Karena lagi rame2nya ngomongin home schooling, ini aku
foward in dari milis sebelah, sorry kalo udah pernah dapet...sekalian comment
aku
ttg home schooling, moms en dads gimana donk commentnya....
---------------------- Forwarded by Rini Ismawati/MKI on 02/14/2006 04:17 PM
---------------------------
(Embedded image moved to file: pic12113.pcx)   Rini Ismawati
01/28/2006 04:19 PM


To:   Tiyas Wuliyandari/[EMAIL PROTECTED]
cc:   Wenny Artha/[EMAIL PROTECTED], RME Yogisnata/[EMAIL PROTECTED], 
Hestiyana/[EMAIL PROTECTED], Inu
      Adhitya/[EMAIL PROTECTED]
Subject:  Re: [sehat] (OOT) HOME SCHOOLING  (Document link not converted)

Ini kayaknya hanya cocok  untuk orang kaya dech mbak....
Soalnya mereka kan coba2, kalo gagal masih bisa makan dari harta ortunya or
kerja
di perush keluarga...(yg nggak butuh ijasah formal).
Cuma kok enak banget gitu loh, sekolah dirumah dapat sertifikat sbg lulusan
luarnegeri dan diakui diIndonesia..???
Padahal selama sekolah dirumah, nggak ada pihak ke 3 yg ngawasin kan, en untuk
dapetin sertifikat "hanya" mengirimkan
hasil ujian ...? padahal gurunya emaknya sendiri, kalo bisa kayak gitu
dibagus-bagusin aja nilai ujiannya.....




TIYAS WULIYANDARI
01/28/2006 03:22 PM

To:   Wenny Artha/[EMAIL PROTECTED], RME Yogisnata/[EMAIL PROTECTED], Rini 
Ismawati/[EMAIL PROTECTED],
      Hestiyana/[EMAIL PROTECTED], Inu Adhitya/[EMAIL PROTECTED]
cc:    (bcc: Rini Ismawati/MKI)

Subject:  [sehat] (OOT) HOME SCHOOLING


bisa gak ya......
---------------------- Forwarded by Tiyas Wuliyandari/MKI on 01/28/2006 03:21 PM
---------------------------


[EMAIL PROTECTED] on 01/25/2006 08:40:50 AM

Please respond to [EMAIL PROTECTED]

To:   [EMAIL PROTECTED]
cc:    (bcc: Tiyas Wuliyandari/MKI)

Subject:  [sehat] (OOT) HOME SCHOOLING




Dari milis sebelah...





