Kaamanatan ku nu nyeratna, sakumaha anu kungsi disabit dina buku ngeunaan
Otis. Nyanggakeun artikel tina Pikiran
Rakyat.<http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=103065>
Memetakan Sejarah Peta

Sejarah patriotisme bangsa Indonesia dipicu oleh semangat membela tanah air
dari cengkeraman penjajah. "Berjuang sampai titik darah penghabisan" adalah
kalimat sakti yang mampu membakar semangat rakyat Indonesia. Jika hari-hari
ini kita begitu risau dengan tindakan negara tetangga yang "macam-macam"
mengganggu kedaulatan Indonesia, itulah pertanda masih adanya patriotisme
kita. Sejarah mencatat bahwa salah satu cikal bakal tentara nasional kita
adalah tentara Pembela Tanah Air (Peta). Dalam rangka memperingati HUT ke-64
Tentara Nasional Indonesia (TNI), Pikiran Rakyat menyajikan laporan Iip D.
Yahya, Periset Sejarah dan Penulis, mengenai Peta. Dirgahayu TNI. Selamat
membaca.

* *

Menelaah masa-masa prakemerdekaan selalu membangkitkan heroisme kita.
Kalimat "berjuang sampai titik darah penghabisan" itu masih terasa sangat
menggugah. Bangsa Indonesia yang selama era kolonial Belanda "kurang"
melakukan perlawanan, pada masa pendudukan tentara Dai Nippon (Jepang),
telah menemukan momentum. Hanya satu kata: merdeka! Dan untuk merdeka itulah
semua strategi perjuangan diterapkan.

Para founding fathers kita rela "papaehan" pura-pura hanyut dalam irama Dai
Nippon, padahal di balik itu secara cerdik mereka mampu menentukan irama
perjuangannya sendiri. Realitas saat itu Jepang memang sangat berkuasa, maka
kolaborasi adalah suatu keniscayaan. Salah satu hasil kolaborasi itu adalah
lahirnya tentara Peta (Pembela Tanah Air).

Tentara Peta adalah hasil dari proses negosiasi bangsa Indonesia dengan Dai
Nippon. Dalam suatu negosiasi tentu berujung pada kompromi. Dalam kaitan
antara keinginan Nippon untuk membentuk pasukan pendukung dalam melawan
sekutu di garis belakang (home front) dan hasrat meraih kemerdekaan di
kalangan pemimpin Indonesia, Peta lahir sebagai kompromi.

Bangsa Indonesia jadi punya kesempatan untuk bisa melatih para pemudanya
menjadi prajurit tanah air. Ini merupakan lompatan sejarah. Sebuah lompatan
mental. Marwah atau kebanggaan sebagai sebuah bangsa melonjak drastis.
Semangat meraih kemerdekaan meluap-luap. Masyarakat dalam waktu singkat
dilanda api perlawanan terhadap penindasan. Sesuatu yang tak terbayangkan
akan terjadi dalam era Hindia Belanda.

Berbagi Peran

Membaca sejarah Peta memberikan inspirasi bagi kita bahwa adanya pembagian
peran di antara para founding fathers bangsa ini. Bahwa kemerdekaan
Indonesia bukanlah jasa orang per orang atau kelompok dan golongan tertentu
saja. Semua pihak memberikan andil sesuai perannya masing-masing. Tetapi
bahwa setelah kemerdekaan diraih, ada pribadi dan kelompok yang tersisihkan,
termasuk dalam catatan sejarah, itu adalah soal lain. Seperti selalu terjadi
dalam setiap "perjuangan" Pemilu, bersatu ketika kampanye, bertengkar
setelah menang atau kalah.

Pada masa pendudukan Jepang, secara umum elite Indonesia terbagi dalam dua
kelompok besar, nasionalis (termasuk di dalamnya sekuler dan non-Muslim) dan
Islam (santri). Ketika surat Gatot Mangkupradja (7 September 1943) disambut
baik oleh Saikoo Sikikan, maka pada 13 September 1943, sepuluh ulama yang
mewakili umat Islam di Jawa juga mengajukan hal senada. Atas dua permohonan
ini, Saikoo Sikikan memberikan persetujuannya. Kalau surat Gator melahirkan
Peta, surat sepuluh ulama menghasilkan Hizbullah. Dua kelompok tentara
inilah yang kelak ikut membangun tentara nasional kita.

Berbagi peran semacam itulah yang saat ini kita rindukan akan dilakukan oleh
para elite nasional. Berbagi kaveling kerja untuk rakyat, bukan berebut
kaveling kekayaan dan kekuasaan negara untuk kepentingan pribadi dan
kelompok. Rasanya kita sudah jengah dan sebal dengan tontonan
konflik-konflik pribadi/kelompok yang mengatasnamakan negara dan rakyat.
Kita jadi merindukan suasana ketika bangsa Indonesia mengajukan pembentukan
Peta dan Hizbullah itu.

Dua Jenis Prajurit

Tempat latihan calon prajurit yang disebut kesatrian untuk dua kelompok itu
tak berjauhan. Peta dilatih di Kota Bogor, Hizbullah agak ke pinggiran, di
Cibarusah.

