Parents,

Dari era Muslim, mungkin bisa jadi rujukan. Mohon maaf bagi yg tidak berkenan.

Salam,

Ossi

 

Assalamuallaikum Wr. Wb.

Pak Ustadz, kapan 1 Syawal di Indonesia? Sepertinya ada yang tanggal 23 dan 24 
Oktober, yang mana yang harus masyarakat ikuti?

Wassalamuallaikum Wr. Wb.

Ahmad Wanto
aw at eramuslim.com 

 

Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. 

Sejak masa nabi SAW hingga kini 1400 tahun kemudian, tata aturan dalam 
menentukan awal bulan qamariyah tidak pernah berubah, yaitu dengan melihat 
hilal (bulan sabit di awal bulan). Hal ini sebagaimana sabda nabi SAW:

وَعَنِ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اَللَّهِ 
يَقُولُ: إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا, وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا, 
فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Dari Ibnu Umar ra. berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, "Bila kalian 
lihat hilal, maka berpuasalah. Dan bila kamu melihat hilal maka berLebaranlah. 
Tapi kalau tidak nampak oleh kalian, maka kadarkanlah (hitunglah)." (HR 
Muttafaq 'alaihi)

Dalam riwayat Muslim: Maka hitunglah 30 hari. Dalam riwayat Bukhari: Lengkapi 
hitungan bulan Sya'ban menjadi 30 hari.

Maka sepanjang hidup nabi SAW bersama Ramadhan, jadwal puasa dan Lebarannya 
ditentukan dari terlihat atau tidaknya hilal. Bila hilal nampak, mana mereka 
mulai puasa dan Lebaran. Sebaliknya, bila hilal tidak nampak, puasa atau 
Lebaran ditunda sehari lagi. Maka bulan Sya'ban digenapkan jadi 30 hari atau 
Ramadhan digenapkan jadi 30 hari.

Sepeninggal nabi SAW, para Khalifah Rasyidah tidak pernah mengubahnya. Demikian 
juga dengan para khalifah Islam sepanjang zaman, baik di masa khilafah Bani 
Umayyah di Damaskus, atau para khalifah Bani Abbasiyah di Baghdad, atau 
Khilafah Bani Umayyah kedua di Andalusia hingga khilafah yang terakhir, Bani 
Utsmaniyah di Istambul. Bahkan hingga hari ini.

Sementara ilmu hisab sudah sejak dulu dikenal manusia, bahkan di masa nabi 
hidup, ilmu hisab sudah berkembang. Akan tetapi nabi SAW tidak pernah 
menyinggung masalah awal Ramadhan dan awal Syawwal dengan menggunakan ilmu 
hisab. Apalagi memerintahkannya. Maka sudah menjadi ijma' di antara para ulama 
salaf dan khalaf tentang keharusan melakukan ru'yatul hilal (melihat bulan), 
bukan dengan ilmu hisab.

Namun bukan berarti ilmu hisab tidak punya tempat. Dalam syariah Islam, ilmu 
hisab tetap punya tempat, bahkan sangat penting. Jauh lebih penting dari 
sekedar menetapkan awal Ramadhan dan Syawwal. Ilmu hisab sangat berguna untuk 
menetapkan jadwal shalat 5 waktu. Meski hadits nabi SAW telah menetapkan jadwal 
shalat berdasarkan peredaran matahari, namun ilmu hisab tidak bisa tergantikan 
peranannnya. Semua umat Islam sedunia dipastikan mengandalkan ilmu hisab untuk 
menetapkan jadwal shalat. Tidak ada lagi yang tiap mau shalat keluar dulu 
melihat matahari atau mega merah.

