendiri. Tidak ada satupun di antara mereka bertindak sebagai ketua tim yang mengkoordinir setiap tindakan medis yang dilakukan dan setiap dokter memberikan diagnosa menurut versinya masing-masing. Yang lebih mengerikan lagi, setiap dokter memberikan obat sehingga ibu saya harus mengkonsumsi bermacam-macam obat dalam jumlah banyak dan berganti-ganti jenisnya, baik secara oral maupun melalui infus. Tindakan ini sangat berbahaya terutama bagi pasien lanjut usia seperti ibu saya karena interaksi berbagai obat dapat mengakibatkan efek samping yang fatal. Komunikasi antara dokter dan pihak keluarga pasien juga sangat buruk. Dokter yang seharusnya memberikan informasi secara jelas dan rinci kepada pasien maupun pihak keluarganya mengenai penyakit pasien malah selalu berusaha menghindar. Setiap kali anggota keluarga kami menanyakan keadaan ibu, para dokter hanya menjawab sekenanya saja dan kemudian bergegas meninggalkan ruangan. Akibatnya kami sekeluarga pun merasa bingung dan gemas karena kami sepertinya diacuhkan. Setelah dirawat selama 5 hari di ICCU, ibu saya akhirnya diperbolehkan untuk menjalani rawat inap di kamar biasa. Pengalaman buruk di Paviliun Anggrek di hari pertama membuat saya takut, sehingga saya memindahkan ibu ke pavilion VIP yang lain yaitu Paviliun Cempaka. Kondisi ibu ternyata terus memburuk: tubuhnya kian membengkak dan nafasnya makin tersengal-sengal. Melihat kinerja tim dokter RS Husada yang lamban dan tidak terkoordinir sama sekali, saya dan seluruh anggota keluarga lainnya kemudian berkonsultasi dengan dokter keluarga kami dan atas anjuran beliau akhirnya kami sekeluarga memutuskan untuk memindahkan ibu ke RS MMC. Ketika saya mengurus kepindahan ibu saya ke RS MMC (membayar biaya RS, mengambil salinan rekam medis dan sebagainya), dr. Y. Hans Cahyadi selaku kepala RS Husada kebetulan berada di dekat saya di kantor perawat Paviliun Cempaka. Saya pun segera menghampirinya dan mengeluarkan uneg-uneg serta kekecewaan saya terhadap buruknya layanan RS yang dipimpinnya. Dr. Hans sempat menanyakan di mana ibu saya berada saat itu dan saya menjawab bahwa detik itu pula saya akan memindahkan ibu saya ke RS MMC. Mendengar keluhan saya, dr. Hans pun mengambil jurnal harian pasien yang memuat kronologi kejadian yang dialami ibu saya. Dia pun terkejut ketika melihat bahwa pada jurnal tanggal 10 Juli jelas tertera bahwa tidak ada seorang dokter pun yang datang memberi pertolongan. Dr. Hans bahkan sempat bergumam sendiri, bertanya-tanya mengapa tidak ada dokter - bukankah di ICCU selalu ada dokter jaga yang stand by 24 jam? Namun beliau tidak mengatakan apa-apa kepada saya. Jangankan permintaan maaf, pernyataan simpati pun tidak keluar dari mulutnya. Emosi saya memuncak kala itu, dan tanpa menghiraukan keadaan sekeliling saya (di mana ada kakak saya dan banyak perawat yang mendengar dan menyaksikan), air mata saya bercucuran saat saya berkata kepada dr. Hans, "Hidup mati seseorang memang di tangan Tuhan, tapi walaupun ibu saya sudah tua, saya masih mengharapkan umur beliau lebih panjang lagi." Terus terang saya tidak rela ibu saya dibiarkan menderita sedemikian rupa tanpa simpati dan tanggung jawab dari pihak RS. Satu hal lagi yang perlu dicatat adalah saat pemindahkan ibu saya ke RS MMC, pihak RS Husada sangat mempersulit dalam proses peminjaman ambulans. Perawat di Paviliun Cempaka mengatakan bahwa RS Husada memiliki 2 unit mobil