Dear Pak Herman,

Ada cerita dari millis sebelah, saya copy di bawah siapa tau bisa jadi
renungan.
Yang saya tau IPD harganya 800 rebu.

---------------------------------------------------------------------------
- Cerita dari Istriyanto tentang Imunisasi, barangkali bisa buat renungan -
---------------------------------------------------------------------------

Ini kisah  nyata  yang saya  alami, sebagai  informasi / pelajaran  bagi
Rekan-rekan jika suatu saat ada yang menghadapi cobaan seperti yang saya
alami. 


Saya salah satu karyawan Kantor Pusat di Perusahaan kita, saya menikah pada
pertengahan tahun 2001, saya mempunyai Istri  "I"  yang dulunya juga adalah
karyawan di Perusahaan kita (Cab. Fatmawati), dan karena untuk mematuhi
peraturan di perusahaan (tidak boleh menikah antar sesama Karyawan), Istri
saya mengundurkan diri dari Perusahaan.  


Sejak Menikah (th.2001), Istri saya telah mengalami dua kali keguguran, yang
pertama +/- pada kehamilan berumur 2,5 bulan, dan yang kedua sempat di
Operasi "Kuretase" karena usia kehamilannya telah berumur 3,5 bulan. 


Penyebab keguguran, menurut dokter "K" di RS "A"  Panglima Polim/Jakarta ,
karena Istri saya "kecapaian"  (Istri saya bekerja di Perusahaan lain
setelah pengunduran dirinya) dan kandungannya "agak lemah". Dokter memeriksa
hasil Lab. komplit hasilnya " negatif ", tidak terdapat penyakit yang
menyebabkan Istri saya keguguran. Jadi secara medis memang penyebabnya hanya
"Kecapaian" dan "Kandungannya lemah". Jadi jika suatu saat Istri saya hamil
lagi, dokter menyarankan harus extra hati-hati dalam merawatnya. 


Bulan Sept 2004, Pada saat Istri saya periksa (karena sudah terlambat bulan)
ke dokter kandungan dr. "K" di RS "A", istri saya kembali dinyatakan Hamil,
keluarga kami begitu bahagia mendengar berita ini. Lalu saya dan Istri
dengan sangat hati-hati merawat kehamilan ini. Segala saran-saran dokter
kami laksanakan dengan baik, minum penguat janin, vitamin-vitamin, susu ibu
hamil, menjaga kesehatan makanan, makan makanan bergizi, menjaga
pantangan-pantangan ketika Hamil, dan bahkan untuk menjaga kehamilannya
(pada saat itu berumur 5 bulan), Istri saya rela kembali keluar dari tempat
kerjanya (saat itu masih bekerja pada Bank "B") dengan tujuan ingin
benar-benar konsentrasi dalam merawat/menyusui anak. 


Pada pertengahan bulan Juni 2005, Istri saya melahirkan dengan baik (walau
dengan operasi caesar), bayi kami sehat tidak kurang suatu apapun, beratnya
3.150 Kg dengan panjang 49 Cm. Sekali lagi Kami sangat bahagia atas
peristiwa ini.  Kembali Segala saran-saran dokter (Dokter Anak: Prof. "R" di
RS "A") kami laksanakan dengan baik, minum vitamin-vitamin, susu ibu
menyusui, menjaga kesehatan makanan/perlengkapan makan, makan makanan
bergizi, menjaga pantangan-pantangan dalam merawat bayi. dan rutin melakukan
Imunisasi. 


