Yup, bener Mba Din. Kebetulan saya msh ada artikelnya. Monggoooo....... / Irma
VAKSINASI SEBABKAN ANAK AUTIS, BETULKAH? Gonjang-ganjing masalah vaksinasi sebabkan anak autis belum juga mereda. Setelah MMR dituding sebagai biang keladinya, kini thimerosal sebagai zat pengawet dalam vaksin pun ikut dikambinghitamkan. Bagaimana duduk permasalahan yang sebenarnya? Isu memang selalu meresahkan. Seorang ibu menulis lewat e-mail bagaimana anaknya mengidap autis setelah divaksinasi. Ditanggapi di sana, diprotes di sini, justru membuat e-mail itu makin populer. Belum reda isu itu, muncul buku terjemahan yang berjudul Children With Starving Brains (Grasindo, 2002) hasil tulisan seorang dokter yang kebetulan memiliki cucu autis akibat vaksinasi. Banyak kalangan, terutama orang tua, menjadi resah setelah membacanya. Apa yang sebenarnya terjadi? "Isu seputar vaksinasi itu selalu ada dan tidak pernah berhenti. Bahkan ada perkumpulan yang terang-terangan mendeklarasikan diri sebagai kelompok antivaksinasi," tanggap Dr. Adi Tagor, Sp.A. DPH., dari RS Pondok Indah, Jakarta. Namun, ia meminta kita agar tidak menutup mata terhadap manfaat vaksin yang merupakan salah satu penemuan terbesar. Sejarah mencatat, vaksinasi menyelamatkan banyak generasi dan memperpanjang kemungkinan hidup seseorang. Salah satunya vaksin cacar yang berhasil melenyapkan penyakit itu dari muka bumi pada tahun 1970. Vaksinasi pun tidak hanya bermanfaat bagi orang yang menjalankannya, tapi bermanfaat bagi orang di seluruh dunia. "Dengan vaksinasi, kemungkinan penularan penyakit dapat diperkecil dan akhirnya bermanfaat untuk seluruh umat manusia," tandasnya. Bahkan di Indonesia manfaat vaksin ini angkanya sangat fantastis, "Vaksinasi sudah terbukti mengurangi angka kematian bayi sampai 4.000 %, tentunya dibarengi dengan perbaikan gizi dan sebagainya." THIMEROSAL SEBAGAI BIANG KELADI? Jika kemudian vaksin yang membawa banyak manfaat dituding memicu autisme pada anak, hal itu karena ada beberapa pihak seperti Jaquelyn McCandless, MD, yang menyebutkan bahwa thimerosal yang terdapat pada vaksin sebagai zat pengawet mengandung etilmerkuri hingga melebihi ambang batas. Kelebihan itu tidak dapat ditoleransi oleh tubuh sebagian anak sehingga menjadi berbahaya dan kemudian memicu autisme. Sebenarnya, apa sih fungsi thimerosal dalam vaksin itu? Farmakolog Prof. DR. Iwan Darmansjah, SpFK, menjelasksan, "Thimerosal atau dikenal pula dengan istilah mercurothiolate dan sodium 2-ethylmercuriothiobenzoate banyak digunakan pada vaksin untuk mencegah perkembangbiakan jamur atau bakteri selama proses manufacturing (pembuatan, pengemasan, pengiriman, penyimpanan, penggunaan). Terutama pada vaksin multidosis yang telah dibuka." Senyawa ini telah digunakan untuk mengawetkan vaksin dan obat-obatan tertentu sejak tahun 1930-an. Sampai sekarang, thimerosal masih dianggap paling efektif membunuh virus, jamur atau bakteri pada vaksin. Dikatakan Iwan, thimerosal yang digunakan dalam proses produksi umumnya lebih kecil dari 0,5 miugram per dosis seperti yang terdapat pada vaksin MMR, polio (oral), dan BCG. Lalu yang digunakan untuk melindungi vaksin multidosis agar tak terkontaminasi mikroorganisme adalah antara 10 sampai 50 mimgram per dosis seperti pada DPT (dipteri pertusis), DT (dipteri dan tetanus toksis), TT (tetanus toksis), hepatitis B dan HiB. Dalam kesempatan yang berbeda, Adi Tagor juga menekankan manfaat senyawa pengawet vaksin ini, "Thimerosal bisa menangkal virus-virus lain yang tak terkendali. Misalnya virus yang masuk ketika botol vaksin dibuka, disuntikkan ke tubuh dan seterusnya. Virus-virus liar ini