FW: [daarut-tauhiid] Aa Gymnastiar : KELUARGA TAK BOLEH DIBERI WAKTU "SISA" ----- Original Message ----- From: Arwati Soepanto Nomor 152 Tahun III 02 March 2002 Reporter : Erni Koesworini.Foto : Erni (nakita)
Rubrik Tokoh & Buah Hati Aa Gymnastiar : KELUARGA TAK BOLEH DIBERI WAKTU "SISA" Di tengah kesibukannya, waktu bagi keluarga tetap harus spesial. Sore itu hujan membasahi bumi Gegerkalong Girang, Bandung. Di Mesjid Daarut Tauhiid, ratusan jamaah khusyuk mendengarkan ceramah K.H. Abdullah Gymnastiar (40) atau Aa Gym dalam rangka wisuda santri mukim. Padahal, sebelumnya Aa juga berceramah di beberapa tempat. Tiba di rumah, sejumlah tamu telah menunggu untuk bersilaturahmi. Lalu selepas salat Isya, Aa juga harus berceramah untuk santri umum. Lantas kapan waktu Aa untuk Ummu Ghaida Muthmainnah(35), sang istri, serta keenam anaknya? "Pasti ada. Soalnya, waktu yang berkualitas harus tetap disediakan orang tua untuk anak," papar Pimpinan Pondok Pesantren Daarut Tauhiid. Karena itu pula, seminggu sekali, Aa rutin mengajak 12 anaknya (6 anak kandung dan selebihnya anak yatim, Red) pergi bersama. "Tiap Minggu sore kami pergi bareng. Ke mana saja. Kadang makan rame-rame. Ya, di restoran, di pinggir jalan, di mana saja oke, kok." Saat itu pula dipakainya untuk menasihati anak-anaknya. "Termasuk bicara soal kekurangan mereka selama seminggu itu. Tapi tak boleh ada yang marah. Mereka harus belajar menerima kritik." RAHASIA MENDIDIK ANAK Lalu ayah dari Ghaida Tsurayya (13), M. Ghazi Al Ghifari (11), Ghina Roudhotul Jannah (9), Ghaitsa Zahira Shofa (8), Ghefira Nur Fatimah (5) dan M. Ghaza Al Ghozali (3) ini berujar, anak adalah amanah. "Jadi, sebagai orang tua, saya bertanggung jawab penuh mengantar mereka agar bisa mengarungi hidup secara benar, di jalan yang benar, dan dengan niat yang benar pula." Orang tua, kata Aa, harus sungguh-sungguh meluaskan wawasan pengetahuannya tentang kebenaran. Jangan sampai kasih sayang untuk mendidik anak, diekspresikan dengan cara yang menurut Allah tidak tepat. Rupanya Aa Gym punya rahasia untuk mendidik anak. Yaitu, dengan cara mendidik diri sendiri. "Anak, kan, tak cuma merekam dengan telinga, tapi juga dengan mata, dan melihat yang kita lakukan sehari-hari. Sehebat apa pun nasihat yang diberikan, kalau tidak tercermin dari perilaku kita sehari-hari, hanya akan mementahkan nasihat itu sendiri." Ia juga menekankan, sebaik-baiknya nasihat adalah suri tauladan dan sebaik-baiknya sentuhan adalah dari hati. Karena itulah ia berusaha memberi banyak contoh pada anak-anaknya. "Jadi, cara mendidik anak adalah dengan cara terus-menerus mendidik serta memperbaiki diri sendiri." RELA BAYAR PULSA MAHAL Aa juga berujar, selama ini banyak orang tua yang mendidik anak dengan sisa waktu, sisa tenaga, dan sisa pikiran. "Padahal, apa yang bisa dicapai dengan hanya 'sisa'. Mendidik anak sama pentingnya seperti makan, minum, atau bekerja. Yakni, harus dengan waktu, pikiran, dan tenaga spesial. Tugas orang tualah mengatur waktunya sebaik mungkin." Kendati termasuk orang sibuk, Aa selalu