terimakasih untuk pak Ibnu Qosim atas informasi Kompas-nya, berikut saya copykan supaya bisa terbaca rekan yang mungkin tidak bisa buka . --------- MOM Mommy ... oh dear, You make us have opinion, Have a dream like a king of bear. You treat us to be a leader, You train us to be a champion, You make us confidence that, We trust we can collaborate in the world. Oh dear mom ... you look tired, You spent too much energy, You teach us like unbelievable teacher, You try your best warrior with samurai from ... Kisah Sukses Penyandang Autis Penggalan puisi berbahasa Inggris dengan judul Mom ini dibuat Jefferson Isaac Timotiwu saat berusia enam setengah tahun. Kedalaman puisi itu membuat orang tidak menyangka bahwa Jeff seorang anak autis, dengan tingkah laku tidak terkendali dan tidak lancar bicara. Salah satu puisinya bahkan mendapat penghargaan lima besar dalam "World Poet Contest" di Washington DC, AS, Agustus 2000 lalu. Kesempatan itu pula digunakan Jeff dan orangtuanya untuk menjajaki kemungkinan sekolah di AS. Hingga kini Jeff masih di AS menunggu proses wawancara, evaluasi, dan pembahasan para pakar dalam menentukan program pendidikan yang sesuai untuknya. "Saat mendaftar sekolah, para pakar tertarik dengan kecerdasan Jeff. Pendidikan Jeff akan dibiayai Pemerintah AS," tutur John Joel Timotiwu, ayah Jeff. Kecerdasan Jeff membuatnya berhasil loncat kelas beberapa kali. Seharusnya tahun ini Jeff yang lahir 23 September 1993 naik ke kelas II SMP, tetapi ia menolak karena menganggap pelajaran sekolah terlalu membosankan. Di sisi lain, sekolah-sekolah yang pernah dimasuki Jeff kewalahan menanganinya. "Jeff mampu membahas dan menganalisis masalah politik, ekonomi dan berhitung aritmatika seperti perkalian dan akar, dengan tingkat kesulitan tinggi dan cepat. Gurunya belum selesai memencet kalkulator, dia sudah menuliskan jawabannya," kata John Timotiwu, yang bekerja di sebuah perusahaan peralatan kedokteran, yang berpusat di Singapura. *** SELAMA ini Jeff berkomunikasi lewat tulisan. Ibunya, Ny Juwita, menjadi penghubungnya dengan dunia luar. Hal itu membuat sejumlah orang tidak percaya akan kemampuan Jeff, disangka semua hasil jawaban ibunya. Namun Prof Dr Conny R Semiawan, guru besar Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta yang menanganinya sejak Agustus 1998, tahu betul kemampuan Jeff sebagai anak berbakat. "Berbeda dengan anak autis pada umumnya, di luar segala keterbatasannya, Jeff mampu menembus dunia di luar dirinya, kadang-kadang dia seperti mengetahui hal-hal yang belum diketahui sebelumnya. Pikirannya sangat dalam, seperti orang tua dalam tubuh anak kecil. Hal itu tercermin dalam puisi-puisinya, tentang Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid-Red), Sultan Brunei, gerakan mahasiswa, serta orang-orang di sekitarnya, juga jawabannya jika ditanya," papar Conny. Untuk mengetes kemampuannya, Conny pernah memberikan ensiklopedi kepada Jeff. Ia hanya membolak-balik halaman 10 menit. Namun ketika ditanya, mampu menjawab semuanya. Jeff juga mampu berbahasa Inggris tanpa ada yang mengajari. Bakat Jeff ditemukan secara tak sengaja oleh guru Bahasa Indonesia di SMP Triguna (Jakarta Selatan). Saat Jeff mulai bosan di kelas dan bertingkah hiperaktif, gurunya minta Jeff menulis puisi, tentang apa saja. Puisi pertamanya tentang gerakan mahasiswa. Dalam menangani Jeff, Conny menerapkan terapi humanistik. Yang lebih longgar, fleksibel, lebih penuh kasih sayang dibanding metode Lovaas. "Dasarnya ikatan yang kuat antara orangtua dan anak. Memperlakukan anak sebagaimana anak lain. Diberi kesempatan untuk menyatakan diri sesuai kecepatan pikirnya, sehingga anak terdorong, termotivasi dan mempunyai rasa percaya diri," jelas Conny. Conny yang masih aktif sebagai Ketua Komisi Disiplin Ilmu Pendidikan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional, mengakui belum ada kebijakan pendidikan bagi anak autis di Indonesia. Karenanya, masyarakat harus bergerak; menuntut pemerintah mengadakan peraturan mengenai hal itu. *** CONTOH nyata keberhasilan penyandang autis juga dipaparkan Tina (bukan nama sebenarnya) di sebuah pertemuan para orangtua anak penyandang autis. Sebagai penyandang autis, Tina mengaku mampu menyelesaikan pendidikan D3 Ekonomi, bersuami, memiliki seorang anak, dan kini memimpin perusahaan kayu milik suaminya. Sejak kecil, katanya, dia mengalami kesulitan bernapas dan sering kejang. Tidak pernah tertawa maupun menangis. Baru bisa bicara dan berjalan normal di usia empat tahun. Di TK ia lebih senang duduk di bawah meja dan menangis, sehingga dianggap aneh oleh teman-temannya dan sering dimarahi guru. Hal yang membantunya survive adalah kasih sayang dan kesabaran orangtuanya. Selain itu Tina banyak dibimbing tantenya, pengajar les privat yang selalu mengajak Tina setiap kali memberi pelajaran. Tina mengaku baru mengenal emosi saat kelas V SD. Sebelumnya ia tidak bisa membedakan menangis, tertawa, dan marah. Sampai kini kadang-kadang tanpa sadar Tina berjalan jinjit atau asyik dengan dunianya sehingga tidak mendengar kalau dipanggil. Kasus Jeff dan Tina setidaknya bisa memberi harapan bagi para orangtua anak penyandang autis, bahwa hambatan yang disandang anak bukan akhir dari segalanya. (p10/atk) Sumber Kompas : http://www.kompas.com/kompas-cetak/0009/26/IPTEK/index.htm >> Kirim bunga ke-20 kota di Indonesia? Klik, http://www.indokado.com >> Info balita, http://www.balita-anda.indoglobal.com Etika berinternet, email ke: [EMAIL PROTECTED] Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]