Bina Anak Shalih - Vol. 5, No. 7-8

"Bid…ayo mandi! Disuruh mandi saja kok malas amat!" bentak ibu Abid (7)
seraya menyeret paksa anaknya yang sedang asyik bermain.
"Fatma…jangan dekati kompor itu! Bahaya, tahu!" Bentak ayah Fatma yang
memergoki putrinya (2) sedang mengutak-atik kompor minyak.
Ketika bocah kecil itu menangis mendengar bentakan ayahnya, sang ayah malah
kembali membentak, "Heh…diam!" Si kecil pun semakin ketakutan.
Membentak anak, sepertinya sudah menjadi kebiasaan sebagian orang tua. Saat
melihat anak melakukan kesalahan, atau ketidakpatuhan, orang tua memang
sering dibuat jengkel. Secara refleks, karena emosi, orang tua sering
bermaksud 'menasihati', tapi diucapkan dengan nada tinggi. Kebiasaan ini
juga lebih sering dilakukan oleh orang tua yang temperamental.
Pertanyaannya, efektifkah menasihati anak dengan bentakan? Tentu tidak,
sebab kalau anak terlalu sering dibentak, maka ia bisa tumbuh menjadi
pribadi yang minder, tertutup, bahkan pemberontak. Ia pun bisa menjadi
temperamental dan meniru kebiasaan orang tuanya, suka membentak. Dalam Nikah
edisi Juni 2006 sudah dibahas cara  menasihati anak secara efektif (Menegur
Perilaku, Menghargai Pelaku). Pada edisi kali ini, akan dipaparkan beberapa
akibat bila anak terlalu sering menerima bentakan. Selain itu, akan dibahas
pula bagaimana kiat menumbuhkan kepatuhan.

*SALAH KAPRAH ORANG TUA*
Seringkali orang tua baru bertindak ketika kesalahan telah dilakukan oleh
anak. Bukan mencegah, mengarahkan, dan membimbing sebelum kesalahan terjadi.
Seharusnya orang tua mempertimbangkan tingkat perkembangan kejiwaan anak,
sebelum membuat aturan. Jangan menyamakan anak dengan orang dewasa. Orang
tua hendaknya menyadari bahwa dunia anak jauh berbeda dengan orang dewasa.
Jadi, ketika menetapkan apakah perilaku anak dinilai salah atau benar, patuh
atau melanggar, jangan pernah menggunakan tolok ukur orang dewasa. Harus
diakui, orang tua yang habis kesabarannya sering  membentak dengan kata-kata
yang keras bila anak-anak  menumpahkan susu di lantai, terlambat mandi,
mengotori dinding dengan kaki, atau membanting pintu. Sikap orang tua
tersebut seperti polisi menghadapi penjahat. Sebaliknya, orang tua sering
lupa untuk memberikan perhatian positif ketika anak mandi tepat waktu,
menghabiskan susu dan makanannya, serta memberesi mainannya. Padahal
seharusnya, antara perhatian positif dengan perhatian negatif harus
seimbang.

*PENGARUH TERHADAP ANAK *
Anak-anak yang sering  diberi perhatian negatif, apalagi dengan teguran
keras atau bentakan, akan mudah tertekan jiwanya. Kemungkinan  ia bisa
berkembang menjadi anak yang:

-* Minder*
 Bila anak selalu dicela dan dibentak, dan tak pernah menerima perhatian
positif saat ia melakukan kebaikan, maka ia bisa tumbuh menjadi pribadi yang
tidak percaya diri atau minder. Akan tertanam dalam jiwanya bahwa ia
hanyalah anak yang selalu melakukan kesalahan, tidak pernah bisa berbuat
kebaikan atau menyenangkan orang lain. Akibatnya, ia sering ragu-ragu atau
tidak percaya diri untuk melakukan atau mencoba sesuatu karena takut salah.
Misalnya, ia jadi tidak pede  untuk mengaji atau membaca Al-Quran, gara-gara
orang tuanya selalu membentaknya bila mendengar bacaannya salah.

-*Cuek/ tidak peduli*
Anak yang selalu dibentak juga bisa berkembang menjadi anak yang cuek dan
tidak peduli. Akibat sudah terlalu sering menerima bentakan, ia malah jadi
apatis, tidak peduli. Ia pun sering mengabaikan nasihat orang tuanya.
Mungkin saat  dibentak atau dimarahi ia terlihat diam mendengarkan, tapi
sesungguhnya kata-kata orang tuanya hanya dia anggap angin lalu. Masuk ke
telinga kanan lalu keluar lewat telinga kiri.

- *Tertutup*
 Orang tua yang temperamental dan suka membentak, tentu akan menakutkan bagi
anak. Ya, anak menjadi takut  pada orang tuanya sendiri, sehingga ia tumbuh
menjadi pribadi yang tertutup. Ia tak pernah mau berbagi cerita dengan orang
tuanya. Buat apa berbagi kalau nanti ujung-ujungnya ia akan disalahkan?
Dengan demikian, komunikasi antara orang tua dan anak tidak bisa berjalan
lancar. Hal ini tentu berbahaya, karena bila menghadapi masalah dan hanya
disimpan sendiri, jiwa anak bisa sangat tertekan.