Disinilah mulai timbul bencana pada keluarga kami, pada saat anak/bayi kami
berusia +/- 7 bulan, untuk kesekian kalinya kami datang untuk imunisasi,
pada saat itu kami datang ke dr Anak kami Prof. "R" di RS "A" , namun pada
saat itu beliau tidak masuk, diganti oleh dokter pengganti/wanita yang masih
muda/mungkin dokter baru (namun saya lupa namanya). Begitu melihat jadwal
pada buku RS anak saya, dokter tersebut langsung siap melakukan imunisasi
terhadap anak saya, "hari ini imunisasi HIB ya ?!" , saya & istri tahu bahwa
imunisasi HIB tersebut salah satunya untuk mencegah radang Otak, makanya
Istri saya sempat bertanya, "dok, seandainya imunisasi ini tidak dilakukan
bagaimana ya ?!", lalu dokter pengganti tersebut menjawab dengan nada agak
ketus, "apakah ibu mau, anak ibu jadi Idiot?! (sambil memperagakan tampang
muka orang yang idiot dengan lidah dijulurkan keluar)" . Karena begitu
sayangnya kami dengan anak kami, sudah barang tentu kami tidak mau anak kami
idiot, lagi pula saya saat itu berfikir demi kesehatan anak kami tentulah
kami menuruti apa kata dokter yang lebih tahu/berpengalaman dengan imunisasi
tersebut. Lalu tanpa memeriksa dengan seksama kondisi anak kami dalam
keadaan fit/tidak, dan perlu tidaknya imunisasi tersebut kembali diberikan
kepada anak saya (karena sebelumnya pada saat berumur +/-  5 bulan anak kami
telah pernah diberikan imunisasi HIB I) dokter pengganti tersebut langsung
memberikan suntikan imunisasi HIB II kepada anak saya. 


Dua hari setelah pemberian imunisasi HIB yang kedua tersebut anak kami
mengalami panas, lalu turun, panas lagi lalu turun ( 2 atau 3 hari sekali
pasti mengalami panas ) dan anehnya panasnya hanya dikepala dan di
pundak/leher serta di ketiak saja, badan/tangan dan kakinya tidak. Hal ini
berlangsung +/- selama dua minggu, jika sedang panas, panasnya pernah sampai
40,6 derajat C. 


Sewaktu di kantor saya sempat bertanya kepada rekan-rekan yang masih/pernah
punya anak kecil mengenai panas anak saya, banyak diantara mereka yang
bilang panas setinggi itu berbahaya, malah sebagian teman bilang anaknya
panas "cuma" 38 derajat C saja sudah Step/kejang-kejang, namun sampai hari
itu anak saya belum pernah Step/kejang-kejang, padahal panasnya beberapa
kali sampai 40 derajat C, dan biasanya akan turun dengan sendirinya,
paling-paling hanya rewel, susah tidur. Saya mulai Panik dan khawatir, takut
jika anak saya tiba-tiba kejang/step di rumah. 


Dan Saya mulai ke dokter, kebetulan di dekat rumah ada dokter Umum di RS.
"D" ( Berhubung waktu itu hari minggu tidak ada dokter Spesialis anak yang
Buka ). Dokter tersebut memberikan beberapa macam obat, ada yang syrup, ada
yang serbuk. Setelah memakan obat-obatan tersebut selama 3 hari, anak kami
masih belum membaik ( panasnya masih naik turun ), lalu kami ke RS "A"
tempat dokter anak saya Prof. "R" dimana selain diberi obat-obatn juga
disarankan untuk memeriksakan darah anak saya ke Lab. (waktu itu saya
langsung periksakan anak saya ke Lab. "P" yang sudah berpengalaman), Karena
setelah kami ketahui hasilnya "negatif/tidak ada penyakit" dan obat dari
Prof. "R" di RS "A" juga belum efektif menyembuhkan panas anak saya,
akhirnya saya membawa anak saya ke RS "B" Cikini ( karena saya tahu di RS
"B" ada ruang perawatan anak, jika memang anak saya perlu di rawat). 


Di sinilah ketabahan/kesabaran kami di uji. Saya datang pertama kali ke RS
"B" cikini, Kamis 17 Maret 2005 pagi +/- jam 7.00 Wib, dan setelah bertanya
kesana-kemari saya langsung membawa anak saya ke UGD (Unit Gawat Darurat)
karena masih pagi, dan disana ada dokter jaga, setelah dilakukan beberapa
tindakan lalu +/- jam 08.30 saya bawa anak saya ke dokter Spesialis anak dr.
"N", baru kemudian diminta untuk di bawa ke ruang perawatan untuk di rawat. 