jelas lebih berbahaya. Apalagi sekarang ada makhluk lain yang lebih kecil dari virus yang disebut prion." Jadi manfaat utama thimerosal adalah mencegah masuknya mikroorganisma tak diharapkan (liar) dalam proses vaksinasi, sehingga tidak justru menjadi media penyebaran penyakit. Penelitian terhadap anak-anak yang telah meninggal (karena kecelakaan dan sebagainya) untuk membandingkan kadar merkuri antara yang telah mendapat vaksinasi lengkap dan yang kurang lengkap atau tidak sama sekali juga telah dilakukan. Hasilnya menunjukkan kadar merkuri dalam tubuh mereka tidak memperlihatkan perbedaan yang signifikan. "Kalau betul thimerosal merupakan biang keladi karena kandungan merkurinya, harusnya anak-anak yang divaksin lengkap menunjukkan perbedaan kadar merkuri yang cukup besar, dong. Tapi ternyata, kan, tidak," tandas Adi. "Kalau memang ada zat yang lebih baik dari thimerosal yang dapat digunakan untuk mencegah kontaminasi oleh virus liar, tentu lebih baik lagi. Tapi sampai saat ini thimerosal masih bermanfaat dan belum tergantikan." BELUM ADA LARANGAN Berkat fakta pendukung tersebut FDA (Food and Drug Administration) di Amerika Serikat sampai hari ini belum mengeluarkan larangan pemakaian thimerosal sebagai zat pengawet vaksin. Bahkan lembaga kesehatan tertinggi di dunia, WHO, masih mengakuinya sebagai zat yang aman. Badan Pengawas Obat dan Makanan Indonesia (BPOM) dalam siaran resminya juga menyatakan tidak ada hubungan antara vaksinasi dengan autisme. Secara tegas disebutkan bahwa kandungan merkuri yang berbahaya bagi manusia adalah gugus merkuri yang di dalam tubuh tidak dapat dimetabolisme, sedangkan kandungan merkuri dalam thimerosal adalah gugus etilmerkuri dari senyawa organik yang akan dimetabolisme bila masuk ke dalam tubuh hingga kemudian diekskresi melalui saluran cerna. Kadar thimerosal dalam vaksin yang diperbolehkan adalah 0,005%-0,02% sesuai dengan standar WHO. Saat ini menurut BPOM vaksin yang beredar di Indonesia sudah mengikuti persyaratan tersebut. Yayasan Lembaga Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) yang diketuai oleh dr. Marius Widjajarta S.E., sekalipun mengiyakan adanya polemik dan isu seputar vaksin, saat ini juga cenderung menyerahkan jawabannya kepada lembaga dunia, dalam hal ini WHO. Menurut Marius, YPKKI bersikap seperti itu karena dirinya tidak ingin terjebak dengan permainan perdagangan obat. "Biasanya dalam permainan perdagangan obat, boikot-boikotan dengan cara melempar berbagai macam isu ke publik sering dilakukan. Apalagi antarprodusen obat yang berbeda negara, biasanya selalu seru." Jadi dalam hal ini, tambah Marius, "Karena kita adalah negara anggota WHO, ya sebaiknya ikut apa yang disarankan oleh WHO, karena ini adalah lembaga dunia yang keputusan, sikap, dan pernyataannya masih bisa kita percayai penuh." Menurutnya, WHO dalam membuat keputusan yang menyangkut kepentingan orang banyak pasti tidak main-main. Pun, WHO tidak akan menutup mata terhadap isu kesehatan yang muncul dan berkembang di dunia ini. Secara arif Adi menegaskan, "Tidak mungkin ada persekongkolan yang dilakukan oleh dokter di seluruh dunia untuk menyatakan bahwa thimerosal aman digunakan. Kalau memang sudah terbukti suatu zat mengandung bahaya, sudah pasti FDA, BPOM, lembaga-lembaga yang berwenang maupun WHO akan cepat tanggap. Juga misalnya sudah diputuskan bahwa zat tersebut berbahaya, maka detik itu juga orang di seluruh dunia bisa tahu. Di dunia yang sudah terhubung dengan jaringan internet ini tidak mungkin ada kesenjangan informasi. (Tidak mungkin) di Amerika sekarang dilarang, sedangkan di Indonesia masih