Rumah Kelasku, Dunia Sekolahku
MENDAPATKAN pendidikan yang baik untuk anak adalah
keinginan setiap orangtua. Bermacam-macam jenis sekolah
tumbuh bagai jamur di musim penghujan. Semua mengiklankan
diri sebagai sekolah dengan beragam nilai plus agar
dipilih orangtua bagi anaknya.
Ada yang memakai bahasa asing, menyediakan beragam
aktivitas di luar kelas, menggunakan gedung bertingkat
dengan ruangan ber-AC, hingga sekolah yang mengklaim diri
menggabungkan kurikulum luar negeri dan kurikulum berbasis
kompetensi dari Departemen Pendidikan Nasional.
Apa pun yang ditawarkan sekolah-sekolah itu, ternyata
tidak bisa memenuhi keinginan semua orangtua. Sampai saat
ini masih banyak kritik yang terlontar tidak saja dari
orangtua, tetapi juga masyarakat, pemerhati pendidikan,
hingga pemilik lapangan pekerjaan.
Namun, semua kritik itu seperti angin, berlalu begitu
saja. Tidak ada perubahan berarti. Sebagian orangtua lalu
mencari alternatif pendidikan. Salah satunya dengan
bersekolah di rumah (homeschooling).
"Saya termasuk orangtua yang tidak puas dengan sistem
pendidikan kita. Sudah berapa banyak sekolah yang saya
datangi, hingga yang internasional, ternyata tidak
memuaskan juga. Akhirnya saya putuskan untuk mengajar
sendiri anak-anak saya," kata Wanti Wowor (39), ibu empat
anak.
Wanti memiliki banyak alasan memutuskan mengeluarkan
anak-anak dari sekolah umum. Pertama, dia merasa sistem
pendidikan di sekolah hanya mengejar nilai rapor.
Sedangkan keterampilan hidup dan bersosialisasi tidak
diajarkan. Seorang anak dilihat berdasarkan nilai ulangan
yang didapat, bukan kemampuan diri secara keseluruhan.
Kondisi ini dapat mendorong anak (atau orangtua) mencontek
dan membeli ijazah palsu.
"Anak pertama saya, Fini, memerlukan waktu sedikit lebih
lama dibandingkan Fina, adiknya, untuk memahami sebuah
persoalan. Hal ini bukan berarti Fini tidak pandai, tetapi
dia memerlukan waktu atau cara lain untuk mengerti hal
baru. Ini yang sering tidak dipahami guru. Guru tidak
sempat memberi perhatian kepada murid satu per satu karena
yang jadi tanggung jawabnya banyak sekali," ungkap Wanti
menjelaskan.
Kedua, dalam hal pergaulan banyak murid yang mencari
identitas dari teman, bukan pada diri sendiri. "Banyak
murid yang terjebak, dia harus mempunyai barang yang sama
dengan temannya agar diterima pergaulan, atau biar
dibilang keren oleh teman. Ini kan tidak benar. Identitas
kok ditentukan teman, bukan diri sendiri. Ini baru barang,
bagaimana dengan narkoba," ujar Wanti.
Dia juga melihat orang belajar karena kebiasaan
masyarakat, bukan keinginan atau kesadaran dari diri.
Misalnya, sehabis SD harus dilanjutkan SMP, lalu SMA,
terus kuliah. Banyak orangtua yang sudah menyadari
kelebihan anaknya, namun anak tetap harus menempuh semua
jenjang pendidikan formal. Sedangkan eksplorasi pada
kelebihan anak agak diabaikan karena memandang pendidikan
formal lebih penting. Akibatnya, anak tidak merasa senang
bersekolah karena dia tidak tahu tujuan belajar di
sekolah.
Joseph Tjoandi (46), ayah empat anak yang juga
menyekolahkan anaknya di rumah, merasa prihatin ketika
melihat anaknya setiap hari pulang membawa kertas ulangan.
"Anak saya belajar terus karena akan ulangan. Belajar itu
harus sesuatu yang menyenangkan, bukan beban karena besok
ulangan. Anak saya tampak tertekan karena setiap hari
ulangan bisa lebih dari dua, masih ditambah PR
seabrek-abrek. Hidup seperti tidak menyenangkan bagi dia,"
kata Joseph yang semula sempat ragu karena memiliki empat
anak dan si bungsu masih bayi.
Sempat juga terpikir oleh Wanti mengirim anaknya