ambulans, tetapi kedua-duanya tidak bisa dipinjam karena sedang dipakai sehingga dia menganjurkan saya untuk memakai ambulans Pemda DKI Jakarta dengan menyuruh saya menghubungi nomor telepon 118. Saya pun langsung menanggapi dengan menyatakan bahwa saya telah membayar uang ratusan juta rupiah ke kas RS Husada, tapi mengapa pada saat ibu saya sedang dalam keadaan gawat, RS Husada masih tega mempersulit kami? Apakah saya perlu mendatangkan seorang pengurus Yayasan RS Husada yang saya kenal atau bahkan pejabat pemerintah untuk menghadap ke sini? Setelah berdebat cukup lama, akhirnya RS Husada mau meminjamkan ambulansnya dengan mengharuskan saya membayar Rp. 200.000 terlebih dahulu. Sungguh berbelit dan menjengkelkan menghadapi para perawat dan petugas administrasi di RS Husada. Ibu saya adalah pasien yang selalu dirawat di kelas VIP tapi masih mendapatkan perlakuan seburuk itu. Bayangkan nasib mereka yang karena ketidakmampuannya terpaksa masuk kelas II atau III alias kelas kambing? Ibu saya tercinta memang telah tiada. Namun dalam benak saya masih tersisa sebuah tanda tanya besar: apakah kesalahan dan kelalaian yang dilakukan pihak RS Husada turut ambil bagian mempercepat kematiannya? Apakah kasus yang menimpa ibu saya ini tergolong malpraktek? Mungkin sekarang hanyalah penyesalan, kekecewaan dan kemarahan yang tersisa dari peristiwa ini. Namun pengalaman buruk ini saya uraikan untuk kiranya dijadikan peringatan bagi mereka yang memerlukan pertolongan RS; bahwa RS yang seharusnya dijadikan tumpuan harapan untuk memperoleh kesembuhan, kadang-kadang malah mencelakakan orang yang sangat kita cintai. Karena itu masyarakat perlu berhati-hati dalam memilih RS; banyak algojo yang berkeliaran di RS dan siap memangsa korbannya tanpa rasa perikemanusiaan dengan memberikan pelayanan medis secara sembrono demi meraup laba. Kasus yang menimpa ibu saya adalah contoh konkret di mana dokter sering memberikan obat-obat secara berlebihan kepada pasiennya. Dalam kasus ini, tidak adanya kontrol secara berkala (misalnya pemeriksaan di laboratorium) terutama pada pasien berusia lanjut, sehingga berakibat ibu saya yang semula tidak menderita penyakit ginjal akhirnya menderita gagal ginjal. Sepertinya sudah menjadi rahasia umum bahwa pabrik obat memberikan insentif bagi para dokter yang memberikan obat yang diproduksinya. Insentif itu lumayan banyak jenisnya: mulai dari suvenir, uang tunai, mobil, seminar keluar negeri (berikut tiket, hotel dan uang saku) sampai hadiah rumah. Akibatnya, pasien dijadikan kelinci percobaan dan "dipaksa" membeli obat-obat dalam jumlah banyak dan mahal, tetapi belum tentu tepat sasarannya. Dan bila terjadi sesuatu pada pasien, sang pasienlah yang selalu dirugikan, baik secara material maupun fisiknya. Pasien tak berdaya melawan tindakan semena-mena ini dan selalu disalahkan. Saya pun menghimbau para dokter, perawat dan yayasan pengelola RS untuk tidak hanya mengejar laba semata, tapi juga mengedepankan hati nurani dalam menjalankan profesinya. Harap diingat, bahwa Tuhan senantiasa mengawasi tindak-tanduk kita dan bahwa setiap perbuatan kita akan dikenakan ganjaran yang setimpal. Mama yang tercinta, saya merelakan kepergianmu. Selamat jalan. Mama selalu ada di hati saya dan seluruh keluarga. Tetapi saya tidak rela melihat mama diperlakukan semena-mena oleh tim medis RS Husada Maret 2005 Indrajani Martana, SH Kebayoran Baru, Jakarta