Perilaku negatif si prasekolah dapat
diperbaiki jika hubungan ayah-ibu-anak turut dibenahi.
Seorang ibu membawa anaknya yang berusia 4 tahun ke psikolog. Katanya, "Anak saya bermasalah. Tiap kali marah dia selalu
membanting-banting barang sampai pecah berantakan. Ada apa ya dengan anak
saya?" Ketika psikolog berusaha menggali apakah keluarganya sedang ada
masalah, si ibu merasa semua baik-baik saja. Ia tetap pada pendiriannya
bahwa si anaklah yang bermasalah. Untuk itu si ibu minta anaknya diterapi
supaya perilakunya bisa dikoreksi. Namun, apa betul di keluarga
ibu tersebut tidak ada masalah? Sebab secara teori, kecil kemungkinan anak
usia prasekolah bisa berperilaku di luar batas kewajaran tanpa adanya
pengaruh dari luar. "Tanpa menyaksikan dan merasakan adanya sesuatu yang
tidak beres di lingkungannya, agak sulit anak usia ini untuk bisa
mengungkapkan emosi secara membabi buta," kata Jacinta F. Rini,
MSi., dari Harmawan Consulting, Jakarta. Begitu juga
perilaku lainnya seperti mogok makan, menyembunyikan barang orang lain,
menarik, diri, dan sulit berkonsentrasi. Inilah penjelasan mengenai
beberapa perilaku anak usia prasekolah yang banyak dikeluhkan orang
tua: - Agresif Bentuk agresivitas yang
paling mudah terlihat pada anak adalah tindakan memukul, menendang,
mencubit, menggigit, mencakar, membanting barang dengan maksud merusak,
ataupun menyakiti diri sendiri. - Menyembunyikan barang orang lain Anak bermasalah seringkali
kedapatan menyembunyikan barang milik orang lain ketika emosinya sedang
"naik". - Mogok
Makan Tujuan anak melakukan gerakan
mogok makan tak lain adalah mencari perhatian dari orang tua ataupun
orang-orang di sekitarnya. Bila emosinya sedang memuncak, bisa
seharian
anak tidak mau menyentuh makanan
yang seharusnya dimakan. - Problem
Konsentrasi Yang dihadapi di sini adalah
problem konsentrasi yang bukan disebabkan faktor neurologis. Anak akan
sering melamun, terlihat "serius" tapi sebetulnya sama sekali tak bisa
konsentrasi karena pikirannya justru mengawang-awang entah ke
mana. - Menarik
Diri Anak-anak tertentu cenderung
menarik diri dari lingkungan selagi emosinya memun-cak. Ia lebih suka
berdiam diri seharian di kamarnya dengan tidak mau menyahut kala
dipanggil. Pendeknya, ia menghindari pertemuan dengan siapa
pun. JANGAN
SALAHKAN ANAK Menghadapi anak dengan
masalah seperti itu, orang tua hendaknya bersikap bijak. "Jangan hanya
menyalahkannya karena masalah masalah seperti ini
mustahil berdiri sendiri. Mau tidak mau orang tua harus mau menelaah
situasi seperti apa yang membuat anak berperilaku seperti itu," tandas
psikolog yang akrab disapa Rini. Cara mengungkapkan emosi yang
menurut ukuran orang tuanya kelewat batas sebenarnya adalah reaksi
terhadap sesuatu yang tidak bisa diselesaikannya sendiri. "Bisa jadi anak
ini sudah sampai di puncak emosi dan kemudian mengeluarkannya dalam bentuk
agresivitas yang dinilai negatif. Namun sebetulnya semua itu dilakukan
karena ia sendiri tidak tahu harus bagaimana," lanjutnya pula. Banyak orang tua yang
kemudian membawa anak-anak "bermasalah" ini ke psikolog untuk diterapi
padahal sebetulnya orang tua dulu yang harus membuka diri. Seringkali
masalahnya jadi buntu kalau orang tua tidak mau mengungkapkan satu-dua hal