bersekolah di luar negeri. Namun, dia khawatir jika anak
berusia dini dikirim ke luar negeri, jati dirinya sebagai
orang Indonesia tidak tumbuh. Dia tidak akan mengenal dan
bisa jadi tak mau kembali ke Indonesia.
Melihat risiko yang menurut Wanti sangat mahal harganya,
dia banting setir. Tahun 1992 Wanti mengeluarkan semua
anaknya dari sekolah dan memutuskan mengajar sendiri
anak-anaknya di rumah.
"Bersekolah di rumah banyak dilakukan di AS (Amerika
Serikat). Di sana juga sudah tersedia kurikulum untuk itu.
Kebetulan saya mempunyai banyak teman di AS yang membantu
mengirimkan silabus dan buku-bukunya," kata Wanti yang
mengaku gemar mengajar.
Walau banyak tahu tentang bersekolah di rumah, Wanti perlu
dua tahun untuk mempersiapkan diri. Dia juga harus siap
menghadapi keluarga yang tentu menentangnya. "Saya sampai
dikatakan gila oleh suami saya. Katanya, saya
mempertaruhkan masa depan anak-anak," kenang Wanti.
Wanti sadar keputusannya mengandung konsekuensi berat. Dia
harus mau capek belajar lagi, karena bersekolah di rumah
berarti bukan anaknya saja yang belajar, tetapi justru
orangtua yang harus banyak belajar.
Helen Ongko (44), salah seorang ibu yang mendidik anaknya
dengan bersekolah di rumah, sampai harus ke Singapura dan
Malaysia mengikuti seminar tentang hal ini. Dia ingin
benar-benar mantap, baru mengambil keputusan. "Kebetulan
waktu itu kondisi ekonomi sedang krisis sehingga kami
banyak di rumah. Eh, ternyata enak ya belajar bersama di
rumah," kata Helen yang mulai mulai mengajar anak di rumah
tahun 2000.
Bukan hal mudah bagi Helen ketika mengajak anaknya
bersekolah di rumah. Putra pertamanya, Joey Ongko (14),
menolak keluar dari sekolah karena dia takut kehilangan
teman-temannya. Helen harus menjawab tiga pertanyaan yang
dikeluarkan Joey agar dia mau bergabung.
"Pertanyaannya adalah bagaimana Mama bisa tahan mengajar
kami kalau selama ini baru belajar dua jam saja Mama sudah
marah-marah. Kedua, jika Mama-Papa mengajar kami, siapa
yang mencari uang? Ketiga, kalau ada apa-apa dengan
Mama-Papa, siapa yang akan mengajar kami?" tutur Helen
menirukan pertanyaan anaknya.
"Pertanyaan yang sulit. Saya sampai minta ditunda satu
hari untuk menjawab itu. Lalu, saya katakan padanya,
justru dengan bersekolah di rumah Mama mempersiapkan kamu
dan adik-adik untuk mandiri. Jika suatu ketika Mama-Papa
tidak ada, kalian sudah tahu apa yang harus dikerjakan,
lebih mandiri. Mendengar jawaban itu, dia menerima.
Setelah mengajar sendiri di rumah, ternyata saya jadi
lebih sabar," ungkap Helen.
PERTAMA kali menjalani bersekolah di rumah, Helen tidak
merasa kesulitan. Dia ajak ketiga anaknya membaca biografi
Abraham Lincoln, lalu mereka berdiskusi dengan topik
mengapa Abraham Lincoln bisa menjadi orang hebat. "Dari
sana mereka lihat, untuk menjadi orang hebat dia harus
menjadi orang yang jujur dan turun ke bawah membela
kepentingan orang lain. Selesai satu buku, kami membaca
buku yang lain," cerita Helen yang bekerja sebagai
pengacara.
Untuk pelajaran matematika, semula anak-anaknya tidak
tertarik. Helen mencari akal dengan bermain
perang-perangan yang memang disukai anaknya. Dalam perang,
untuk bisa menang jumlah tentaranya harus banyak. Kalau
bisa, lebih banyak dari musuh. Untuk tahu apakah
tentaranya sudah banyak atau belum, dia mesti menghitung.
Dari permainan ini anak-anaknya bisa mengerti tujuan
belajar matematika.
Wanti, karena telah melihat praktik bersekolah di rumah
ketika berada di AS, mempunyai materi yang siap pakai. Dia
datangkan kurikulum dan buku-buku dari AS yang memang