menyempatkan diri berkumpul dengan keluarganya. "Meski cuma 10-20 menit." Untuk anak-anaknya yang masih balita, Aa menyediakan waktu khusus untuk bermain, membelai, atau mendengarkan celoteh mereka. Khusus untuk Ghaza dan Ghefira yang masih balita, "Selalu saya sempatkan berdoa di telinganya. Jadi ada visi di telinganya. Misalnya, 'Ya, Allah, jadikan Ghaza anak yang saleh, anak yang rajin belajar, anak yang sayang kepada ibu dan bapaknya. Anak yang selalu rajin bekerja dan belajar.' Nanti dia yang mengucap amin, amin, amin." Kepada anak-anak yang lebih besar, Aa tidak hanya mendoakan mereka secara khusus, tetapi juga banyak meminta nasihat, apa yang mesti diperbaiki oleh bapak dan ibunya. MENANGIS USAI MENGHUKUM Hukuman pada anak, kata Aa, tetap bisa diberikan. "Tapi bukan dengan cara emosional, melainkan dari hati ke hati. Anak pun akan mengerti, perkataan orang tua adalah demi kebaikan mereka." Ia lalu memberi contoh, terpaksa harus memukul anaknya yang lalai salat. Pukulan itu sendiri, merupakan kesepakatan bersama antara dia dan anak-anak yang sudah besar. Jika ada salah satu anaknya mengaku tak salat, ia pun akan berujar, "Aduh, bagaimana ini? Bapak, kan, harus menjalankan hukuman." Si anak pun mengajak Aa masuk kamar, siap menerima hukuman. "Sambil memeluk si anak, saya minta maaf karena terpaksa memukulnya. Dengan kata lain, hukuman tetap dijalankan meski saya dan anak akhirnya sama-sama menangis. Saya bilang padanya,'Tuh, kan. Kalau begini, Bapak jadi sedih, harus memukul anak sendiri. Bapak sayang sekali, tapi kalau tidak dilakukan, kita dosa karena ini sudah perjanjian kita." BERAKHLAK MULIA Tanggung jawab dan disiplin juga selalu ia terapkan sejak dini pada anak-anaknya. Tidak pandang anak besar maupun kecil, semua ikut terlibat. Misalnya, piket menyiapkan tikar dan perlengkapan salat. Jadwal Ghaza setiap Senin dan Ghefira Selasa. Memang, Ghaza masih dibantu kakak-kakaknya. "Dia senang sekali pada tugasnya itu dan selalu ingat jadwalnya. Sebetulnya, kalau dari kecil anak sudah dibimbing mengenal Allah, mengenal kemuliaan akhlak, misalnya bisa menolong orang, akan sangat bagus." Khusus untuk masalah disiplin dan ketertiban, Aa mencontoh orang tuanya. Itu pula yang diterapkan pada anak-anaknya kendati juga memberi mereka kepercayaan penuh untuk menentukan sendiri langkah yang terbaik. "Saya sangat demokratis. Contohnya, kala anaknya minta mainan berharga ratusan ribu rupiah, "Saya ajak dia berpikir, dengan uang sebanyak itu, ada orang yang bisa makan sekeluarga selama sebulan atau bisa buat bayar sekolah. Bahkan, untuk dapat seratus ribu, orang harus bekerja siang-malam. lalu saya tanya, mana yang lebih baik, punya robot atau uang itu dimanfaatkan dengan lebih baik? Biasanya mereka akhirnya tak jadi membeli." Aa mengaku, tak pernah mengarahkan anaknya harus menjadi ini-itu. "Buat saya, yang penting, anak-anak punya tingkat kedewasaan yang tinggi agar mereka bisa bersikap dewasa dan berakhlak baik. Buat apa jadi begini-begitu kalau akhlaknya tak mulia?" Erni Koesworini.Foto : Erni (nakita)