***"Liberal arts"*

Dikutip dari http://www.netsains.com

Tak cukup satu jenis pendekatan saja demi mengeluarkan Indonesia dari
krisis.
Sebuah tawaran solusi dari liberal arts. Seperti apakah itu?

Indonesia telah didera krisis multidimensi. Krisis moneter telah menghantam
negeri kita selama 10 tahun, walaupun sudah ada tanda perbaikan, namun masih
sangat banyak yang harus kita lakukan. Krisis tersebut sudah merambah ke
berbagai bidang, seperti politik, moral, pendidikan, sains-tek, budaya, dan
religi. Sampai detik ini, tidak ada jalan keluar yang jelas dari krisis
tersebut, karena setiap orang hanya memandang permasalahan itu berdasarkan
latar belakang profesi dan kependidikannya belaka. Pendekatan
multidisipliner untuk menangani krisis masih sangat kurang, karena egoisme
sektoral yang kuat. Bagaimana jalan keluar dari krisis multidimensi ini?

Liberal Arts: Apakah itu?

Istilah artes liberales, yang sering digunakan pada Eropa abad pertengahan,
bukan berarti sama dengan 'seni' yang dipahami jaman sekarang. Namun lebih
mengacu pada cabang ilmu pengetahuan yang diajarkan disekolah pada waktu
itu. Mereka disebut liberal (Latin liber, bebas), karena mereka ditujukan
untuk melatih kecerdasan dari orang bebas, sebagai anti tesis dari artes
illiberales, yang digunakan untuk kepentingan ekonomi. Liberal Arts bukan
digunakan untuk mencari nafkah, namun untuk mempelajari sains. Biasanya
kurikulim liberal arts merupakan kombinasi antara filsafat dan teologi,
disebut juga sebagai skolastikisme.

Cabang ilmu yang dipelajari liberal arts ada tujuh dan dapat diklasifikasi
menjadi dua grup terpisah. Grup pertama adalah mempelajari tata bahasa,
retorika, dan logika atau dialektika. Dengan kata lain, grup pertama biasa
disebut sebagai kajian bahasa atau artes sermocinales. Grup kedua terdiri
atas aritmatika, geometri, astronomi, dan musik. Sering juga disebut sebagai
disiplin matematika-fisika atau artes reales/physicae. Grup pertama sering
dianggap sebagai grup dasar, dimana cabang-cabang ini juga disebut sebagai
artes triviales, atau trivium.

Secara falsafah, ini berarti suatu pertigaan pada jalan. Sebagai kontras
dari mereka, ada disiplin matematika fisika atau artes quadriviales atau
quadrivium. Sering juga disebut sebagai perempatan pada jalan. Tujuh liberal
arts adalah anggota dari sistem pembelajaran yang dimulai dari cabang bahasa
sebagai tahap pertama, cabang matematika sebagai tahap kedua, dan sains
sebagai tahap akhir.

Sistem Sekolah

Sistem liberal arts masih digunakan di sekolah-sekolah di Eropa dan Amerika
sejak 2000 tahun yang lalu sampai sekarang. Filusuf besar seperti
Pythagoras, Plato, dan St Agustinus sangat berjasa dalam pengembangan
liberal arts. Para filusuf muslim, seperti Ibn Sina, Al Farabi, dan Ibn
Rusyd juga mengembangkan paradigma yang serupa. Tidak mengherankan, jika
seorang Al Farabi dikenal sebagai filusuf, musisi, dan dokter sekaligus.
Sama dengan Eropa dan Amerika, di Iran pendekatan liberal arts masih
dijalankan, walaupun dengan format berbeda. Di Perancis, puncak dari
'liberal arts' adalah pemberian pelajaran filsafat di tingkat 'lycee'
(setara SMU). Seorang siswa harus mampu menulis artikel mengenai filosof
tertentu, misalnya mengenai Friedrich Nietzche.

Berbeda dengan di Indonesia, dimana kurikulum sekolah sangat tidak jelas
orientasinya. Pelajaran apa yang menjadi prioritas, atau mana pelajaran yang
untuk kepentingan ekonomi (pasar) dan mana yang untuk sains, sama sekali
tidak jelas. Belum lagi momok 'ganti menteri ganti kurikulum' membuat
Indonesia sangat sukar membuat kurikulum yang stabil. Hasilnya adalah
egoisme sektoral. Sudah banyak perbaikan dan perubahan yang dilakukan
Diknas, namun masih banyak pula yang harus dilakukan, termasuk mendesain
kurikulum yang stabil dan mengangkat perspektif multisektoral.

Falsafah Liberal Arts

Di zaman Yunani Klasik, Plato memprotes dekadensi yang terjadi pada generasi
muda, karena penyaringan informasi secara keliru. Pada buku 'republik' Plato
menjabarkan konsep kependidikannya. Pada langkah awal, ia dimulai dengan
kultur musik-gimnastik, yang berarti menggunakan indera sebagai instrumen
untuk mengapresiasi yang indah dan baik (nada dan bentuk). Langkah kedua,
adalah melalaui cabang matematika, yaitu aritmatika, geometri, astronomi,
dan musik, yang beroperasi dengan kekuatan refleksi kita. Kajian matematika
memungkinkan siswa untuk beranjak dari pengetahuan indrawi kepada perspektif
intelektual. Sehingga siswa dapat secara bertahap menguasai teori angka,
bentuk, kinetika, dan bunyi.

