GATRA.com - DAVID Putra Valentin tampak gembira. Sesekali anak enam tahun itu melompat-lompat dan tertawa riang. Pujo Sasongko, ayahnya, ikut senang melihat tingkah David di pusat bermain video game di Plaza Surabaya itu. Tiap bulan, David dua kali menyambangi berbagai arena permainan video. Tak hanya itu. Di rumah, bocah yang bermain game sejak usia tiga tahun itu juga hampir tiap hari bermain. ''Lebih cepat menangkap permainan baru dibandingkan dengan pelajaran di sekolah,'' katanya. Pujo tak keberatan anaknya main game. ''Yang penting bisa mengatur waktu,'' katanya. Menurut ayah berusia 33 tahun itu, bermian game diperlukan untuk menghilangkan kejenuhan dan kelelahan mental. ''Anak yang dilarang bermain, perkembangan otaknya kurang baik, bisa bimbang dalam berpikir, gelisah, dan kurang pergaulan,'' katanya kepada GATRA. Benarkah? Profesor Ryuta Kawashima dari Tohoku University, Jepang, rupanya penasaran juga dengan tesis seperti itu. Ia lalu meneliti tingkat aktivitas otak anak yang sedang bermain video game. Dengan harapan, hasil penelitiannya dapat dijual ke kalangan industri video game. Kawashima menduga, hasil penelitiannya bisa memberi jaminan pada para orangtua bahwa ada keuntungan tersembunyi dengan membiarkan anak bermain video game berjam-jam. Ia lantas membandingkan aktivitas ratusan anak yang bermain Nintendo dengan mereka yang melakukan rangkaian uji matematika ringan, atau dikenal dengan nama tes Kraepelin. Selama setengah jam, seorang anak disuruh menjumlahkan angka terus-menerus. Sang anak diberi dosis kecil obat radioaktif agar komputer bisa membaca peta otak saat melakukan aktivitas. Kawashima menggunakan peranti canggih pencacah otak, magnetic resonance images. Hasilnya mengejutkan. Para bocah pemain game hanya menunjukkan aktivitas otak yang berhubungan dengan visi dan gerakan. Sedangkan pada kelompok bocah lain, bagian depan otak (frontal lobe, berhubungan dengan belajar, daya ingat dan emosi) mereka, belahan kiri dan kanannya, aktif. Padahal, biasanya, belahan kiri aktif saat melakukan kegiatan matematis, sedangkan belahan kanan otak dirangsang oleh kegiatan yang lebih kreatif. Latihan aritmatika itu, menurut Kawashima, juga membuat otak lebih aktif dibandingkan dengan saat mendengarkan lagu. Tapi, membaca dengan suara keras, lanjutnya, membuat otak bagian depan lebih aktif ketimbang sekadar mendengar. Yang mengkhawatirkan dari temuan itu, frontal lobe berperan penting dalam perilaku orang. Saat seseorang melakukan kontrol diri, apakah akan melakukan sesuatu yang jelek atau tidak, otak bagian itulah yang bekerja keras. Anak-anak biasanya melakukan sesuatu yang tidak seharusnya, menurut Kawashima, karena frontal lobe-nya sedang tumbuh. Bagian depan otak itu tumbuh sejak lahir hingga anak berusia 20 tahun. Makin banyak otak bagian ini dilatih saat pertumbuhannya, makin bagus kemampuan anak untuk mengontrol perilaku. Nah, di sini masalahnya. ''Video game menghentikan proses pertumbuhan otak, dan berpotensi menurunkan kemampuan mengontrol perilaku antisosialnya,'' kata Kawashima pada harian Inggris The Observer, 19 Agustus lalu. Kawashima pekan lalu berada di Inggris untuk sebuah konferensi tentang pendidikan pribadi. ''Kita akan menghadapi masalah dengan generasi baru ini, yang tidak pernah kita hadapi sebelumnya,'' katanya. Implikasi permainan tersebut pada anak-anak, akan meningkatkan jumlah anggota masyarakat yang suka pada kekerasan. ''Anak-anak itu akan melakukan lebih banyak hal-hal yang merusak jika terus-menerus bermain video game dan tidak melakukan hal lain, seperti membaca dengan keras atau belajar matematika,'' katanya. Kesimpulan Kawashima disetujui doktor psikologi Seto Mulyadi. ''Sangat masuk akal, dalam video game anak dibombardir dengan gerakan tendangan dan memukul,'' kata anggota Komisi Nasional Perlindungan Anak berusia 50 tahun itu. Menurut Seto, jika kurang diimbangi dengan kegiatan sosial, kerja sama, dan berkelompok, ego anak akan menonjol. Terlebih bila dibom dengan video game. ''Perilakunya akan mengarah pada kekerasan,'' katanya. Bermain game beberapa jam tiap hari, menurut dia, sudah termasuk mengkhawatirkan. ''Kalau hanya Sabtu dan Minggu, bisa lebih baik,'' katanya. Dani Hamdani dan Rita Triana Budiarti [Perilaku, Gatra Nomor 41 Beredar 27 Agustus 2001] >> Kirim bunga dukacita, ucapan selamat dll ke mancanegara? Klik, >http://www.indokado.com/international/ >> Info balita, http://www.balita-anda.indoglobal.com Etika berinternet, email ke: [EMAIL PROTECTED] Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]