Selasa, 02 Mei 2006

Selamat Datang Sekolah Mahal 




''Sekolah adalah siksaan tak tertahankan,'' kata Rabindranath Tagore, pemenang 
Nobel Sastra tahun 1913. Tagore tampaknya tak punya kata yang manis untuk 
sekolah, meski kemudian ia sendiri mendirikan lembaga pendidikan semacam itu, 
Santi Niketan. 

Bila Tagore melihatnya dari kacamata seorang siswa, Kurniati warga Depok 
merasakan siksaan itu sebagai seorang wali murid. Persoalannya, ibu dua anak 
usia sekolah itu tahu benar, betapa sengsaranya menjadi orang tua murid di 
Depok. Semua tidak lain karena mahalnya biaya sekolah yang dirasakannya berlaku 
di wilayah Depok. Seharusnya, di setiap gapura memasuki wilayah Depok itu 
terpasang pengumuman, ''Hati-hati, Anda memasuki kawasan sekolah mahal,'' kata 
Kurniati. 

Ungkapan kekesalan yang disampaikan warga Tanah Baru, Beji, Depok, itu 
barangkali cocok untuk menggambarkan betapa mahalnya harga yang harus dibayar 
guna mengakses pendidikan di Kota Depok. Tahun lalu, kata Kurniati, untuk 
keperluan sekolah anaknya yang akan masuk SD, bersama suami ia harus menguras 
uang belanja keluarga tak kurang dari Rp 1,5 juta. ''Itu baru uang masuk. Belum 
uang buku, uang seragam, biaya pendaftaran, dan aneka pungutan lainnya,'' kata 
Kurniati. 

Bukan hanya Kurniati, mahalnya biaya bersekolah di Depok juga dirasakan banyak 
warga daerah itu. Karena itu, tak heran bila beberapa warga daerah perbatasan 
seperti di Kecamatan Limo, Cimanggis, dan Sawangan, justru memilih 
menyekolahkan putra-putri mereka ke sekolah negeri di luar Depok. 

Alasan mereka umumnya serupa, bahwa biaya sekolah di luar Depok, justru lebih 
murah. Apalagi saat ini banyak sekolah di Jakarta yang sudah membebaskan biaya 
pendidikannya. ''Wajar bila orang tua, selain ingin anaknya bersekolah di 
tempat yang bagus, juga mempertimbangkan biaya pendidikan yang harus dibayar. 
Jadi, kita lebih memilih menyekolahkan anak di Jakarta, karena gratis,'' ujar 
Marlina, seorang warga Cinere. 

Tren tersebut tampaknya mengalami kenaikan. Pasalnya, di Jakarta saat ini 
terdapat tidak kurang 21 SMP negeri bebas biaya pendidikan. Sementara di Depok 
sendiri, sekolah negeri hanya tercatat sebanyak 14 SMP, 6 SMA, dan 2 SMK. Bila 
Kurniati dan Marlina, dua keluarga menengah saja, merasakan biaya sekolah itu 
mahal, bayangkan apa yang dirasakan kalangan keluarga yang ekonominya lebih 
subsisten. Bayangkan apa yang dirasakan para tukang ojek yang baru kena PHK, 
penarik becak, buruh pabrik, dan sopir angkot, misalnya. Tentulah, mahalnya 
biaya itu akan menjadi tembok kokoh yang menghalangi langkah mereka 
menyekolahkan anak-anak, harapan mereka semua. 

Lihatlah apa yang ditemui pengamat pendidikan, Darmaningtyas, saat menggelar 
dialog dengan anak-anak kalangan miskin di Jakarta, dua tahun lalu. Pada saat 
kurang lebih 50 orang anak itu ditanya, siapa yang tidak bersekolah, setidaknya 
15-an anak mengacungkan jari tangan mereka. Jawaban mengapa mereka tidak 
bersekolah pun nyaris serupa. ''Ibu tak punya biaya,'' kata Inawati, salah 
seorang anak itu. Inawati mengaku, sehabis menamatkan SD-nya yang juga 
tersendat-sendat, ibunya meminta tidak melanjutkan sekolah. Tak kurang pula di 
antara mereka mengaku, masuknya adik-adik ke SD harus tertunda, menunggu mereka 
lulus SD lebih dulu. ''Agar beban keluarga bisa lebih ringan,'' kata Inawati. 

Kesulitan kalangan tersebut bisa dimengerti bila kita mau menelisik besarnya 
biaya masuk sekolah. Saat ini, untuk masuk taman kanak-kanak dan SD saja, tidak 
jarang sekolah menetapkan biaya antara Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta. Di atas 
itu pun tak kurang. ''Anak saya untuk masuk SD saja dibebani biaya segala macam 
tak kurang dari Rp 4 juta,'' kata Nia Prima, warga Bekasi. Biaya itu terdiri 
atas bermacam unsur, antara lain, uang bangunan, uang pangkal, uang seragam, 
dan sebagainya. 

Menurut Darmaningtyas, mahalnya biaya pendidikan saat ini tidak lepas dari 
kebijakan pemerintah yang menerapkan konsep MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). 
Jika di negara-negara seperti Selandia Baru, Australia, dan AS, MBS dimaknai 
sebagai proses demokratisasi pengambilan keputusan di sekolah, di dalam negeri 
MBS bisa diartikan lain. 

Di sini, kata Darmaningtyas, MBS diambil terutama untuk melakukan mobilisasi 
dana, bukan sebagai proses demokratisasi pengambilan keputusan pendidikan. 
Tidak heran, kata dia, pembentukan Komite Sekolah yang merupakan organ MBS, 
selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha, dengan asumsi, pengusaha memiliki 
akses atas modal yang lebih luas. 

Hasilnya gampang ditebak. Setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan 
uang dengan gampang berkedok 'sesuai keputusan Komite Sekolah'. Padahal, semua 
tahu, taraf ekonomi orang tua siswa di satu sekolah tidaklah seragam. Karena 
itu, pungutan yang gampang dilakukan atas nama otonomi sekolah, tentu saja 
memberatkan banyak siswa kurang mampu. 

Dengan cara itu, kata Darmaningtyas, tak heran bila masyarakat kemudian 
memandang minor pada MBS yang ide awalnya mulia itu. ''Kini, bagi masyarakat, 
MBS lebih kepada Masyarakat Bayar Sendiri, bukan Manajemen Berbasis Sekolah,'' 
kata dia. 

Mengacu pada konsep pendidikan untuk semua (Education for All) yang dicetuskan 
di Jomtien, Bangkok, 1990 lalu, tentu saja semua itu menjadi kendala serius 
yang harus diatasi. Persoalannya, cara apa yang bisa mengatasi semua itu? Lebih 
penting lagi, adakah orang pemerintah yang mau berpikir serius memikirkan hal 
itu, ketika semua terkesan berlomba menuntaskan kepentingan mereka sendiri? 

( dsy/c41/c42 ) http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=246137&kat_id=3

Kirim email ke