diperbolehkan." Menurutnya, dokter pun punya tanggung jawab moral untuk memberikan informasi yang benar kepada masyarakat. "Sebagai profesional, jelas salah kalau ada dokter yang memblok pengetahuan yang harus diketahui masyarakat luas," tandasnya. BAGAIMANA DENGAN MMR? Bagaimana dengan dugaan bahwa vaksin MMR memicu autisme? Walaupun isu ini sudah berkembang selama beberapa tahun dan semua pihak yang berwenang sudah memberikan bantahan, kekhawatiran masyarakat tak kunjung reda. Ibarat pepatah, tak ada asap bila tak ada api. Mana mungkin isu vaksin pemicu autisme ini muncul tanpa ada penyebabnya? Jadi bagaimana seharusnya menyikapi polemik ini? Dalam bukunya, Jaquelyn McCandless, MD., juga menulis bahwa kombinasi 3 in 1, antara vaksin campak (Measles), gondok (Mumps), dan rubela (Rubella) atau MMR telah dinyatakan sebagai penyelamat jutaan nyawa, tapi MMR juga dapat berperan sebagai kontributor autisme regresif yang saat ini diderita ribuan anak. Kesimpulan ini didapat berdasarkan data patologi usus halus yang berhubungan dengan jenis virus dari vaksin campak. Dalam buku yang sama, Jacquelyn juga mengutip penelitian yang dilakukan Dr. Andrew Wakefield yang menemukan genome virus yang berasal dari vaksin di dalam jaringan usus halus dan sel-sel mononuklear di bagian tepian darah dari satu subkelompok anak-anak autis. Disebutkan pula MMR memicu reaksi autoimunitas tubuh terhadap myelin basic protein (MBP) atau protein myelin (lemak pelindung) pada otak yang terdapat pada grup anak-anak rentan. Disebutkan pula penelitian yang dilakukan oleh VK Singh, yang menunjukkan presentase tinggi pada anak-anak autis yang memiliki titer antibodi yang tinggi terhadap MBP dan bahwa titer tinggi ini sering muncul bersamaan dengan titer tinggi terhadap virus campak atau human herpesvirus 6 (HHV-6). Di Indonesia, tak kurang ada juga orang tua yang giat menelisik apa gerangan penyebab autisme. Dialah Debbie R. Sianturi, SE,Ak., ibu dari anak autis bernama Joshua yang telah melakukan banyak usaha untuk mencari tahu penyebab autisme. "Anak saya menderita autis di usia 2 tahun 2 bulan setelah mendapatkan 16 kali suntikan vaksin." Debbie bertahan dengan pendapat kontroversial seperti ini setelah sang anak menjalani serangkaian uji laboratorium baik di dalam dan luar negeri, dari darah hingga biomedical treatments, "Dari uji laboratorium itu antara lain disebutkan bahwa reaksi tubuh anak saya terhadap vaksin campak adalah abnormal atau tidak bereaksi. Oleh karena itulah anak saya mengalami autobrain imunity yang mengakibatkan dirinya mengalami disconections. Itulah mengapa saya yakin sekali bahwa vaksin ada hubungannya dengan autisme." Hal tersebut diamini oleh dokter-dokter pakar autis dari luar negeri yang didatangkan Debbie ke Indonesia untuk menyampaikan penemuan mereka kepada publik awam dan profesional, antara lain Prof. Sudhir Gupta, MD., Ph.D., F.R.C.P.(C), M.A.C.P., Edward Yazbak, MD, Jeff Brastreet, MD (nutrisionist), dan William Walsh, MD. Saat itu Debbie masih mempertanyakan mengapa vaksin bisa menyebabkan anaknya autis. Selidik punya selidik setelah mengingat-ingat kembali saat pertama kali anaknya divaksin, ia menemukan jawabannya, "Yaitu setiap kali divaksinasi kondisi anak saya selalu sedang sakit." Tentu saja Debbie menyesalkan mengapa kalau memang kondisi itu akan memunculkan efek samping, dokternya berani melakukan vaksinasi terhadap Joshua. Mengapa pula hal seperti ini tidak diberitahukan kepada publik? Dari situ ia mengambil kesimpulan bahwa vaksin yang digunakan secara salah akan menimbulkan efek negatif. Oleh karena itulah ia menyarankan agar sebelum vaksinasi