Pengalaman Sejati >> Arsip Pengalaman Sejati <arsip.php3?kategori=7> 



Anakku Menderita Authisme, Adakah Masa Depan Untuknya ?

Selasa, 23 May 2000 11:38:32 WIB pdpersi, Jakarta - Bocah itu bernama Ardiyus Hidayat. 
Dia Lahir di Jakarta. September nanti genap berusia 10 tahun. Mestinya, seperti 
bocah-bocah lain seusianya, setiap malam belajar atau mengerjakan PR dari sekolah. 
Namun, jangankan belajar atau mengerjakan PR, menulis dan membaca saja dia tak mampu. 
Ketidak normalan perkembangan Ardi -- bocah ini biasa dipanggil -- tentu saja 
menyemburatkan derita hati Juju Fita Sahir (36), si ibunda bocah itu. Berikut 
penuturan Juju, yang malam itu ditemani suaminya Anton Manansang (38), dan 
anak-anaknya, kepada pdpersi Aku tak merasakan adanya kelainan, ketika anakku masih 
dalam kandungan. Semuanya berjalan normal. Makanku setiap hari pun cukup gizi. Bahkan, 
mungkin lebih. Dia calon anak pertama kami, tentu kami berupaya memberikan yang 
terbaik untuknya. Aku mengharapkan dia lahir dan tumbuh menjadi anak yang sehat dan 
cerdas. Dan kelak, menjadi seorang yang berguna dan berbakti pada orang tua. Ketika 
lahir sampai bulan-bulan awal kehidupan Ardi, semuanya berlangsung normal. Saat 
berusia tujuh bulan, dia sempat ngoceh, dan bermain dengan dunianya sendiri. Memainkan 
jari-jari tangannya yang lentik, atau kakinya. Perkembangan dalam berjalan pun sesuai 
umurnya. Pada usia satu tahun tiga bulan, Ardi sudah bisa berjalan. Saat itu, aku 
pikir dia baik-baik saja. Kelainan pada Ardi mulai tampak saat berusia satu tahun. Dia 
betah berjam-jam menatap sesuatu benda yang panjang. Seperti meja panjang yang 
berderet-deret atau tanaman di pagar rumah. Tak seperti bayi lainnya, dia tampak agak 
pasif. Dia sering berdiam saja. Tidak ada inisiatif untuk berbuat sesuatu. Saat itu 
aku tidak curiga dengan perilaku Ardi. Namun, keheranan mulai mencuat, ketika bocah 
ini berusia dua tahun. Dia belum juga bisa bicara. Padahal, biasanya anak berusia 
sepuluh bulan sudah bisa memanggil "Mama" atau "Papa". Lalu aku membawa Ardi ke 
seorang dokter telinga, hidung, tenggorokan (THT) . Saat diperiksa, semuanya 
dinyatakan normal. Anakku tidak tuli, berarti tidak mungkin dia tidak bisa bicara. 
Usai dari dokter THT, anakku periksakan ke dokter anak di dekat rumah. Menurut dokter, 
anak yang terlambat bicara adalah hal yang biasa. Mendengar penuturan dokter itu, aku 
sempat lega. Aku kembali sibuk dengan rutinitasku sebagai guru taman kanak-kanak (TK). 