Pintarnya RS, setiap mereka akan melakukan tindakan medis terhadap anak
kami, kami/orang tua harus menyetujui terlebih dahulu tindakan tersebut,
dengan catatan apabila orang tua pasien tidak menyetujui suatu tindakan
medis, kami juga disodorkan surat penolakan tindakan medis, yang didalamnya
tertera apabila terjadi apa-apa terhadap anak saya, maka pihak RS tidak
bertanggung jawab karena tindakan medis yang akan mereka lakukan tidak
disetujui. Itu artinya kami/pasien bagai memakan buah simalakama, dan
tentunya harus mengikuti semua langkah-langkah medis yang dilakukan oleh
pihak RS, karena memang tidak ada pilihan lain. 


Anak saya langsung di infus dan diambil darahnya untuk pengecekan (karena
hasil cek darah yang saya bawa dari Lab "P" sebelumnya menurut pihak RS bisa
berubah) walaupun akhirnya hasilnya juga masih "negatif" tidak diketahui
penyebab/penyakit panas anak saya. Kemudian atas anjuran dokter anak saya
harus puasa dari jam 15.00 (tiga sore) sampai dengan 21.00 (sembilan malam)
kerena akan diambil darahnya lagi untuk pemeriksaan. Selama waktu tersebut
kami sedih melihat anak saya, walaupun ada infus di kakinya, namun anak saya
tampak ingin makan/minum, namun kami tidak berikan walau mulutnya seperti
orang yang kehausan. Kami sangat mengkhawatirkan fisik anak saya. 


Benar saja apa yang Saya dan Istri saya khawatirkan terjadi, esokan
hari/Jum'at subuh begitu panas anak saya kembali tinggi sampai lebih dari 40
derajat C, anak saya langsung kejang/Step (padahal sewaktu di rumah belum
pernah sekalipun anak saya kejang/Step seperti saat itu), suster-suster RS
mulai memberikan anak saya Oksigen melalui selang ke hidung, dan karena
panas/Kejangnya lebih dari 1/2 jam, maka anak saya pagi itu juga langsung di
bawa ke ruang ICU/PICU (Pedriatic Intensive Care Unit). Anak saya di
diagnosa awal "kemungkinan" terkena Radang Otak yang disebabkan oleh
Virus/bakteri, sehingga mengganggu fungsi pengaturan suhu tubuh. Dan dokter
bilang kemungkinan sembuhnya hampir tidak ada,  kalaupun sembuh akan ada
efek sisa, misalnya jadi Idiot, Lumpuh, dsb. (Pihak RS langsung Pesimistis
untuk penyembuhan anak saya). 


Di ICU anak saya di rawat oleh Tim Dokter, dengan ketua Timnya yaitu dr. "Y"
(dokter spesialis anak senior RS "B"), dengan anggota beberapa dokter
Spesialis THT, Syaraf, Urologi, Bedah, dsb. Ditambah dengan
dr.Konsulen/semacam penasihat, yaitu Prof. "A" dari RS "C", selain dokter
tim tersebut dibantu oleh beberapa orang suster yang dalam sehari bekerjanya
dibagi menjadi 3 shift, suster-suster inilah yang memonitor perkembangan
kesehatan anak kami tiap saat. Suster juga sama seperti karyawan di kantor
kita, ada yang teliti, ada yang rajin, ada yang baru/belum berpengalaman,
ada yang text book, ada yang kurang berani bertindak, dsb. 


