Kesederhanaan Saudara Kembar Kedamaian Oleh : Gede Prama Setiap kali naik pesawat dari Jakarta ke Solo atau sebaliknya, kerap saya berjumpah Eddie Junaidi - putera mahkota perusahaan farmasi terbesar di negeri ini : Konimex. Satu hal yang amat berkesan dari anak orang kaya yang rendah hati ini, adalah penampilannya yang amat sederhana - terutama untuk ukuran anak pengusaha besar. Suatu hari, kami sama-sama menunggu bagasi. Karena barang saya cukup berat, saya menggunakan porter. Sedangkan Eddie menunggunya tanpa bantuan porter. Tadinya, saya kira barangnya tidak terlalu berat. Eh ternyata lebih berat dan lebih besar dibandingkan punya saya. Sebagai anak orang biasa, terus terang saya dibuat malu oleh kesederhaan model Eddie ini. Dalam sebuah acara diundang menjadi pembicara oleh Aqua Golden Missisipi, saya terbang bersama ke Surabaya ditemani pak Willy Sidarta (orang nomer satu di perusahaan penghasil air minum terbesar di Asia). Ketika mendarat di bandara, saya fikir karena diantar orang nomer satu di sebuah perusahaan besar, kami akan dijemput mobil mewah lengkap dengan supirnya. Sekali lagi saya dibuat heran, pak Willy hanya menyewa sebuah Toyota kijang sederhana dari Toyota Rent Car. Dan yang paling mengagumkan, beliau menyetirnya sendiri. Ken T. Sudarto, salah seorang pendiri dan pemilik Matari Inc. - sebuah perusahaan periklanan yang menjadi pioneer di bidang ini, juga pernah membuat saya kagum. Ketika saya masih menjadi manajer di perusahaan iklan, kerap saya mengenakan baju yang lebih mahal dan mentereng dibandingkan baju pak Ken. Banyak karyawan yang mengagumi kesederhaan beliau berpakaian. Mobilnya, untuk ukuran orang sekaya beliau, masih terlalu sederhana. Terakhir, dalam sebuah kesempatan terbang ke Surabaya saya pernah berbicara dari dekat dengan Gus Dur - yang sekarang sudah menjadi presiden republik Indonesia. Sudah menjadi pengetahuan umum, kalau dari sandal, celana, baju, kaca mata sampai dengan peci sangat dan sangat sederhana. Sebagaimana pernah ditulis Arief Budiman di Kompas, Gus Dur bahkan datang ke pesta pernikahan putera Arief tanpa pernah diundang. Kesederhaannya demikian mengagumkan. Digabung menjadi satu, empat cerita ini membuat saya demikian iri. Ada orang dengan kemampuan beli yang demikian tinggi, kekayaan yang melimpah, kedudukan yang tinggi, tetapi tampil penuh percaya diri dengan kesederhanaan-kesederhanaannya. Ini mengingatkan saya ke sebuah buku dengan judul When Is Enough Enough. Dengan tingkat kontrol dan pengendalian diri yang rendah, cukup memang tidak akan mengenal rasa cukup. Uang tidak pernah mengenal batas jumlah. Rumah tidak pernah ada batas sempurnanya. Mobil selalu saja disusul dengan model yang lebih baru dan lebih bagus. Sekolah kemanapun selalu ada rasa kurang. Orang dengan tingkat pengendalian diri yang minimal ini, sebenarnya mirip dengan berlari mengejar bayangannya sendiri. Semakin dikejar semakin lari. Kita diam dia diam juga. Energi habis tidak untuk mencapai tujuan, tetapi habis untuk mengikuti nafsu yang tidak terkendali. Kedamaian, dalam hal ini, menjadi bayangan yang lari setiap kita kejar. Padahal, ia ada di sini, dalam cara kita hidup dan menikmati kehidupan. Meminjam argumen Benjamin Hoff dalam The Tao of Pooh, 'When you work with Wu Wei, you put the round peg in the round hole and the square peg in the square hole. No stress, no struggle. Dengan kata lain, dalam pilosopi Wu Wei semua sudah ada tempatnya. Tidak ada pemaksaan-pemaksaan berlebihan sebagaimana ilmu yang penuh dengan kepintaran, rekayasa dan nafsu lainnya. Saya tidak tahu apa yang ada di benak empat orang yang saya ceritakan di awal tulisan ini, namun mereka yang berkejaran dengan bayangannya sendiri, sering kali dibuat kehabisan energi oleh kepintaran-kepintarannya. Lengkap dengan kepongahan ilmu pengetahuan, semua mau dihitung, diprediski, diarahkan. Hasilnya, pemaksaan yang berujung pada kerumitan-kerumitan hidup. Di bagian lain buku Benjamin Hoff yang sederhana namun menggugah ini, Hoff menulis : flows like water, reflect like a mirror, and respond like an echo'. Mengalir seperti air, memantul seperti cermin dan berespons seperti eho. Alangkah damainya kesederhanaan model Hoff ini !. Sayangnya, di zaman yang mengagungkan kepintaran, kecerdasan, iptek dan sejenis ini, kesederhanaan dan kedamaian ala Hoff ini sudah serupa kebodohan. Tidak sedikit orang yang menyebut kesederhaan seperti Eddie, pak Willy, pak Ken dan Gus Dur sebagai kebodohan dan ketidaktahuan dalam menikmati kehidupan. Ada juga yang menyebutnya dengan 'rugi besar' karena kaya namun sengsara. Ada bahkan yang mengatakan 'kasihan', sebab uang tidak bisa dibawa mati. Lepas dari ini semua, mirip dengan Benjamin Hoff, saya meyakini tanpa kesederhanaan - dalam arti luas - kedamaian akan amat jarang berkunjung. Kedamaian akan bersahabat dengan mereka yang mengalir ikhlas bersama 'sungai' kehidupan masing-masing. Seperti bunyi sebuah pilosopi Jawa : mengalir tetapi tidak hanyut. Saya memang belum sehebat empat orang di atas dalam hal kesederhanaan. Masih suka memakai mobil bagus, jam tangan mentereng atau baju mengkilap. Ada saatnya kelak, begitu energi perlawanan terhadap aliran 'sungai' kehidupan melemah, saya akan bergandengan dengan sepasang saudara kembar : kesederhanaan dan kedamaian. >> Pusing milih POP3 atau web mail? mail.telkom.net solusinya << >> Belanja Info & Keperluan Balita? Klik, http://www.balitanet.or.id >> Info balita, http://www.balita-anda.indoglobal.com Etika berinternet, email ke: [EMAIL PROTECTED] Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]