yang menyangkut kondisi dalam keluarga, padahal bukan tidak mungkin justru
itulah sumber masalah yang sebenarnya. Apa yang sedang terjadi di
rumah, entah masalah dengan pasangan hidup, beban kerja di kantor, maupun
masalah-masalah berat lainnya, pasti akan berimbas pada interaksi antara
orang tua dengan anak. Mengapa? Karena ia akan menangkap apa yang dilihat
dan dirasakan sebagaimana adanya atau belum bisa melihat permasalahan
secara objektif. "Orang tua yang marah, sedih, depresi, memendam masalah
dan sebagainya akan dirasakan anak sebagai bentuk kehilangan rasa aman
atau yang disebut insecure," tandas Rini. LANGKAH-LANGKAH TERAPI Ketika orang tua sudah
bersedia membuka diri, barulah terapi oleh ahli bisa menjadi alternatif
jalan keluar. Inilah langkah-langkahnya: * Menggali permasalahan dari sisi orang tua Orang tua mau tidak mau harus
lebih dulu digali keterangannya. Kalau kemudian ternyata mereka adalah
pihak yang paling berperan dalam menciptakan masalah pada anak, ya tiada
jalan lagi selain harus siap membuka masalah tersebut. "Tanpa kesediaan
itu semuanya akan jauh panggang dari api alias sama juga bohong karena
masalah tidak akan selesai sampai akarnya," tandas Rini. * Memberikan informasi utuh dan tuntas Sang terapis akan bekerja
percuma dan terapi tidak mungkin berjalan sesuai harapan selama orang tua
belum bisa "melepas" masalah yang melilit dalam dirinya. Ini terjadi kalau
yang bersangkutan hanya memberikan informasi yang bersifat normatif atau
baik-baik saja pada psikolog. Akhirnya, walaupun sudah bolak-balik ke
psikolog anak tidak menunjukkan hasil yang menggembirakan karena kualitas
hubungannya dengan orang tua di rumah juga tidak mengalami perubahan
berarti. Masalahnya pun tidak akan pernah selesai. * Mengosongkan "bendungan" emosi anak Kalau orang tua sudah dalam
kondisi siap, dalam artian semua informasi penting sudah dipaparkan kepada
psikolog, anak akan diarahkan bagaimana memformulasikan emosinya. Pada
tahap awal anak akan diminta untuk mengosongkan "bendungan" emosinya.
"Satu hal terpenting di sini adalah meyakinkan anak bahwa masih ada orang
yang bisa dipercaya dan mau mendengarkan dia, yaitu terapisnya," kata
Rini. * Kesesuaian terapi dengan minat Intinya adalah mengalihkan
emosi anak ke hal-hal yang sifatnya positif. Di waktu-waktu mendatang anak
diharapkan menerapkan alternatif positif ini dan bukan lagi berperilaku
agresif, menarik diri, tidak mau makan dan sebagainya. * Mengembalikan rasa amannya Untuk mendapatkan rasa
amannya kembali, dengan kata-kata sederhana anak akan diajak untuk
memahami bahwa apa yang dilihat, dirasakan dan dipikirkannya tidaklah
dimaksudkan demikian oleh orang tuanya. Peran orang tua sangat diharapkan
dalam membantu anak melewati bagian sulit ini dengan membuka realita
sesungguhnya. Tentu saja penyampaiannya harus disesuaikan dengan umur
anak. Pentingnya peran orang tua
dalam mengatasi masalah si prasekolah memosisikan psikolog hanya sebagai
salah satu alternatif jalan keluar. Kalau orang tua ingin menyelesaikannya
sendiri pun sebenarnya bisa, asalkan disadari bahwa sumber masalah pada
anaknya adalah terganggunya hubungan anak-orang tua. Selain itu, saat mencoba
sendiri "menambal luka" anak, orang tua hendaknya bisa bersikap objektif.
