Hello balita-anda,

parents ada oleh-oleh dg sistem belajar sd di jepang, oleh oleh dari
temen deket saya..deket banget sekamar (suamiku..yang tercinta), yang
pernah ikut ngajar di tk dan sd. padahal kuliahnya elektro lho...

semoga bermanfaat

salam nuraini-klub lantika
------------------------------------

SD atau TK?
Sistem pendidikan di Jepang – sebuah renungan oleh-oleh

Selama kuliah di Jepang, sering diundang ke sekolah SD & TK dekat kampus, paling tidak ada 3 SD yang sempat rutin saya kunjungi. Kunjungan kebanyakan dilakukan hari libur kuliah, karena kalau tidak, mana mungkin bisa keluar kampus (lain dengan kampus di Indonesia, yg mahasiswanya boleh syuting sinetron saat jam kuliah).

Selama di SD tersebut, khususnya kelas rendah (khususnya lagi kelas 1), saya tidak melihat suasana belajar yang “serius”. Sempat terpikir “ini SD atau TK?” Anak lebih sering diajak bermain, termasuk saya juga diminta untuk memperkenalkan permainan tradisional anak-anak yang populer di Indonesia. Membaca, menulis, berhitung (calistung)? Itu bukan hal penting yang harus diajarkan.
Anak-anak lebih diarahkan berpola pikir sebagai negara besar yang harus terus
mempertahankan kebesarannya sekaligus budayanya yang adiluhung. Ya, anak-anak sejak kecil sudah diceritakan seberapa besar Jepang dan sering diajak ke kuil dan tempat2 wisata kuno serta musium. Juga diceritakan bagaimana dengan Indonesia, Amerika, Cina, Afrika.

Anak-anak kelas 1 bahkan setahu saya tidak diajari menulis halus, mereka hanya diminta menulis huruf hiragana dalam kotak-kotak yang sudah disediakan. Berhitung juga lebih ke konsep pengenalan bilangan. Kalaupun ada penjumlahan dan pengurangan tidak lebih dari mindah-mindahin batu atau benda lain.

Untuk membaca, setahu saya mereka tidak belajar membaca, mereka diminta melihat apa saja yang bisa dilihat kemudian menceritakannya di depan kelas. Termasuk kesan apa yg didapat dari yang dia lihat itu. Baru kelas 2 keatas mereka disuruh bikin karangan tentang yang mereka lihat. Pantas di Jepang buku begitu banyak dan murah-murah.

Begitu pulang ke tanah air, saya jadi miris mendengar para orang tua dengan bangganya menceritakan anaknya yang TK sudah bisa menulis surat untuk neneknya. Sudah bisa menghitung penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian tanpa alat bantu apapun. Tetapi begitu disuruh bercerita tentang apa yang dilihat, tidak keluar suaranya, apalagi kesan dari apa yang dilihatnya tadi, nol. Malah akhir-akhir ini tambah prihatin, karena anak-anak Indonesia kurang paham dengan apa yang dia baca.

Dimana masalahnya.

Soal pembiasaan & disiplin, ya, harus diakui, bahkan anak-anak Jepang tersebut seperti robot, melakukan hanya yang disuruh oleh gurunya. Termasuk antri, buang sampah dan mengacungkan/menunjuk dengan jari/tangan saat memastikan sesuatu OK atau menyeberang jalan. Tapi bukankah pendidikan anak itu memang “hanya” pembiasaan? Tentunya pembiasaan yang baik, dan itu terasakan dimana-mana di seluruh SD di Jepang, tanpa kecuali, dan semua sama.

Jadi yang diperlukan negara kita adalah membiasakan mereka mengikuti teladan dan berbudi pekerti, yang luhur. Sesuatu yang sudah jarang kita temukan bukan? Mungkin terlalu klasik? Ya, tapi bukankah kita dulu merasakan keluhuran budi pekerti semua orang di sekitar kita? Dan itu terasa indah?
Kenapa tidak kita mulai dari diri, keluarga dan lingkungan kita?

Wassalam
Ibnu Qosim

-------------
Best regards,
Nuraini <[EMAIL PROTECTED]>
visit www.fedus.org

--------------------------------------------------------------
Beli tanaman hias, http://www.toekangkeboen.com
Info balita: http://www.balita-anda.com
Peraturan milis, email ke: [EMAIL PROTECTED]
menghubungi admin, email ke: [EMAIL PROTECTED]

Kirim email ke