Namun, ketika berusia dua tahun enam bulan, anakku itu belum juga bisa bicara Aku 
mulai panik. Bagaimana tidak panik? Adiknya, Arlianus Hidayat, saat berusia hampir 
satu tahun, sudah bisa bicara. Mengapa Ardi belum? Tanyaku dalam hati. Tambahan lagi, 
kakak-kakak mendorongku untuk memeriksakan Ardi lebih teliti lagi. Vonis autisme 
Penasaran dengan ketidakmampuan anakku bicara, aku periksakan ke seorang dokter anak 
yang juga neurolog. Di sana, dia dites perkembangannya. Sekitar seminggu kemudian, aku 
mendapat keterangan, ternyata Ardi menderita autisme. Di tahun 1993 itu, penyakit 
autisme masih sangat langka. Bahkan kebanyakan guru dan dokter pun, saat itu tidak 
mengerti tentang autisme. Apalagi aku, yang hanya seorang guru TK, sedikit pun tak 
mengerti tentang autisme. Setelah anakku divonis menderita autisme, kebetulan ada 
sebuah tulisan tentang penyakit itu di salah satu surat kabar. Aku terhenyak 
membacanya. Ciri-cirinya sama dengan anakku. Aku tak bisa membayangkan, bagaimana 
perasaanku waktu itu. Aku sangat marah, bahkan sampai menghujat Tuhan. Setiap hari aku 
menangis. Aku merasa Tuhan memperlakukanku dengan ketidakadilan. Mengapa Tuhan 
memberiku anak yang autisme? Padahal, ketika mengandung Ardi, hampir seluruh waktu 
kugunakan untuk melayani Tuhan. Aku memimpin paduan suara remaja di Gereja. Ikut 
paduan suara umum. Sebagai pianis, organis, bahkan koreografer. Pendek kata, aku 
betul-betul menghujat Tuhan saat itu. Aku mulai bisa menerima keadaan setelah enam 
bulan berlalu. Kucoba mencari jalan keluar. Dokter yang memvonis anakku autisme memang 
tidak memberi penjelasan lebih banyak. Dia cuma bilang, Ardi mengalami keterlambatan 
bicara, sulit berkomunikasi, dan sulit bersosialisasi. Lalu dokter itu menyarankan 
agar aku mencoba memasukkan Ardi ke playgroup, untuk menggali potensi yang dimiliki. 
Kalau tidak berhasil, aku dianjurkan membawa dia kembali untuk terapi perkembangan. 
Sesuai saran dokter, aku coba menyekolahkan dia di salah satu playgroup, tapi ternyata 
sia-sia. Ardi tidak mengikuti pelajaran. Dia asyik dengan diri dan dunianya sendiri. 
Main, diam, dan menatap sesuatu lama-lama. Tidak perduli dengan keadaan sekelilingnya. 
Kadang dia berbaring di tengah-tengah kelas, memainkan kapur, atau berjalan 
mondar-mandir tak ada tujuan. Berharap dapat mengobati penyakitnya, Ardi aku bawa ke 
sebuah terapi perkembangan anak. Namun, aku hanya sanggup mengupayakan terapi itu 
selama enam bulan. Banyak kendala yang aku alami. Yang paling utama adalah faktor 
keuangan. Bayangkan, biaya terapi selama satu jam, berkisar Rp 20.000 sampai Rp 
30.000. Uang sebesar itu, waktu itu cukup besar menurutku. Tak heran, aku sampai 
pinjam uang ke teman-teman. Kendala lain, rumahku jauh. Dan ketika tiba di tempat 
terapi, Ardi sudah kelelahan. Dia tidak konsentrasi lagi untuk diterapi. Akhirnya aku 
tidak sanggup lagi. Tak sanggup secara materi dan juga tenaga. Jalan lain pernah pula 
aku tempuh. Karena menurut dokter, penyakit Ardi berhubungan dengan saraf di otak 
kecilnya. Suatu ketika aku membawanya ke pijat refleksi. Tapi setelah dua kali ke 
situ, aku kasihan padanya. Dia kesakitan dengan cara pengobatan seperti itu. Yang 
membuat aku sangat prihatin, Ardi tidak bisa bicara. Kalau ingin meminta sesuatu, dia 
hanya memberi isyarat atau menangis. Aku tidak tahu kapan dia bisa sembuh. Atau 
mungkin dia tidak akan sembuh, aku tidak tahu. Dan melihat kondisi Ardi yang tidak 
mungkin hidup secara normal, aku dan suami sepakat memberikan adik lagi untuknya. 
Maka, lahir anakku yang ketiga, Arvinius Hidayat (November mendatang genap 3 tahun). 
Aku sengaja menyiapkan Arli dan Arvin untuk membimbing dan melindungi Ardi. Sejak 
kecil, aku memang selalu menanamkan kepada Arli, agar dia sayang kakaknya dan selalu 
melindungi kakaknya. Syukurlah, aku berhasil. Arli sangat menyayangi kakaknya. Terapi 
tidak menentu Di masa Ardi balita, penderita autisme memang sangat jarang. 