Sabtu subuh (hari ke dua perawatan) anak saya kembali panas tinggi dan
kembali kejang, kali ini suster jaga pada saat itu terlihat kurang
tanggap/cekatan dalam memberi tindakan terhadap anak saya, malahan pada saat
kejang, karena tenaga medis tidak begitu "care", Istri saya sendiri yang
harus mengganjal mulut anak saya dengan alat pengganjal agar lidahnya tidak
tergigit, dan karena terlalu lama tidak ditangani dengan baik akibatnya anak
saya semakin lemah, terlihat pada mesin yang memonitor Oksigen dan Jantung
anak saya saturasinya (istilah mesin tsb) terus menurun. Pada saat tim
Dokter datang kondisi anak saya sudah memburuk, bahkan pada layar monitor
mesin saturasi sempat terlihat "Flat", artinya paru-paru/oksigen dan jantung
anak saya telah berhenti bergerak. Saya dan Istri langsung Shock dan lemas
tangis pun tak terbendung. Beberapa tenaga medis terus berusaha memompa
secara manual nafas anak saya, lalu mereka segera memasang mesin
Ventilator/alat bantu pernafasan (mesin yang sama dengan yang digunakan
Almh. Sukma Ayu) dan menyalakannya. Seperti biasa pihak RS menyodorkan surat
persetujuan tindakan pemasangan mesin tsb.  Pada saat itu saya & istri
sangat Shock, sehingga konsentrasi kami hanya kepada anak kami tersebut,
oleh karena saya tidak begitu memperdulikan surat persetujuan melakukan
tindakan yang disodorkan RS, akibatnya pihak RS langsung mencopot kembali
selang-selang yang terpasang dan mematikan mesin/listrik Ventilator tsb.
Kami kesal dan marah (walau hanya di dalam hati), lalu segera meraih surat
persetujuan tindakan tsb dan menandatanganinya, barulah alat tersebut
kembali dipasang/dinyalakan, dan selamatlah nyawa anak saya ketika itu
(padahal menurut hemat saya hitungannya hanya detik untuk mengambil
keputusan tersebut/terlambat sedikit mungkin akan berbeda ceritanya). 


Kurang lebih dua minggu alat Ventilator itu terpasang, dan dua minggu itu
pula kami mengalami pengalaman yang sangat pahit dalam kehidupan kami, kami
menyaksikan betapa tersiksanya anak yang kami sayangi yang terus menerus
dilakukan tindakan medis, diantaranya : 

1. Diambil darahnya yang hampir setiap hari (dengan cara disedot dengan alat
suntik), walaupun hasil Lab.-nya selalu negatif dengan jumlah pengambilan
dalam sehari bisa 3X, dan dalam sekali ambil antara 5 - 10 CC darah, padahal
kondisi anak saya ketika itu sangat lemah/terlihat kuning seperti kurang
darah. Diambil sampel Urine, sampel cairan dari perut, Bahkan sampai diambil
contoh cairan otaknya (melalui penyedotan pada ruas tulang belakang)
walaupun hasilnya juga negatif. 

2. Berganti-ganti tempat untuk memasukan jarum Infus, dari vena-vena di
kepala, tangan, kaki, selangkangan, malah karena Tim medis sudah kesulitan
memasukan jarum infus, tim medis melakukan tindakan Vena Sectio (operasi
kecil/merobek kulit/daging terluar) untuk dicari pembuluh vena yang berada
agak ke dalam agar jarum infus dapat memasukan cairan infus ke tubuh anak
saya. Kedua pergelangan tangan dan kaki anak saya telah di-Vena Sectio. 

3. Bius Total, dengan alasan takut mesin Ventilator tidak berfungsi dengan
baik apabila anak saya dalam keadaan sadar. 

4. Diberi obat-obatan/anti biotik berganti-ganti sesuai indikasi/kemungkinan
(Baru kemungkinan/seperti coba-coba) penyakitnya yang kadarnya tergolong
keras, yang sudah pasti banyak efek sampingnya. 

5. Karena sudah tidak ada tempat untuk Infus dan pengambilan darah (semua
titik venanya telah habis), beberapa kali tindakan infus/pengambilan darah
tidak berhasil dilakukan, lalu dicoba lagi dan di coba lagi sehingga
menimbulkan bekas luka lebam/biru/bekas-bekas jarum suntik yang sangat
banyak. 

6. Dilakukan foto Thorax (Rongent) beberapa kali,  Padahal sekali saja
dilakukan di yakini dapat membunuh banyak sel tubuh ) 

7. Timbul efek samping, Paru-paru anak saya meradang/infeksi sehingga di
penuhi banyak cairan, dan kepala belakang dan samping kiri
memar/luka/lecet/bengkak. Karena terlalu lama dalam posisi tidur/di bius
(hal ini seharusnya tidak perlu terjadi kalau tim medis sering merubah
posisi tidur anak saya/setelah kami Complain baru hal ini dilakukan). 

