Aya tulisan di Kompas,  Rebu, 12 April 2006
Kumaha tah.....?

"The End of Sunda" dalam Politik Indonesia Modern

MOEFLICH HASBULLAH

Adanya Kerajaan Tarumanagara dan Kerajaan Sunda, yaitu Galuh, Pakuan
Padjadjaran dan Sumedang Larang, membuktikan, sejak awal masehi
masyarakat Sunda mengenal tradisi kekuasaan dan politik yang cukup
stabil dan panjang.

Kerajaan Tarumanagara adalah salah satu kerajaan tertua yang terletak
di Tatar Sunda. Dari naskah Pustaka Pararatwani Bhumi Jawadwipa,
diketahui, kerajaan itu berdiri dari abad ke-4 hingga abad ke-7, dan
mengalami 12 kali pergantian raja.

Kerajaan Sunda Hindu runtuh tahun 1579 oleh kekuatan Islam, yang
semakin tidak terbendung dari arah Banten dan Cirebon. Dari bentang
usia kerajaan, pengalaman politik Sunda telah berlangsung 14 abad.
Yang menarik adalah mencermati tradisi berkuasa Sunda dalam konstalasi
politik Indonesia modern pascakolonial. Sering muncul gugatan di
kalangan masyarakat Sunda, mengapa orang Sunda relatif tidak
berpengaruh dalam percaturan politik nasional pascakemerdekaan?
Mengapa muncul asumsi kuat dan populer dari para pengamat asing
tentang Indonesia hingga tahun 1990-an, bahwa memahami Indonesia harus
memahami Jawa?

Sejak abad ke-17, dominasi kerajaan Sunda digantikan kerajaan Islam
Cirebon dan Banten. Pascakemerdekan, warisan faham dan nilai-nilai
kekuasaan Sunda tidak menemukan refleksinya dalam sejarah negara
modern Indonesia.

Sepanjang 20 tahun kekuasaan Orde Lama dan 32 tahun Orde Baru, seperti
disinyalir Benedict Anderson (1990), Indonesia merupakan refleksi dan
manifestasi dari faham kekuasaan Jawa.

Transformasi

Sejak masa Hindu sampai Islam, pusat kekuasaan di Sunda terkonsentrasi
pada keraton atau istana kerajaan. Terpusatnya kekuasaan di keraton
ini seperti tercermin dari istilah murbawisesa (pemegang kekuasaan
tertinggi), ngawula kanu kawasa (mengabdi pada yang berkuasa), kawula
gusti, dewa raja dan lain-lain. Raja adalah segalanya, dan raja tidak
pernah salah.

Masuknya VOC dan kuatnya kekuasaan Belanda menghancurkan struktur
kekuasaan tradisional. Sejak 1684 seluruh daerah Sunda ditaklukan, dan
sejak 1830 seluruh Jawa berada dalam kontrol pemerintah kolonial
Belanda. Sejak itulah, struktur dan pusat-pusat kekuasaan tradisional
mengalami krisis, dan keruntuhannya.

Penguasaan dan kontrol kolonial bersifat tidak langsung. Belanda
memerlukan "kelas menengah" dari kelompok menak Sunda, yang menjadi
penghubung antara Belanda dan rakyat jajahan. Muncullah kelompok elite
birokrat tradisional pribumi dalam masyarakat Sunda, yaitu bupati dan
pangreh praja. Maka, runtuhnya kekuasaan tradisional Sunda (dan juga
Jawa) tidak berarti hapusnya sisa kekuasaan tradisional.

Bupati sebagai elite pribumi berkuasa memimpin masyarakat. Namun,
sesuai perubahan struktur politik, para bupati ini melepaskan
kesetiaan dan keterikatannya sedikit demi sedikit pada pusat-pusat
kekuasaan tradisional, yaitu keraton. Selain itu, mengubah
kesetiaannya dengan mengintegrasikan dirinya pada penguasa yang baru.

Pergerakan nasional

Sampai di sini, struktur dan sejarah kekuasaan tradisional, baik di
Sunda maupun di Jawa relatif sama. Yang kemudian berbeda adalah pada
periode selanjutnya, yaitu seiring dengan perubahan fungsi para
pejabat pangreh praja.

Para pejabat pangreh praja tidak hanya penghubung antara kaum pribumi
dan penguasa Belanda. Mereka telah menjadi lapisan elite masyarakat
tersendiri yang terus berkembang. Mereka menjadi katalisator terhadap
tuntutan dan aspirasi baru di kalangan mereka akibat perubahan
struktural dan kebijaksanaan politik etis. Selain itu, juga menjadi
wadah munculnya gerakan-gerakan bersifat institusional, serta menjadi
ujung tombak perubahan-perubahan sosial.

Karena fungsi yang berkembang itu, pangreh praja menjadi agen
modernisasi bagi kelompok pribumi. Mereka mendapat hak privilese pada
dunia pendidikan modern, seperti STOVIA, HIS dan HBS. Dari 743 orang
murid yang bisa bersekolah di STOVIA Batavia pada tahun 1875-1904,
misalnya, hampir semuanya anak pangreh praja. Para lulusan pendidikan
modern sekolah Balanda inilah yang kemudian menjadi aktivis pergerakan
nasional, dan pemimpin nasional, seperti Soekarno, Hatta, Gatot
Mangkuprojo, Subardjo, Soetomo, dan Dokter Tjipto Mangunkusumo.

Para aktivis pergerakan nasional ini yang kemudian menjadi para
pemimpin negara Indonesia, baik masa Orde Lama maupun Orde Baru. Para
pemimpin di puncak tertinggi itu sebagian besar berlatar belakang
budaya Jawa. Mereka merefleksikan nilai-nilai kekuasaan yang mereka
hayati dan internalisasi semenjak kecil ke dalam eksperimen negara modern.

Dalam fase historis inilah tokoh-tokoh Sunda, dan yang berorientasi
kesundaan, nyaris tidak terdengar. Di sinilah ketiadaan jejak politik
dan hilangnya tradisi kekuasaan Sunda dalam era modern teridentifikasi.

Hilangnya peran generasi Sunda dalam kancah pergerakan nasional dan
kepemimpinan Indonesia pascakemerdekaan terjadi dari produk kontes
politik yang alami. Mungkin karena sumber daya manusia, jumlah
penduduk, khazanah kekayaan historis, atau nilai-nilai kekuasaan Sunda
memang tidak mewariskan kebesarannya.

MOEFLICH HASBULLAH
Mahasiswa S-3 Jurusan Sejarah, Universitas Indonesia, Depok


Baktos,

Ag./bdg





http://groups.yahoo.com/group/baraya_sunda/

[Ti urang, nu urang, ku urang jeung keur urang balarea]




SPONSORED LINKS
Spanish language and culture Indonesian languages Indonesian language learn
Indonesian language course


YAHOO! GROUPS LINKS




Kirim email ke