Lembaga-lembaga penyelenggara terapi perkembangan pun sangat sedikit. Ditambah rumah 
yang jauh dan keuangan kami yang tidak memadai, akhirnya Ardi tumbuh dan berkembang 
dengan terapi yang tidak menentu. Kadang diterapi beberapa bulan, lalu vakum beberapa 
bulan. Begitu terus, sampai dia membentuk dirinya sendiri, lewat dunia kecilnya yang 
sendiri. Sampai saat ini, di usianya yang hampir 10 tahun, dia tetap asyik dengan 
dirinya sendiri. Dia suka sekali bermain-main dengan air yang memancur lewat kran. 
Sambil tergelak-galak Ardi menangkap-nangkap air, dan ketika air itu pecah, dia 
bersorak girang. Dingin yang menyergap tak dirasakannya. Dia terus bermain, sendirian. 
Kadang sampai malam hari. Ardi juga suka menyusun balok-balok atau memain-mainkan 
sumpit, sedotan, atau aluminium voil. Dia juga suka berputar dengan satu kaki. Kalau 
orang normal, mungkin 5-10 kali putar sudah pusing, tetapi Ardi, 20 kali putar dengan 
gerakan yang cepat, tidak mengalami sesuatu. Kegiatan-kegiatan itu, setiap hari dia 
lakukan sendiri, tanpa melibatkan orang lain, termasuk adik-adiknya sendiri. Sejak dua 
bulan lalu, Ardi kembali aku ikutkan terapi. Kebetulan, di dekat rumah ada seorang 
terapis. Ardi mulai diajarkan pengenalan diri sendiri (PNDS). Misalnya, mengenal 
rambut, hidung, mulut. Dia juga sudah mulai bisa membedakan warna. Menyusun 
balok-balok sesuai warnanya. Dan mulai belajar mengenakan pakaian. Aku sudah pasrah 
dengan kondisi Ardi yang seperti itu. Rasanya mustahil membuat dia menjadi normal. 
Dalam anganku, dia bisa sekolah formal, tapi tampaknya sangat susah. Harapan itu, 
semakin dipupuk rasanya kian pupus. Aku tidak tahu, adakah masa depan untuknya? 
Seorang sarjana saja sulit memperoleh pekerjaan di zaman sekarang ini. Apalagi dia, 
yang terlalu asyik dengan dirinya sendiri. Yang penting saat ini, untuk Ardi, aku 
harus melatih kemandiriannya. Kemandirian dalam arti mengurus dirinya sendiri, 
misalnya berpakaian dan makan. Supaya dia tidak menyusahkan orang lain. Aku pernah 
berdoa, kalau Tuhan mengizinkan, jangan "panggil" aku dan suamiku, sebelum Ardi 
mandiri. Kalaupun Tuhan mau memanggil, panggillah Ardi lebih dulu. Aku juga selalu 
berdoa, mudah-mudahan adik-adiknya mendapat pasangan yang bisa mengerti keadaan 
kakaknya. Sampai saat ini aku tidak pernah tahu, apa yang menyebabkan anakku menderita 
autisme. Ketika hamil anak ke empat, Archel Hidayat (Juli mendatang 1 tahun), oleh 
dokter kandungan aku sempat ditanya soal pemeriksaan virus toksoplasma dan kemungkinan 
terinfeksi rubella. Menurut dokter itu, terinfeksi toksoplasma atau rubella dapat 
menyebabkan cacat pada anak, atau malah gangguan metabolisme otak. Empat kali hamil, 
aku memang tidak pernah berfikir ke situ. Sebab pemeriksaan toksoplasma maupun rubella 
biayanya mahal sekali. Tapi, karena pertanyaan dokter itu, aku sempat menduga, 
mungkinkah ketika mengandung Ardi, aku terkena toksoplasma atau rubella? Entahlah. 
Yang jelas, sampai saat ini aku tak pernah tahu jawabnya. Hanya aku terus berpikir, 
mungkin Tuhan sedang memberikan kasih pada anakku, dengan menitipkan Ardi seperti yang 
Ia maui. Lisda Yulianti H

Kirim email ke