8. Masalah Biaya. Sering kali pihak RS (dokter/suster), menanyakan masalah
biaya, walaupun berkali-kali saya katakan ada surat jaminan pembayaran dari
Kantor. ( Coba bayangkan seandainya memang kami tidak punya biaya). 

9. Diagnosa penyakit yang tidak didukung bukti yang pasti, tim Medis hanya
selalu mengatakan "Kemungkinan". Dari +/- satu bulan di rawat, anak saya
sudah beberapa kali dikatakan kemungkinan penyakitnya bersumber dari Radang
Otak karena penyakit/Virus/bakteri: Herpes, berubah Toxoplasma, berubah
Maningitis, berubah Ensevalitis, sampai kesimpulan terakhir/dari sampel
darah terakhir anak saya masih belum mengetahui pasti penyebab penyakitnya
(bukti lab. adanya virus/bakteri tersebut tidak pernah ada). 


Pada masa itu juga kami sempat beberapa kali bersitegang dengan beberapa Tim
Medis anak saya, namun kami selalu kalah (mengalah) karena posisi kami
sangat lemah, Ketua tim dokternya "dr.Y" sempat berujar bahwa mereka
dokter-dokter ahli, " kalau di RS "C" bapak boleh bilang "begitu", karena
banyak dokter muda yang sedang belajar disana" (maksudnya menanggapi guman
saya dengan istri saya, "kok anak kita seperti kelinci percobaan ya!? dan
kata-kata tersebut didengar Suster, yang lalu melaporkannya ke ketua Tim
dokternya) , bahkan dokter itu juga sempat berkata " kalau bapak tidak puas,
silahkan angkat anak bapak sekarang !!" . Padahal saat itu, hal tersebut
tidak mungkin kami lakukan karena seluruh tubuh anak saya terpasang mesin
(Ada mesin ventilator, ada mesin saturasi Oksigen/Jantung, ada infus, ada
selang Sonde/makanan, dsb) 


Pernah seorang anggota Tim dokter yang didatangkan dari RS "C", yaitu dr.
"I" ahli syaraf, setelah memeriksa anak saya mengatakan, "Penyakitnya malah
dari RS ini semua, ya !!",  Setelah masa perawatan 2 minggu tersebut timbul
berbagai komplikasi; mata anak saya buta/tidak bisa melihat (menurutnya
mungkin bisa sembuh karena anak saya masih bayi), Infeksi paru, memar di
kepala, badan kaku/keras, padahal pertama kali masuk RS anak saya "hanya"
sakit Panas. Kemudian dr "I" juga bilang " tadi saya coba lepas alat
Ventilatornya agak lama, anak bapak bagus kok, dia sudah bisa bernafas
sendiri ". Saya bersyukur berarti ada kemajuan pikir saya ketika itu. 


Awal minggu ke tiga beberapa orang tim medis (ada beberapa dokter dan
beberapa suster), mencoba melepas alat bantu nafas/Ventilator (mungkin
setelah diberi masukan oleh dr. "I" dari RS "C"), di coba 1 jam, 2 jam, 3
jam dan seterusnya .... rupanya anak saya sudah bisa kembali bernafas
sendiri/normal. Namun karena Sumber penyakitnya belum diketahui maka Tim
medis beberapa kali melakukan penggantian Obat/anti biotik, diantaranya
Acyclovir, Delantin, Tegatrol, TieNam, Meronem (dua jenis yang tertulis
dibelakang katanya merupakan anti Biotik yang paling Ampuh/Mahal/Impor dari
Amerika). 