dilakukan seorang anak menjalani skrining lebih dahulu. Dengan bahasa lain menurut Debbie, lakukanlah prosedur pemberian vaksin, teliti ada tidaknya riwayat autoimunity, adakah penyakit asma, ada tidak penyakit diabetes, dan kuat tidak anak menerima kandungan zat-zat yang ada dalam vaksin termasuk thimerosal itu. Menanggapi hal tersebut Adi memberikan pendapat pribadinya, "MMR sampai saat ini memang masih kontroversial. Ada yang mengatakan bahwa penelitian itu tidak sahih karena sampelnya salah, metodologi penelitiannya salah, statistiknya salah dan sebagainya. Walaupun begitu kita tetap harus menghormati penelitian tersebut yang hasilnya menyebutkan bahwa kelompok anak yang divaksinasi MMR sebelum berusia 2 tahun secara signifikan menunjukkan angka autis yang lebih banyak dibandingkan kelompok anak yang divaksinasi di atas usia 2 tahun." Sebagai dokter, sebelum memberikan vaksin MMR, Adi mengaku selalu menanyakan orang tua pasiennya, apakah anaknya (berapa pun usianya) sudah bisa bicara lancar? Kalau ternyata anak tersebut belum mampu bicara, kosakatanya belum banyak, atau masih cadel dan pengucapannya tidak jelas, "Saya akan sarankan untuk menunda vaksinasi MMR. It's allright kalau ditunda sementara waktu, karena memang ada penelitiannya walaupun masih kontroversial." Menurutnya, kalau pada usia 2 tahun anak ketahuan mengalami keterlambatan bicara, hal itu bisa menjadi indikator bahwa ada sesuatu yang belum berfungsi "sempurna" dalam perkembangannya. Pada kondisi seperti itu, dikhawatirkan tubuhnya akan memberikan reaksi negatif terhadap vaksinasi MMR. Namun, kalau pasien kemudian bertanya apakah vaksinasi MMR masih perlu, Adi akan menjawab, "Jelas perlu." Mana ada vaksin yang tidak bermanfaat. "MMR sendiri sangat bermanfaat dalam mencegah 3 penyakit yang bisa mengakibatkan kecacatan bahkan kematian," jawabnya tegas. Jadi jangan ada salah persepsi di sini, vaksin MMR tetap perlu diberikan, tapi kalau anak menunjukkan keterlambatan bicara dan sebagainya, tak ada salahnya untuk menundanya sementara waktu. Pun kalau masyarakat mendengar informasi baru mengenai kesehatan anak yang sekiranya meragukan, sebaiknya tanyakan kebenarannya kepada pihak yang kompeten, misalnya dokter anak yang dipercaya. VAKSIN MODERN Pembuatan vaksin modern sudah menggunakan teknologi yang dinamakan bioengineering. "Misalnya kalau dulu vaksin hepatitis B dibuat dari darah atau kuman sebenarnya, sekarang sudah tidak lagi. Sekarang ini digunakan bahan seperti ragi. Jadi yang ditiru adalah sifat dari penyakit itu yang dikenali tubuh sebagai hepatitis B, padahal sebenarnya bukan. Hanya zat aktifnya saja yang ditiru," ungkap Adi Tagor. Sebelum bisa digunakan secara luas, vaksin tentunya telah melalui serangkaian perjalanan panjang. Setelah ditemukan, vaksin tersebut diujicobakan pada jaringan yang "dihidupkan" seperti kulit, usus, dan sebagainya, jadi tidak langsung pada makhluk hidup. Setelah menunjukkan hasil positif dan aman, baru diujicobakan pada mencit (sejenis tikus kecil), kemudian diteruskan pada mamalia yang dekat dengan manusia, seperti monyet. Setelah dinyatakan aman barulah diujicobakan pada relawan. Relawan pun dibedakan menjadi 2, yaitu pada tahanan dengan imbalan pengurangan hukuman, atau beberapa pihak juga menyebutkan dilakukan pada tentara, dan pada relawan yang benar-benar secara sukarela mau melakukannya dengan alasan kemanusiaan. Bila hasilnya positif, percobaan dilanjutkan pada kelompok terbatas, misalnya pada penduduk satu desa, dan barulah kemudian diluncurkan untuk masyarakat luas. Setelah digunakan oleh masyarakat luas, pemakaiannya masih selalu