Berikut ini saya forward suatu kolom Resonansi dari harian Republika hari ini,
Jumat 18 Juli 2003. Artikel ini bisa dicek di situs harian Republika ataupun
dicek ke saya :-)

Tidak ada yang istimewa dari artikel ini, kecuali sedikit kesadaran bahwa bangsa
kita memiliki sumber daya manusia yang sangat hebat. Namun sayangnya mereka yang
memiliki kemampuan itu seringkali tersandung dan terhambat oleh
kepentingan-kepentingan politik segelintir orang.

Mungkin kita juga dapat berkaca, apakah nanti anak-anak kita kelak akan menjadi
jagoan yang sesungguhnya: jago di bidang sains, di bidang iptek, bidang ekonomi,
bidang politik, bidang pertahanan dll atau sekedar sok jago! Saya yakin bahwa
kita semua ingin agar generasi kita kelak akan menjadi jagoan betulan dan bukan
sok jago.

Semoga AWAN, Nadiva, Aini, Salsa, de el el (nggak inget nama anak-anak yang
sering disebut di BA satu persatu) mampu menjadi tumpuan bangsa mencapai
kemajuan dan kecemerlangan. Itu butuh doa dan usaha keras kita semua sebagai
orang tua. Semoga .............

(Saya sering menulis AWAN dan bukan Awan .... bukannya bermaksud sombong lho!
Saya tulis AWAN karena AWAN itu adalah singkatan/inisial dari namanya yang
sangat panjang)

aaNg

***************************************
Jumat,ÿ18 Juli 2003
Tersenyumlah Dirgantara Indonesia!
Oleh : Zaim Uchrowi

Di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, ibu itu tersenyum. Ia sedang menantikan
kedatangan anaknya dari Swedia. Tiga minggu anak gadisnya ikut pertukaran
pelajar di sana. Tahun depan, anak keduanya akan berangkat ke Italia. Seorang
pelajar dari negeri pizza itu telah tinggal di rumahnya selama liburan sekarang.
Tapi, jangan salah sangka.

Senyum itu sama sekali tak berkait dengan keikutsertaan sang anak di pertukaran
pelajar. Senyum itu tak berkait dengan kepentingannya pribadi. Yang membuatnya
tersenyum justru kepercayaan dirinya tentang bangsa ini. Ia mengamati karakter
anak-anak Italia yang datang kemari. Lalu ia percaya: kita punya jalan lempang
ke masa depan.

"Sudah lama saya pesimistis. Tak ada yang dapat dibanggakan pada bangsa kita,"
katanya. Ia berubah pandangan sama sekali setelah mencermati anak-anak asing
yang datang kemari. Bukan satu-dua anak. Banyak anak di antara mereka.
Kesimpulannya, karakter anak-anak kita ternyata lebih baik ketimbang mereka.

"Anak-anak kita lebih fair, tidak
egois, dan lebih santun," katanya. Artinya, secara rata-rata bangsa ini
mempunyai karakter yang lebih baik ketimbang mereka dari negara yang jauh lebih
maju itu.

Karyawan PT Dirgantara Indonesia (DI) sekarang tentu belum dapat tersenyum
seperti ibu itu. Rasa kaget dirumahkan mendadak belum sirna. Mereka masih harus
terombang-ambing oleh desas-desus pula. Soal kemungkinan bangkrut, soal
perpecahan direksi, soal keinginan menghabisi jejak Habibie, soal alasan
efisiensi dan prioritas negara, soal kemungkinan perusahaan dijadikan sapi perah
kantung politik ... banyak soal lain. Memusingkan, tentu.

Padahal, mereka punya modal tersenyum. DI bukan perusahaan remeh. Langkah
kakinya telah sangat panjang, dan telah banyak pula membuat bangsa ini tersenyum
bangga. Amerika punya Wright bersaudara. Lalu menjadi pelopor penerbangan dunia.
Kita punya Nurtanio dan kawan-kawan. Di Magetan, Jawa Timur, mereka mampu
menjadikan mesin motor Harley menerbangkan pesawat buatannya.

Pesawat anak-anak Melayu bahkan terbang hingga Belanda. Itu sebelum Indonesia
merdeka lho. Dan itulah cikal bakal DI di Bandung kini. Banyak lagi langkah DI
yang membuat bangsa ini boleh tersenyum. Teknologi dunia fly by wire adalah
karya kita. Para produsen pesawat dunia pun telah menggantungkannya.

Panel-panel kontrol uji pesawat melalui satelit sepenuhnya merupakan karya
anak-anak negeri ini. Tinggal selangkah lagi kita menjadi produsen penting
dunia. Tapi, "badut-badut politik dan ekonomi" berulah. Mereka menjadikan
kelemahan Habibie soal manajemen dan efisiensi buat menyodok. DI jadi bahan
olok-olokan. Sebagian demi 'permen' pemberian orang luar. Sebagian semata karena
'kenes'.

Tak apa. Siapa pun yang paham, dan juga jujur (ini yang terpenting), tetap
menghormati DI. Airbus masih terus memberikan pesanannya. Industri pesawat dunia
berebut membajak para ahli DI. Anak-anak negeri inipun bertebaran di berbagai
industri pesawat penting dunia. Dari sudut pandang ketenagaahlian itu, kita
sekelas Amerika, Prancis, dan Rusia. Negeri penghasil F-16, Mirage, dan Sukhoi
itu.

Singapura? Maaf, bukan kelas kita. Keahlian Singapura hanya dua. Satu, dagang.
Kedua, membodohi kita. Sekali lagi, siapa pun yang paham serta jujur akan bangga
pada DI. Juga akan bangga pada bangsa sendiri. Kekurangjujuran (umumnya karena
kepentingan kursi dan/atau pundi-pundi) yang membuat kita mengabaikan diri
sendiri.

Lalu, mendewakan asing. Keputusan memilih Sukhoi ketimbang melimpahkan dananya
pada DI buat membikin suku cadang F-16 adalah salah satunya. Tragedi DI kini
seperti membangunkan tidur kita: ternyata masih banyak hal membanggakan di
negeri ini. Maka, tersenyum Dirgantara Indonesia. Tersenyumlah seluruh keluarga
besarmu, sebagaimana ibu itu tersenyum bangga pada anak-anak negeri Nusantara
ini.

Kirim email ke