Kalau anak memang salah, ya dengan tegas katakan salah. Namun sebelumnya,
tanyakan pada diri sendiri apakah kemarahan tersebut benar-benar karena
kesalahan anak ataukah karena ketumpangan masalah lain. Bukan tidak
mungkin masalah yang seharusnya biasa-biasa saja terlihat "luar biasa"
jika penilaian orang tua tidak objektif. TERLAMBAT
BERKEMBANG Bukan tak mungkin selama
terapi berjalan, si anak masih memperlihatkan perilaku bermasalah. Lalu
bagaimana mengatasinya? "Pada saat anak mulai menunjukkan gejala tidak
beres, segeralah peluk dan berikan ketenangan. Kemudian beri waktu pada
anak untuk meredakan emosinya," saran Rini. Selama anak masih marah,
orang tua sebaiknya diam dengan tetap mengawasinya. Jangan sesekali
timpali kemarahannya yang malah bisa mengobarkan amarahnya ibarat menyiram
api dengan bensin. Yang tak kalah penting,
pahami kondisi anak. Bicaralah dengan lembut dan berikan dorongan untuk
mengeluarkan emosinya dengan hanya memberi pertanyaan yang perlu dijawab "ya" atau "tidak" saja.
Misalnya, "Kamu kesal ya? Lakukan terus setiap kali emosinya memuncak,
tuntun anak untuk mengekspresikannya hingga tidak ada yang terpendam. Yang
pasti, masalah ini harus segera diatasi sebelum anak makin besar dan
masalahnya jadi semakin kompleks. Kalau tidak teratasi, bukan
tidak mungkin anak yang awalnya hanya suka memukul, lantas mengembangkan
kebiasaannya itu dengan membanting dan merusak barang atau menyakiti
dirinya sendiri maupun orang lain saat emosinya memuncak. Rini pun mengingatkan adanya
akibat jangka pendek yang tidak bisa dianggap sebelah mata pada anak-anak
"bermasalah" seperti ini. Di antaranya anak jadi tidak punya teman,
berpeluang tidak naik kelas, sering sakit-sakitan, mengalami keterlambatan
pertumbuhan, dan kecerdasan emosinya jauh tertinggal dibanding
teman-temannya. Sedangkan dalam jangka
panjang, anak yang tidak tertangani akan mengalami keterlambatan dalam hal
kematangan emosi. Bisa jadi dia hanya mengenal emosi marah dan sedih,
sedangkan rasa sayang, empati dan sebagainya tidak akan berkembang sebagaimana mestinya. Selain
itu, anak juga akan mengalami keterlambatan dalam hal kematangan fungsi
intelektual. Misalnya, tidak dapat menyusun skala prioritas maupun
mengatasi masalah sehari-hari. Ke depannya, besar
kemungkinan dia hanya akan mencari aktivitas yang membuatnya senang,
hingga selalu menghindari kewajiban yang harus diselesaikannya. Pada
beberapa kasus ekstrem, ungkap Rini, perkembangan moralitas anak bahkan
mengalami kemandekan. Anak tahu mana yang benar dan mana yang salah, tapi
ngotot tidak mau mengikuti aturan moral tersebut karena ia hanya
menuruti kesenangannya sendiri. Pendek kata, semua aspek dalam
kehidupannya akan terganggu. BISA SEMBUH,
BISA KAMBUH Bisa juga keberhasilan
dicapai tanpa disertai perubahan dalam lingkungan keluarga. Misalnya, anak
dinyatakan "sembuh" dan selesai menjalani terapi jika selama proses
berlangsung dia tumbuh menjadi anak yang bijaksana dan bermental kuat.
Biasanya anak-anak yang berhasil seperti ini memiliki sosok teladan selain
orang tuanya, entah itu om-tante, kakek-nenek dan sebagainya. Penting untuk dimengerti,
bahwa "kesembuhan" anak tidak bisa dicapai secara instan. Semuanya butuh
waktu dan proses panjang. Bukankah sampai jadi bermasalah pun anak sudah
melalui proses yang panjang? Namun Rini mengingatkan meski
sudah menjalani terapi, tidak tertutup kemungkinan masalah ini suatu saat
akan muncul kembali. Boleh jadi pada usia prasekolah anak menemukan
strategi pelepasan emosi yang positif tapi kemudian hambatan datang lagi.
Yang perlu diingat, dengan semakin bertambahnya usia, tantangan dan
tuntutan hidup pun jadi makin besar. "Kalau strategi pelepasan emosinya
tidak berkembang, bukan tidak mungkin mekanisme itu akan berulang. Jadi,
semuanya tergantung pada perkembangan psikodinamika si anak." |