dipantau. Kalau memang ada keluhan dan sebagainya akan diteliti lebih lanjut lagi. Intinya tidak mungkin suatu zat yang berbahaya dibiarkan beredar begitu saja dan digunakan secara luas, apalagi jika pemakainya adalah anak-anak. Berikut artikel yang dikirim seorang pembaca nakita pada rubrik tanya jawab kesehatan no. 300 Putra saya umur 4 tahun. Sampai saat ini belum bisa bicara, saya sudah membawanya ke dokter ahli THT, dicek telinganya bagus, tenggorokannya juga bagus. Ikut rehabilitasi, tapi sampai saat ini belum ada kemajuan. Saat ini ia sudah sekolah TK, tapi di sekolah agak pendiam, sepertinya takut bertemu dengan guru dan temantemannya, sedangkan kalau di rumah luar biasa aktif. Kalau di luar pun aktif, sampai-sampai saya kewalahan menghadapi sikapnya. Kadang dia suka meniru apa yang didapat dari sekolah. Bila minta sesuatu, dia menarik tangan ibunya minta diambilkan. Kalau saya lagi kesal, saya marahin, dia malah nangis. Anak saya juga senang melihat gambar mobil dan suka menyusun permainan lego. Yang jadi pertanyaan saya adalah: 1. Apakah benar anak yang pernah diimunisasi MMR bisa autis? 2. Jika sewaktu hamil, ibunya pernah minumobat untuk menggugurkan kandungan berakibat anak jadi cacat? 3. Apakah benar dengan seringnya si anak bercermin jadi termotivasi untuk menggerakkan bibirnya? Mai Fajar - via email Tidak ada bukti ilmiah yang membuktikan bahwa imunisasi MMR dapat mengakibatkan autis. Jika ada bukti, mungkin vaksin yang telah dipakai selama lebih dari 30 tahun di seluruh dunia tersebut sudah ditarik dari peredaran. Autis juga dapat timbul pada anak yang tidak diberi vaksin MMR. Sedangkan obat yang ditujukan untuk menggugurkan kandungan memang dapat mengakibatkan janin cacat, tetapi tidak selalu. Sebaiknya Anda membawa si kecil ke psikiater atau ahli saraf anak untuk diperiksa lebih lanjut apakah ada kelainan tingkah laku atau sarafnya. Sering bercermin tidak selalu menimbulkan motivasi menggerakkan bibir, tergantung individu masing masing. Dear All, Yang ini jawaban sebagai Ketua IDAI dan Wk Ketua Yayasan Autisme Indonesia: Hubungan vaksin dengan autisme sudah diperdebatkan ber-tahun2, tidak selesai juga. Tapi pemecahannya sudah ada. 1. Vaksin yang baru sudah bebas timerosal atau kadar timerosal hanya trace, jauh lebih sedikit dibandingkan vaksin jaman dulu, yang tidak melebihi ambang yang diperbolehkan. Masalah timerosal sudah tidak relevan lagi. DtaP bebas timerosal, hepatitis hanya trace. BCG tidak ada timerosal, campak tidak ada timerosal. Hib yang baru juga ebbas atau hanya trace. 2. Imunisasi untuk beberapa penyakit tidak boleh ditawar: a. Difteri, tetanus, pertusis (DPT) sangat berbahaya dan mematikan bila kebetulan kena. b. Mengenai Hepatitis, Indonesia termasuk Negara endemis dengan kejadian hepatitis sangat tinggi. Kalau terkena hepatitis dapat menjadi kanker hati di kemudian hari. 3. Kesepakatan dari IDAI memang mengharuskan imunisasi tersebut, tentunya setelah membahas banyak sekali makalah dan banyak sekali pertimbangan. 4. Dengan Yayasan Autisme Indonesia juga sudah ada kesepakatan mengenai hal ini, bahwa masalah timerosal tidak relevan lagi. Namun tetap saja ada tulisan yang mendiskreditkan imunisasi atau vaksin, dengan gaya penulisan yang sangat meyakinkan . Jawabannya ya dikembalikan kepada orang tua. Anak dan cucu saya tetap saya imunisasi kok. Dr. Hardiono Pusponegoro -------------------------------------------------------------- Beli tanaman hias, http://www.toekangkeboen.com Info balita: http://www.balita-anda.com Peraturan milis, email ke: [EMAIL PROTECTED] menghubungi admin, email ke: [EMAIL PROTECTED]