Peta mewakili kelompok nasionalis, Hizbullah merepresentasikan kalangan
Islam. Secara kultural, adanya dua kelompok ini memang menjadi bagian tak
terpisahkan dalam tubuh bangsa Indonesia. Hal ini diakui oleh Kiai Wachid
Hasyim, sebagaimana dikutip Saifuddin Zuhri (1987), "Sukar bagi Nippon untuk
hanya membuat satu wadah. Faktor-faktor objektif yang ada pada golongan
Islam dan Nasionalis tak bisa dibantah. Itu sudah ada sejak zaman
Majapahit-Demak."

Sebelumnya usulan soal Hizbullah ini sempat dibahas alot dalam rapat Majelis
Syura Muslimin Indonesia (Masyumi). Dipersoalkan, mengapa harus ada dua
kelompok, bukankah satu kelaskaran akan jadi lebih kokoh? Akhirnya pemisahan
Peta dan Hizbullah disepakati karena dengan dua kelompok, musuh dianggap
akan lebih sulit memecah atau menguasainya. Rapat memutuskan, "lebih baik
pura-pura pecah daripada pura-pura bersatu." Namun, sekalipun berdiri
sendiri-sendiri, kurikulum kedua laskar itu sama, yakni materi yang disusun
oleh Kapten Yamazaki.

Adanya dua pelatihan itu, bagi para penggerak perjuangan kemerdekaan adalah
sebuah strategi. Prinsipnya, semakin banyak yang mendapat latihan
kemiliteran, semakin baik untuk bangsa Indonesia. Sementara itu, penguasa
militer berpikiran semakin banyak pasukan yang kelak akan membantu mereka,
semakin baik untuk Nippon. Keinginan bisa sama, tetapi motif dan motivasi
bisa berbeda. Di situlah seninya berkolaborasi atau bekerja sama.

Bagi para pemimpin Islam saat itu, adanya dua wadah keprajuritan itu
menyisakan pekerjaan rumah. Yakni, siapa yang masuk Peta dan siapa yang
mengisi Hizbullah. Kalangan Islam tentu tak bisa sepenuhnya dalam barisan
Hizbullah, harus ada juga yang masuk Peta. Maka sejumlah pemuda pilihan yang
mewakili ormas Islam pun bergabung dalam Peta. Dari NU ada Abdul Kholiq
Hasyim, Wahib Wahab (Jatim), Syam`un (Jabar). Dari Muhammadiyah ada Yunus
Anis (Yogyakarta), Muljadi Joyomartono (Jateng), Iskandar Idris (Jabar).
Dari PUII diutus Basyuni (Jabar), sementara PSII antara lain mengirimkan
Arudji Kartawinata. Sementara itu, para pemuda Islam lainnya
berbondong-bondong masuk Hizbullah.

Cikal bakal

Setelah proklamasi dikumandangkan pada 17 Agustus 1945, para alumni Peta dan
Hizbullah itu bergabung dalam Badan Keamanan Rakyat (BKR). Pada 5 Oktober
1945, korps mereka berganti jadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), lalu Tentara
Republik Indonesi (TRI). Beberap kali nama korps prajurit ini berubah hingga
akhirnya menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Melihat metamorfosis itu,
tak berlebihan jika Peta dan Hizbullah merupakan cikal bakal TNI. Selain
dari aspek jumlah yang besar, Peta-Hizbullah juga mewakili dua kelompok
kultural nasionalis-Islam.

Kehadiran Peta dalam sejarah ketentaraan kita, tidak hanya memberi inspirasi
semangat juang saat itu, tetapi hingga sekarang. Demi memiliki tentara
pembela tanah air, para pemimpin kita secara cantik telah berbagi peran dan
strategi. Bahkan mereka rela di kemudian hari dihujat sebagai kolaborator
Jepang. Tetapi sejarah tak bisa dibelokkan. Para kolaborator itulah yang
memproklamasikan kemerdekaan, menetapkan dasar negara, UUD 1945, dan semua
fondasi bagi berdirinya negara-bangsa Indonesia.

Kini, sudah saatnya kita tidak memandang sejarah secara hitam-putih. Melihat
sejarah tidak bisa digeneralisasi, apalagi melihat sejarah masa lalu dalam
konteks hari ini. Seseorang yang dulu dianggap berkhianat pada perjuangan,
hari ini bisa saja dinilai sebagai pahlawan, setelah ditemukan alasan-alasan
yang melatari pilihan strateginya. Sebaliknya, seseorang yang dulu dianggap
pahlawan, kini bisa jadi dianggap seorang pengkianat. Atau seseorang yang
dianggap berjasa besar, setelah ditemukan fakta-fakta baru, boleh jadi ia
sebenarnya hanya tokoh biasa-bisa saja. Sementara itu, tokoh yang
dihilangkan, dapat muncul sebagai pahlawan yang sebenarnya. Masa lalu punya
logikanya sendiri, demikian pula hari ini dan esok. Peta dan Hizbullah
adalah bagian tak terlepaskan dari sejarah tentara nasional kita.***

(Iip D. Yahya, dari berbagai sumber)
-- 
sikandar

Kirim email ke