Minggu ketiga dan selanjutnya Panas kepala anak saya relatif stabil (antara
36 - 38 derajat C), dan kondisinya relatif membaik "hanya" tinggal matanya
yang Buta dan badannya yang kaku (sendi-sendinya tidak bisa ditekuk), namun
pengambilan darah masih dilakukan secara berkala, dan hampir setiap hari
dilakukan Terapi Fisioteraphy (Penyinaran dan pemijatan). Sehingga akhir
minggu ke tiga semua Infus telah dicopot, oksigen dicopot, hanya tinggal
selang Sonde (Selang makanan/di mulut) yang masih terpasang. 


Saya dan Istri (serta keluarga besar kami), terus berdoa setiap hari untuk
kesehatan anak kami satu-satunya, sampai pada pertengahan minggu ke empat,
dr. "I" (Specialis syaraf dari RS "C") bilang anak kami boleh di bawa
pulang, namun minimal harus sehari masuk ke ruang perawatan biasa dahulu
(sesuai prosedur RS "B"). Dan menurut  dokter "I" juga, anak kami hanya
cukup rawat jalan ke RS "C", untuk berobat ke dr. "I" dan dr. "L" (specialis
tumbuh kembang/penyembuhan tubuh anak saya yang masih kaku-kaku). Setelah
sehari berada di ruang perawatan biasa, dan tidak ada masalah kami membawa
anak kami pulang dengan membawa dua macam obat (Anti kejang dan anti Virus),
dan sebelum pulang, lagi-lagi anak kami diambil kembali darahnya oleh RS
untuk pemeriksaan penyebab penyakit anak kami, setelah itu barulah kami
diperbolehkan pulang. 


Namun tidak sampai 2 hari anak kami di Rumah, kami/keluarga lupa akan luka
dibelakang kepalanya (akibat perawatan yang lalai sebelumnya) yang masih
belum sembuh total, lukanya terlihat memar/merah/agak bengkak/dan mungkin
infeksi, yang mungkin juga membuat anak kami panas lagi/karena infeksinya,
Panasnya kembali naik sampai 40 derajat C lebih, bahkan ketika akan kami
beri obat (yang kami bawa dari RS), anak kami muntah hingga lemas, lalu
tanpa banyak pikir lagi walaupun pada saat itu jam 02 pagi, kami kembali
membawa anak kami ke RS "B" Cikini dan kembali kami mengalami kekesalan,
anak kami diperlakukan layaknya seperti pasien yang baru masuk RS. Anak kami
kembali masuk ICU, kembali harus Infus, puasa, diambil darahnya lagi
(meskipun titik venanya sudah habis/tidak ada tempat lagi untuk
infus/periksa darah, dan saya juga telah sampaikan mungkin panasnya akibat
luka dibelakang kepalanya yang belum sembuh/infeksi), padahal saya sudah
protes terhadap dr. jaga pada saat itu bahwa anak saya sebelumnya sudah
dirawat hampir sebulan di RS tersebut, dan hasil lab. terakhirnya juga baru
kemarin saya ambil dengan hasil "negatif",  juga saya kemukakan mengenai
luka dibelakang kepalanya yang harus diprioritaskan pengobatannya. Namun
karena dr. terus mengemukakan argumennya, akhirnya kami mengalah dan
menyerahkan sepenuhnya apapun yang akan dilakukan oleh dr. Dan kembali anak
saya dipakaikan selang Oksigen ke hidungnya , lalu dengan alasan "saturasi"
nafasnya terus menurun, Tim medis berencana untuk memasang kembali mesin
Ventilator pada anak saya, dengan sebelumnya meminta persetujuan saya lagi
untuk diambil darahnya sebelum pemasangan mesin tersebut (padahal ketika itu
kondisinya terlihat pucat/kuning seperti telah kehabisan darah). Kembali
dengan berat hati dan berharap Tim Medis melakukan tindakan yang "benar"
untuk anak saya, saya kembali menyetujuinya. Namun belum sempat mesin itu
dipasang, belum sempat hasil lab I dan ke II (pengambilan darah pada pada
hari itu) ada hasilnya, akhirnya anak saya dipanggil oleh yang Maha Kuasa
....... anak saya mengalami Gagal Nafas dan dinyatakan Meninggal oleh pihak
RS, walau saat itu saya pegang denyut Nadi di leher/bawah dagunya masih ada
(walau lemah), sewaktu kami minta untuk terus memompa alat bantu nafas
manualnya, Dokter/suster yang ada pada saat itu sudah lepas tangan dan tidak
melakukan tindakan apapun juga. Akhirnya dengan Ikhlas, didepan mata kepala
saya dan istri saya, anak kami melepaskan nyawanya tanpa kami bisa berbuat
apapun juga ( Selasa 12 April 2005 Jam 23.25 wib). Akhirnya Anak kami
meninggal dengan sebab bukan karena penyakitnya (Panas),  menurut kami
"kemungkinan" karena gagal nafas/Infeksi paru atau malah "mungkin" karena
terlalu lemah  kehabisan darah. 