Misalnya, dalam hadits ditetapkan bahwa waktu Dzhuhur dimulai saat matahari 
sedikit bergeser ke barat setelah sebelumnya tepat berada di atas kepala kita. 
Para ulama mengistilahkannya dengan waktu zawal. Dalam prakteknya, pasti kita 
kesulitan bila tiap mau shalat Dzhuhur, kita harus ke luar rumah sekedar untuk 
memastian apakah matahari sudah zawal atau belum. Cukuplah kita berpatokan 
dengan ilmu hisab, yang telah bisa memastikan pada menit keberapa zawal akan 
terjadi.

Apalagi nabi SAW tidak pernah secara khusus memerintahkan untuk melihat 
matahari dulu sebelum shalat. Jadi tidak ada perintah khusus untuk 'melihat'. 
Sehingga tanpa melihat, asalkan kita bisa pastikan posisi matahari lewat 
pengamatan gerak-gerik matahari sebelumnya (imu hisab), maka sudah cukup buat 
kita.

Namun khusus untuk penetapan awal bulan qamariyah, metode hisab tidak bisa 
dijadikan ukuran. Mengapa? Bukankah hisab itu sangat akurat dan hasilnya bisa 
pasti?

Ada dua alasan yang menyebabkan ilmu hisab tidak bisa dijadikan acuan utama 
dalam penentuan awal bulan qamariyah, melainkan sekedar menjadi acuan kedua.

Pertama, adanya dalil yang qath'i baik secara tsubut maupun secara dilalah yang 
mengharuskan rukyatul hilal, khusus untuk menetapkan awal Ramadhan dan awal 
Syawwal. Sebagaimana hadits di atas. Maka semata-mata mengandalkan ilmu hisab, 
jelas merupakan sebuah pelanggaran atas dalil nash yang sharih. Berbeda dengan 
penetapan waktu shalat yang tidak ada perintah untuk melihat, jadi boleh dengan 
memperkirakan atau memperhitungkan.

Kedua, ternyata ilmu hisab pun tidak semuanya valid. Meski sudah menggunakan 
rumus yang banyak serta perhitungan yang njelimet, tetapi hasilnya seringkali 
tetap berbeda. Begitu banyak ahli hisab yang mengeluarkan hasil hitung-hitungan 
yang satu dengan yang lain saling berbeda. Ada banyak faktornya, tetapi yang 
terpenting adalah bahwa ilmu hisab pun tidak pernah lepas dari perbedaan versi.

Walhasil, meninggalkan metode ru'yatul hilal yang seolah dianggap kurang 
ilmiyah lalu merujuk kepada imu hisab yang seolah dianggap lebih ilmiyah, 
adalah sebuah tindakan yang tidak tepat. Sebab hasil ilmu hisab pun sama tidak 
validnya. Buktinya, untuk Lebaran tahun ini, pemerintah RI yang sudah 
menggunakan para ahli hisab sejak awal menetapkan bahwa 1 Syawwal jatuh pada 
hari Selasa, 24 Oktober 2006. Tetapi pada ahi hisab Muhammadiyah malah 
menetapkan sehari sebelumnya, yaitu Senin 23 Ramadhan 2006. Kalau ilmu hisab 
itu valid, seharusnya tidak perlu ada dua hasil yang berbeda.

Kesimpulannya, sebaiknya kita kembali kepada originalitas praktek syariah Islam 
yang telah terlaksana selama 14 abad lamanya. Kita tetapkan tanggal 1 Syawwal 
nanti semata-mata berdasarkan hasil ru'yatul hilal.

Ru'yatul hilal dilakukan pada tanggap 29 Ramadhan, yang insya Allah jatuh pada 
hari Ahad. Maka para Ahad sore itulah kita akan tahu, apakah Lebaran jatuh hari 
Senin atau hari Selasa. Lebaran akan jatuh pada hari Senin apabila di sore Ahad 
itu ada satu orang saja yang melihat hilal. Tetapi Lebaran akan jatuh pada hari 
Selasa apabila tak seorang pun yang melihatnya.