ditujukan untuk belajar mandiri di rumah. Kemudian, dia
ubah sebuah kamar menjadi ruang kelas.
"Saya duduk di tengah, lalu dua anak di samping kiri, dan
dua anak lagi di samping kanan. Buku-buku yang menunjang
pelajaran saya letakkan di rak dinding. Buku-buku itu
dipakai untuk membedah sebuah masalah, lalu kami
diskusikan bersama. Mereka juga bisa membuka internet
untuk mencari bahan yang diperlukan," kata Wanti.
Pelajaran yang diberikan adalah matematika, bahasa
Inggris, sejarah dunia, sains, dan budi pekerti. Untuk
matematika dan bahasa Inggris, Wanti mengajar anak satu
per satu. Sedangkan untuk pelajaran lainnya digabungkan
bersama. "Saya ambil maksimum. Untuk anak bungsu, saya
biarkan sampai seberapa jauh dia bisa menangkap," kata
Wanti yang menetapkan pukul 08.00 sampai 12.00 merupakan
jam sekolah. Di luar jam itu, anak bebas mau melakukan apa
saja. Mereka bisa ikut berbagai kursus, di mana mereka
bisa bertemu teman sebaya.
Namun, tetap saja sebagian besar waktu dihabiskan bersama
anggota keluarga. "Walaupun belajar, kami sangat santai
dan bergembira karena suasananya tanpa tekanan. Hubungan
keluarga pun semakin akrab," kata Wanti.
Istri Joseph, Lilies Tjoandi, menambahkan, dengan
bersekolah di rumah dia bisa mengetahui kekuatan
masing-masing anak. "Setiap anak itu berbeda, kita tidak
bisa menyamaratakan mereka seperti yang dilakukan sekolah
umum. Dengan terjun sendiri, kita tahu bagaimana mereka
sebenarnya," ungkap Lilies.
Dengan bersekolah di rumah, para orangtua juga mempunyai
waktu yang fleksibel. Mereka tidak akan pindah ke topik
lain jika anak-anak belum menguasai. Setelah anak-anak
siap, baru mereka mengajukan diri untuk ujian. Dari
pengalaman mengajar di rumah, menurut Wanti, waktu belajar
anak justru lebih pendek dibandingkan sekolah umum. "Umur
16 tahun anak-anak saya sudah selesai SMA," ujarnya.
Dalam mengerjakan bahan ujian, menurut Wanti kejujuran
orangtua sangat diuji. Apakah dia mau membiarkan anak
mengerjakan sendiri atau dibantu. "Apakah dia masih
mengejar nilai bagus, atau mengajarkan kejujuran pada
anak," kata dia menegaskan.
Kertas ujian itu lalu dikirim kembali ke AS untuk dinilai,
dan mendapat sertifikat sehingga murid bisa melanjutkan ke
jenjang berikut. Sertifikat ini diakui di Indonesia
sebagai lulusan dari luar negeri. Anak-anak Wanti, Fini
dan Fina, sekarang duduk pada tingkat perguruan tinggi.
Fini melanjutkan sekolah desain mode di Esmod Jakarta,
sedangkan Fina memilih Universitas Indonesia program
Internasional.
Kedua anak Wanti lainnya, Timothy (15) dan Lea (14),
menjalani sistem belajar campuran, separuh di rumah,
separuh lagi di Morning Star Academy (MSA), sekolah yang
mendukung program bersekolah di rumah. Semua orangtua
murid terlibat dalam kegiatan belajar-mengajar di sekolah
ini. Bahkan, 90 persen guru MSA adalah orangtua murid.
BERSEKOLAH di rumah memang belum umum di Indonesia. Fini
mengaku bosan setiap kali ditanya sekolah di mana. "Ketika
saya jawab homeschooling, mereka bingung. Apa tuh? Saya
harus menjelaskan terus. Dulu agak terbeban, tetapi
sekarang sudah biasa," ujar Fini.
Dia mengaku sangat berterima kasih ibunya mengambil
keputusan itu karena Fini merasa dirinya berbeda dengan
teman-temannya.



[Non-text portions of this message have been removed]











================
Kirim bunga, http://www.indokado.com
Info balita: http://www.balita-anda.com
Stop berlangganan/unsubscribe dari milis ini, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]
Peraturan milis, email ke: [EMAIL PROTECTED]

Kirim email ke