- *Pemberontak/ penentang*
 Anak yang bersikap menentang bisa digolongkan dalam 3 tipe. Pertama, tipe
penentang aktif. Mereka menjadi anak yang keras kepala, suka membantah dan
membangkang apa saja kehendak orang tua. Mereka marah karena merasa tidak
dihargai oleh orang tua. Untuk melawan jelas tak bisa, karena ia hanya
seorang anak kecil. Maka ia pun berusaha menyakiti hati orang tuanya. Ia
akan senang bila melihat orang tuanya jengkel dan marah karena ulahnya.
Semakin bertambah emosi orang tua, semakin senanglah ia. Kedua, tipe
penentang dengan cara halus. Anak-anak ini jika diperintah memilih sikap
diam, tapi tidak juga memenuhi perintah. Sebagaimana Abid yang disuruh mandi
oleh ibunya, tapi tak juga mau beranjak dari tempatnya bermain. Saat ia
ditinggalkan sendiri di kamar mandi pun, ia tidak segera mandi, malah
bermain air atau kapal-kapalan. Ketiga, tipe selalu terlambat. Anak seperti
ini baru mengerjakan suatu perintah setelah terlebih dahulu melihat orang
tuanya jengkel, marah, dan mengomel atau membentak-bentak karena
kemalasannya. Misalnya Angga yang belum mau beranjak dari tempat tidurnya
bila belum dibentak atau diomeli ibunya.

- *Pemarah, **temperamental dan suka membentak*
 Anak sering meniru sikap orang tuanya. Bila orang tua suka marah atau 'main
bentak' karena sebab-sebab sepele, maka anak pun bisa berbuat hal yang sama.
Jangan heran bila anak yang diperlakukan demikian, akan berlaku seperti itu
terhadap adiknya atau  teman-temannya.

*BAGAIMANA MENUMBUHKAN KEPATUHAN?*
Setelah jelas bila bentakan tidak efektif untuk menumbuhkan kepatuhan,
bahkan berpengaruh negatif bagi kepribadian anak, lalu bagaimanakah cara
yang baik untuk menumbuhkan kepatuhan?

*- Beri penjelasan pada anak*
Jelaskan pada anak dengan bahasa yang ia mengerti, mengapa suatu hal
diperintahkan dan hal lain dilarang. Jangan sekali-sekali memberi keterangan
dusta dalam hal ini.

*- Perintahkan sebatas kemampuannya*
Perintah di luar kesanggupan dan kemampuan anak justru bisa menyebabkan
krisis syaraf (neurotic) dan buruk perangai. Ada pepatah mengatakan, "Jika
engkau ingin ditaati, maka perintahkanlah apa yang dapat dipenuhi."
Sebaiknya perintah itu dibagi-bagi dan tuntutan pelaksanaannya pun bertahap.
Untuk mengetahui sampai di mana batas kemampuan anak sesuai perkembangan
usianya, diperlukan pengetahuan tersendiri. Sebaiknya orang tua memahami
perkembangan anak ini.

- *Tidak berdusta atau menakut-nakuti  *
Kadang orang tua mengatakan akan membelikan ini atau itu jika anak mematuhi
perintahnya, tapi ternyata setelah anak patuh, orang tua tidak menepati
janjinya. Itu berarti orang tua berdusta, dan bisa jadi anak tidak akan
percaya lagi pada orang tuanya. Kedustaan seperti ini harus dihindari.
Selain itu, orang tua juga sering menakut-nakuti anak dengan sesuatu yang
seharusnya berguna baginya. Itu dilakukan karena ingin anaknya segera
memenuhi perintah mereka. Misalnya menakut-nakuti anak dengan dokter,
suntikan dan sebagainya. Ketakutan anak pada hal-hal tersebut bisa terbawa
hingga ia dewasa.

- *Jangan bertentangan dengan naluri anak*
Gharizah atau naluri adalah kekuatan terpendam dalam diri manusia yang
mendorongnya untuk melakukan beberapa pekerjaan tanpa berlatih terlebih
dahulu. Janganlah orang tua melarang anak bermain, atau membongkar dan
memasang sesuatu. Jangan pula melanggar kebiasaan anak kalau tidak ingin
mereka menggunakan jerit tangis sebagai senjatanya. Lebih baik gharizah itu
diarahkan sedemikian rupa sehingga anak bisa mengatur dirinya sendiri.
Misalkan diberi perintah, "TPA nanti mulai ba'da asar lho, sekarang kan udah
setengah tiga. Adik udah aja ya mainnya, dilanjutin besok aja, sekarang
mandi dulu, kan udah mau adzan…". Ungkapan itu tidak melarang anak bermain,
dan tidak melanggar kebiasaan mereka bermain di tengah hari. Pemberian 'masa
terbatas' ini dimaksudkan agar anak bisa mengatur jadwal kegiatannya
sendiri, dan akan sangat menolong untuk melatih anak disiplin waktu. Selain
itu mereka merasa dianggap mampu untuk mengatur dirinya sendiri tanpa harus
didikte begini dan begitu.

*(Oel)*   Referensi: *Mendidik dengan Cinta*, Irawati Istadi. Pustaka Inti.
http://majalah-nikah.com/nikah2/index.php?option=com_content&task=view&id=45&Itemid=38

Kirim email ke