Setelah saya obrak-abrik Harddisk, alhamdulillah akhirnya saya temukan
juga.
Maaf, saya sudah lupa artikel tersebut saya dapat dari mana,
Semoga kita bisa mengambil pelajaran darinya,
Maaf artikel ini berprespektif Islam, tetapi tidak melarang Anda yang
non muslim untuk mengambil pelajaran darinya..............

Di sini, akan saya bagi menjadi 3 bagian, karena dari tadi saya mencoba
kirim sebesar 19 K ditolak terus sama balita-anda.

Assalamu'alaykum wr wb,

Puji dan Syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah, Pemilik dan
Penguasa Alam Semesta.
Ihdinashiraatal Mustaqiim, Tunjukilah kami jalan yang lurus ya Allah.

Kali ini saya ingin sedikit menambahkan apa yang saya
tulis kemarin, terkait dengan judul sebelumnya : antara anak dan
profesi.
Sebelumnya saya mohon ma`af kepada ibu penanya (ma`af saya lupa
namanya),
karena sebenarnya saya tidak ingin tulisan saya menambah susah perasaan
ibu.
Pada tulisan ini, insya Allah akan saya berikan saran yang mungkin bisa
ibu
jadikan bahan pertimbangan. Alhamdulillah karena kita sama-sama di
jepang,
tentunya lebih mudah bagi saya untuk memahami situasi dan kondisi ibu.
Saya
merasa bangga dan bersyukur karena ibu tersentuh membaca tulisan
(mandikan
aku bunda). Saya juga sempat berkaca-kaca ketika membaca tulisan itu.

Pada tulisan berikut ini, saya hanya ingin menceritakan beberapa
pengalaman
hidup saya, yang mungkin ada manfa`atnya bagi saudara-saudara ku
sekalian.
(Tapi sekali lagi ma`af. Panjang sekali semoga tetap dibaca)

Alasan bahwa wanita harus tetap punya ma`isyah (mata pencaharian) karena

adanya kekhawatiran akan dikhianati suami, merupakan salah satu alasan
yang
pernah saya dengar. Tapi sebenarnya alasan tersebut tidak cukup kuat.
Dalam
hukum Islam, apabila terjadi perceraian, maka mantan suami wajib
memberikan
kebutuhan hidup bagi si anak sampai dia dewasa/menikah. Istri yang
dicerai
tetap mendapatkan hak nafkah, sampai dia menikah lagi. Semoga saya tidak

salah mengutip hukum Islam ini. Mungkin jawaban saya ini akan
menimbulkan
tanggapan: (Yah, itu kan teorinya, kenyataannya kan tidak begitu. Saya
akan
memberikan alasan yang lebih kuat daripada alasan di atas. Ditinggal
suami,
merupakan hal yang masih ada jalan keluarnya, yaitu menikah lagi.
Bagaimanapun juga ini adalah solusi yang diberikan oleh Islam. Artinya,
wanita memang diperbolehkan menikah lagi, seperti halnya pria. Alasan
yang
lebih kuat adalah: bagaimana kalau suami saya tiba-tiba sakit keras,
kecelakaan, lumpuh, atau alasan lainnya..? bukankah berarti saya sebagai

istri harus menjalankan tugas ganda sebagai ibu dan juga seorang ayah ?
Kalau saya tidak punya pekerjaan, kan bisa bahaya ?
Adakah wanita yang menjadi ibu rumahtangga memikirkan hal ini ? Lalu
apakah
tidak lebih baik kalau semua wanita diharuskan bekerja, dengan alasan
motif
berjaga-jaga, kalau sang suami tidak bisa lagi bekerja.
Sayang tanggapan atas tulisan saya kemarin (yang saya baca, tidak ada
yang
berasal dari seorang wanita sarjana yang akhirnya memutuskan menjadi ibu

rumah tangga demi keluarga. Kalau ada  mungkin  diskusi ini akan lebih
hidup, karena ada prespektif baru dari wanita yang mengalami. Ada
baiknya
istri dibelikan komputer dengan kelengkapan internet untuk bisa menambah

ilmu pengetahuannya, tanpa harus keluar rumah. Wah.. ini usulan yang
mahal
ya



bersambung (2)

>> Mau kenduri di kantor? Perlu nasi tumpeng? klik, http://www.indokado.com  
>> Info balita, http://www.balita-anda.indoglobal.com
Etika berinternet, email ke: [EMAIL PROTECTED]
Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]



Kirim email ke