 

Antisipasi Pemerintah dan Apresiasi Syariah

Mungkin sebagian kita akan geleng-geleng kepala bila Lebaran itu jatuhnya tidak 
bisa dipastikan. Sebab urusannya bukan kapan takbiran dan shalat Idul Fithri, 
tetapi terkait dengan sekian banyak hal besar. Katakanlah saja misalnya 
kerepotan polisi dalam menetapkan hari H. Kalau Lebaran tidak bisa dipastikan 
kapan jatuhnya, bagaimana menerapkan H-7 dan H+7?

Belum lagi buat dunia ekonomi, bisa-bisa sangat runyam jadinya.Sebab para 
pelaku bisnis, pasar, bursa saham, dunia traveling, ekspedisi, ekspor impor dan 
lainnya, mereka semua butuh kepastian jatuhnya hari Lebaran dengan pasti, tidak 
bisa ditentukan dalam hitungan menit saja saat melihat bulan. Bahkan sejak awal 
tahun sudah harus dipastikan jatuhnya hari Lebaran. Bergeser sedikit saja, 
semua hitung-hitungan akan berantakan.

Mungkin pertimbangan inilah yang membuat pemerintah kita punya kebiasaan main 
pastikan saja jatuhnya Lebaran sejak awal tahun, bahkan sejak beberapa tahun 
sebelumnya. Metodenya tentu dengan menggunakan ilmu hisab. Alasannya untuk 
kepastian penjadwalan. Memang masuk akal juga.

Namun semua itu pasti tidak akan terjadi, bila sejak awal pemerintah sudah 
mengantisipasinya. Mengapa pemerintah Indonesia tidak belajar dari Pemerintah 
Saudi Arabia? Mereka bisa melakukannya dengan mudah tiap tahun.

Kita pun sebenarnya bisa saja tetap berpegang pada sistem rukyatul hilal. 
Asalkan ada komitmen kuat untuk berpegang pada sistem yang lebih original dalam 
syariat Islam. Yang pasti, syariah itu tidak pernah diturunkan untuk sekedar 
memberi beban tambahan. Sebaliknya, kita seharusnya berprasangka baik bahwa 
syariah itu turun untuk kemudahan kita semua.

Kalau alasannya untuk kepastian jatuhnya hari raya karena banyak sendi 
kehidupan yang sangat bergantung pada jatuhnya hari raya, mengapa kita tidak 
berpikir sebaliknya?

Mengapa kita malah mengorbankan esensi syariah Lebaran, demi sekedar 
kepentingan hal-hal yang bersifat menunjang Lebaran? Idealnya, prinsip syariah 
Lebaran itu yang harus dijunjung tinggi, sedangkan hal-hal yang terkait dengan 
Lebaran, seharusnya menyesuaikan diri. Kita seharusnya menetapkan Lebaran 
berdasarkan rukyatul hilal, meski dianggap kurang pasti. Sementara segala macam 
kepentingan lainnya, seharusnya tunduk dan ikut kepada aturan syariah dalam 
Lebaran. Dan bukan sebaliknya.

Kalau kita beli topi kekecilan, seharusnya topinya ditukar dengan yang lebih 
besar. Bukan kepalanya dibelah agar jadi lebih kecil. Lebaran itu berangkat 
dari perintah syaraih, maka hitungannya pun harus mengacu kepada syariah yang 
lebih valid. Sementara tetek bengek Lebaran, semuanya hanya unsur pendukung, 
tidak bisa dijadikan prioritas yang menentukan jatuhnya Lebaran.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Ahmad Sarwat, Lc.

 

----------------------------------------------------------------------
This e-mail, including any attached files, may contain confidential and 
privileged information for the sole use of the intended recipient.  Any review, 
use, distribution, or disclosure by others is strictly prohibited.  If you are 
not the intended recipient (or authorized to receive information for the 
intended recipient), please contact the sender by reply e-mail and delete all 
copies of this message.

Kirim email ke