Innalillahi Wa inna illaihi roji'un selamat jalan Permata hatiku, ........
doa kami 'kan selalu menyertaimu...Amin 


Dan tidak lupa saya & keluarga mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya
kepada rekan-rekan yang telah memberikan suport baik moril, materil maupun
spirituil kepada saya dan keluarga, semoga segala kebaikan rekan-rekan akan
dibalas dengan pahala yang berlipat-lipat oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Amin. 


Salam, 

Istriyanto & Keluarga 




Note : 


Tanpa mengurangi rasa hormat saya pada Ilmu Kedokteran dan tenaga medis,
sesuai dengan pengalaman berharga dan mahal yang telah saya alami, maka kami
mencoba mengambil kesimpulan (Setelah kami juga mendengar dari sesama Pasien
RS, rekan/sahabat, tetangga, saudara yang sempat bezuk dan mengatakan pada
saya, selama dalam perawatan sampai saat Meninggalnya anak saya) sbb: 


1. Banyak kasus penyakit bayi/balita yang timbul setelah mereka disuntik
imunisasi. 

    - Pasien lain di RS yang sama mengatakan pada saya, anak saudaranya
sampai dengan usia 2 tahun belum pernah suntik Imunisasi Hepatitis namun,
setelah ada dokter (spesialis anak) yang tahu, lalu disarankan di imunisasi
Hepatitis, kemudian tidak lama setelah itu akhirnya anak saudaranya positif
terkena Hepatitis akut, dan harus bolak-balik berobat ke dokter. 

    - Tetangga saya, sehabis Imunisasi campak, dua hari kemudian malah
terkena campak. 

    - Tetangga kami yang lain, anak pertamanya rutin diimunisasi, namun
fhisiknya malah lemah sering sakit-sakitan, sedangkan anak keduanya sama
sekali tidak pernah imunisasi namun malah sehat, hampir tidak pernah sakit
(kalaupun sakit cepat sembuh/ringan) 

    - Teman sekolah saya anaknya tidak pernah Imunisasi malah sehat, umur 10
bulan sudah lincah berjalan, dan juga boleh dibilang tidak pernah sakit
(kalaupun sakit hanya ringan saja). 

    - dan banyak lagi kasus-kasus serupa yang tidak mungkin saya tulis satu
persatu. 


2. Menurut saya, Jika bisa Hindari Imunisasi, kalaupun perlu/terpaksa
pilihlah imunisasi yang pokok saja (bukan imunisasi lanjutan/yang aneh-aneh)
alasannya : 

    - Kita "Mendzolimi", anak kita sendiri yang memang sedang masa
pertumbuhan dan pertahanan tubuhnya masih lemah, malah kita suntikan
penyakit (walaupun sudah dilemahkan) ke tubuhnya. 

    - Kita tidak pernah tahu kondisi anak kita sedang benar-benar sehat atau
tidak, karena terutama anak yang masih di bawah 1 tahun biasanya belum bisa
bicara mengenai kondisi badannya, sedangkan imunisasi harus dilakukan pada
bayi/balita yang sehat (tidak sedang lemah fisiknya/sakit). 

