***Bagian 2......

 "Assalamu'alaikum...Udaaa!!!" sebuah teriakan mengejutkan Dian yang
sibuk
> mengepel lantai.
> "Awas..jangan masuk duluuuu!!!" teriak Dian.
> Tapi terlambat! Tommy masih sempat mengurungkan kakinya yang hampir
menjejak
> di lantai yang sudah dipel.
> Tapi tidak demikian dengan dua pasang kaki mungil milik Fajar dan
Senja.
> Mereka berlarian masuk masih lengkap dengan sepatunya yang berlumpur!
> Dian terduduk lemas. Sia-sia ia mengepel hampir satu jam lamanya.
> Tommy tertegun. Wajahnya kosong menatap berganti-ganti uda-nya yang
terduduk
> lemas dan keponakannya yang tertawa-tawa sambil berkejaran, menambah
kotor
> ruang tamu.
>
> Kepala Dian kembali berdenyut, bahkan lebih hebat dari tadi pagi.
Bayangan
> Bulan istrinya berkelebat. Bulan masih bisa tersenyum ketika peristiwa
seperti
> yang dialaminya menimpanya. Bahkan bukan hanya senja dan Fajar yang
mengotori
> lantai ketika Bulan sedang mengepel, tapi juga dirinya. Dan
sekarang...Oh,
> Bulan, aku tidak bisa tersenyum sepertimu...
> Melihat reaksi Dian, Tommy buru-buru melepas sepatunya yang juga penuh
> lumpur karena kemarin hujan turun sepanjang hari. Ditangkapnya dua
makhluk
> mungil yang masih berkejaran itu, lalu serentak diangkatnya keduanya. 
Ia
> tidak ingin marah Uda Dian meledak di depan anak-anaknya.
> Ruang tamu kembali sepi. Dian terpekur menatap lumpur sisa jejak kaki
> anak-anaknya yang membentuk pola-pola tertentu di lantai.
> Diantara pola-pola itu ia mendapati senyum teduh dan tatapan sayu penuh
> pengertian milik Bulan. Bulan hampir tak pernah  mengeluh.
> Seperti layaknya gadis-gadis Minang yang lain, ia begitu kuat bahkan
pada
> peristiwa yang paling pahit saat pernikahan keduanya ditentang Mamak
dulu.
>
> Yaaa, Bulan gadis dari kota Gadang, dan menurut adat ia dilarang
menikah
> dengan orang selain kota Gadang. Tapi, Islam rupanya lebih kuat
daripada
> apapun jua. Dia berhasil memboyong Bulan meski tanpa restu inyik
mamak".
Tapa
> sadar bibir Dian menggumamkan saja cinta yang selalu dibisikkannya pada
Bulan
> lirih.
>
> Ampaleh daun kaloyang-Diturih mangki dijamua (Engkau adalah emas dan
kami
> adalah loyang) Adik Ameh kaloyang-dima ka buliah campuan baua"
(Bagaimana
> kiranya kita dapat bertemu).
> Dian tersenyum sendiri meningat betapa merah wajah Bulan setiap kali
> mendengar sajak itu, lalu jemarinya akan bergerak mencubiti perutnya,
> lalu ia tertawa terbahak-bahak.
> "Heh..Uda.., kangen sama Uni, ya?" sapa Tommy, membawa kembali Dian
kebumi.
> Dian tertawa.
> "Bantuin Tom.., hayoh!!" seru Dian sambil mengulurkan kain pel pada
adik
> satu-satunya itu. Tommy terbahak. Ia pun sigap menyambut kain pel itu.
> Nggak papalah sekali-sekali membantu Uda Dian.
>
> ***
>
> "Ayah...sepatu Fajar mana????""  Aduhhhh, bisa terlambat ini.
> Ayaaaaaahhhhh!!!!" teriak Fajar tak sabar. Wajah Dian memerah.
> Dengan gerakan kasar dimatikannya kompor gas yang dengan penggorengan
berisi
> nasi goreng diatasnya. Belum sempat dilangkahkan kakinya  menuju kamar
Fajar,
> tiba-tiba terdengar tangis Senja.
> "Ayahhh.. huhuhu.. tangan Nja gatal, kena nyamuk.. huhuhu...
Ayahhhh..."
> Dian mencoba menarik nafas panjang. Tangannya yang kokoh terkepal
erat-erat.
> Terdengar tangis Bayu dengan nada panjang.
> "Astaghfirullahhh!!!"
> "Ayahhhhh..," fajar dan Senja melengking berbarengan.
> Dian tidak tahan lagi.
> "Diaaaaaaaaammmm!!!" Teriaknya menggelegar.
> Seketika itu sepi. Hanya tangis Bayu yang masih terdengar. Tentunya
karena
> ia belum mengerti apa arti kata "diam".
> Dengan perlahan Dian menghampiri kamar Fajar dan Senja. Didapatinya
> keduanya berdiri mematung. Fajar menatapi dirinya dengan tatapan takut.
> Senja menangis terisak-isak. Ya Allah..ternyata aku tidak sabar
mengurusi
> mereka sendirian...
> Dengan perlahan pula Dian berlutut di hadapan kedua anaknya.
> Dipeluknya bahu keduanya.
> "Maaf.. maafkan ayah sayang.., lain kali kalau minta tolong ayah
satu-satu
> dooong..."
> "Bunda...hik-hik...mana Bunda..? Ayah galak..hik-hik-hik..," rajuk
Senja.
> Fajar masih mematung. Namun tiba-tiba ia melepaskan diri dari pelukan
Dian
> dan berlalu dalam diam. Dian terduduk lemas di tempat tidur
anak-anaknya.
> Senja masih terisak-isak dalam pelukannya.
> Bulan.., oh, betapa aku tidak bisa mengatasi mereka seperti engkau
biasa
> mengatasi mereka. Betapa aku tidak berdaya meghadapi mereka Bulan..
Aku...
>
> ***
bersambung....



>> Mau kenduri di kantor? Perlu nasi tumpeng? klik, http://www.indokado.com  
>> Info balita, http://www.balita-anda.indoglobal.com
Etika berinternet, email ke: [EMAIL PROTECTED]
Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]



Kirim email ke