    - Sesudah kita memasukan penyakit ke tubuh anak kita, biasanya kita juga
harus mengeluarkan banyak biaya. (Jasa dokter/RS, harga imunisasi, dsb), 

    - Tidak ada jaminan (Dokter/RS/puskesmas) apabila setelah imunisasi anak
kita bebas dari penyakit yang telah dimasukan ketubuhnya. Contoh nyata yang
terjadi pada anak saya, padahal anak saya sudah 2 kali imunisasi HIB (
ketika berusia +/- 5 dan 7 bulan ), padahal sebelumnya dokter bilang
imunisasi HIB untuk menghindari penyakit Radang Otak, namun nyatanya anak
saya malah meninggal  akibat penyakit Radang Otak. 

    - Menurut seorang rekan yang pernah membaca Literatur terbitan Prancis,
justru Imunisasi sudah tidak populer di Amerika Serikat, dan terus berusaha
dihilangkan dan tidak dipergunakan lagi, bahkan di Israel Imunisasi telah di
STOP samasekali, padahal kita tahu negara-negara itu merupakan pelopor
"industri", imunisasi. 

    - Menurut pengalaman saya jumlah kadar/isi setiap pipet/tabung imunisasi
semua sama, jadi imunisasi tidak melihat berdasarkan berat tubuh/perbedaan
Ras/warna kulit, padahal kalau Obat/Imunisasi itu Impor, tentulah kadarnya
disesuaikan dengan berat/fisik orang Luar (Barat) yang jelas lebih basar dan
kuat fisiknya dibanding orang Asia, namun kita malah sama-sama menggunakan
dengan takaran yang sama. (akibatnya overdosis). 


3. Jika tidak "urgent" sekali, hindari rawat inap di RS, karena banyak
prosedur/step-step pengobatan yang akhirnya akan melemahkan tubuh pasiennya.
(Contoh: keharusan berpuasa, pemasangan infus, pengambilan darah yang terus
menerus, foto Rontgen, operasi, kemoteraphy, dsb). Jikalau perlu coba dulu
dengan cara pengobatan alternatif/tradisional. 


4. Jika perlu dengan tegas untuk menolak suatu tindakan medis yang akan
dilakukan RS, jika kita yakini manfaatnya tidak benar-benar berpengaruh
terhadap kesembuhan pasien. 


5. Jika perlu lakukan 2nd opinion pada RS/dokter lain yang setara/lebih
baik. 


6. Banyak tanya, biarlah kita dibilang "bawel", tanyalah setiap tindakan
medis yang akan dilakukan, mengapa akan di lakukan, akibat-akibatnya, ada
tidak cara-cara lain/alternatif lain yang lebih baik/tidak terlalu menyakiti
pasien. 


7. Terus temani pasien (bisa bergantian dengan keluarga yang lain), karena
setiap saat bisa ada tindakan medis yang memerlukan persetujuan, dan cermati
semua pekerjaan perawatannya, jika ada yang habis/kurang jangan sungkan
melaporkan ke tenaga medis yang ada segera. 


8. Terus berdoa, karena segala sesuatunya telah ditetapkan oleh "Yang Maha
Kuasa", manusia hanya bisa ikhtiar dan berusaha.

IrFANKELANA
Web Designer

PT Daya Indosa Pratama
www.dayaindosa.com 

-----Original Message-----
From: Herman [mailto:[EMAIL PROTECTED] 
Sent: Tuesday, April 04, 2006 1:20 PM
To: balita-anda@balita-anda.com
Subject: [balita-anda] imunisasi IPD

dear Moms and Dads


Ada yang tau atau pernah imunisasi IPD ga?saya lagi cari informasinya
soalnya minggu lalu saya mendapat brosur mengenai imunisasi ini trus kakak
ipar saya juga bilang sebaiknya dipertimbangkan untuk diberikan ke Alif,
tapi saya masih ragu apakah imunisasi ini sudah resmi direkomendasikan buat
anak atau hanya sekedar penawaran vaksin baru dari produsennya.
Mohon sharingnya ya



thanks


herman



================
Kirim bunga, http://www.indokado.com
Info balita: http://www.balita-anda.com
Stop berlangganan/unsubscribe dari milis ini, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]
Peraturan milis, email ke: [EMAIL PROTECTED]

Kirim email ke