Tahap ketiga, atau juga tahap terakhir, adalah penguasaan filsafat. Dalam
hal ini, Plato mengajukan basis psikologis dari kajian-kajiannya, yang
adalah: pengetahuan indrawi, pengetahuan reflektif, dan pengetahuan
intelektual. Menurut Plato, pengetahuan tertinggi berada di dunia ide. Dalam
dunia ide, terdapat pengetahuan mengenai 'yang ideal'. Contoh kongkrit dari
pengetahuan ideal adalah mengenai pembentukan negara ideal. Plato tidak
percaya dengan demokrasi liberal. Menurut dia, jika rakyat dilepas begitu
saja tanpa bimbingan dari orang bijak untuk memerintah suatu negara, maka
yang terjadi adalah anarki.

Menurut Plato, seorang negarawan haruslah sekuat seorang raja, namun sebijak
seorang filusuf. Persekutuan orang-orang bijak yang memerintah negara,
disebut Plato sebagai the guardian. Konsep idealisme Plato ini
dioperasionalkan secara kongkrit oleh para founding father Amerika Serikat.
Pemisahan kekuasaan yang dikenal di Amerika Serikat (Eksekutif, Legislatif,
dan Yudikatif) harus dikepalai dan beranggotakan para guardian. Menjadi
seorang senator atau anggota kongres, memerlukan persyaratan tertentu yang
hanya bisa dipenuhi oleh seorang guardian. Indonesia mencoba mengaplikasikan
konsep Plato, namun dengan modifikasi dan penyesuaian dengan kondisi lokal.
Para founding father kita (Soekarno-Hatta-Syahrir, dll) sangat familiar
dengan pemikiran Plato. Bahkan Bung Hatta pernah mengarang buku tentang
Filsafat Yunani Klasik. Konsep 'guardian' Plato menjadi salah satu puncak
dari falsafat yang medasari liberal arts.

Bagaimana konsep dunia ide Plato mempengaruhi perkembangan sains-tek juga
terlihat pada gagantifikasi Hukum Gravitasi. Isaac Newton menemukan hukum
yang mengatur pergerakan benda langit, yang dikenal sebagai hukum gravitasi.
Newton membangun hukum tersebut berdasarkan asumsi ideal, bahwa ruang adalah
absolut dan kecepatan cahaya adalah relatif. Adapun di jaman Newton
kecepatan cahaya belum diketahui, sehingga asumsi demikian dibangun. Newton,
yang sangat dipengaruhi oleh pandangan dunia mekanistik Kartesian (Alam
semesta adalah suatu jam raksasa, dengan dibantu sekrup-sekrup dan baut-baut
yang menggerakkannya) berusaha mencari suatu gagantifikasi hukum mekanistik
yang mampu menjelaskan alam semesta itu seperti apa. Adapun asumsi Kartesian
yang digunakan sangat mempengaruhi perumusan Hukum Gravitasi. Rumus F=ma
versi Newton telah menjadi rumus klasik yang sudah kita kenal sejak
SMP(F=gaya, m=massa, a=percepatan).

Namun rumus tersebut dibangun dengan asumsi ideal, bahwa massa itu konstan
(tidak berubah), namun kecepatan cahaya bisa berubah-rubah. Rumus ini masih
bisa menjelaskan pergerakan benda sehari-hari seperti pendulum dan roda
(namun ada modifikasinya), adapun untuk menjelaskan pergerakan atom dan
molekul sudah tidak bisa. Belakangan Albert Einstein mengkoreksi Hukum
Newton dengan mengatakan bahwa kecepatan cahaya absolut, dan massa itu
relatif.

Selain pada kasus diatas, ternyata hukum gas juga dipengaruhi oleh konsep
dunia ideal Plato. Rumus pV=nRT (p=tekanan, V=volume, n=mol, R=konstanta,
T=temperatur) sudah menjadi rumus klasik yang kita kenal sejak SMP. Hukum
gas ideal merupakan suatu idealisasi dari persamaan yang diikuti oleh gas
secara nyata. Secara khusus, ternyata semua gas mengikuti persamaan tersebut
jika tekanan semakin mendekati nol. Persamaan tersebut adalah contoh dari
hukum pembatas, yaitu suatu hukum yang tidak diikuti secara pasti oleh gas
nyata, namun akan semakin valid ketika tekanan diturunkan dan diikuti secara
pasti ketika tekanan menjadi nol. Sementara, gas nyata tidak berperilaku
seperti yang ditunjukkan rumus diatas. Hukum gas ideal tidak
mempertimbangkan adanya daya tarik dan daya tolak antara molekul gas, yang
menjadikan rumus gas nyata mengkoreksi rumus gas ideal.

Kasus 'idealisasi' seperti diatas sangat banyak dalam perkembangan
sains-tek, diantaranya asumsi Darwin bahwa sifat (trait) organisme
diturunkan berdasarkan 'percampuran darah'. Darwin percaya bahwa sifat
organisme dari 'offspring' pasti merupakan campuran dari sifat kedua
orangtuanya. Ternyata asumsi ini tidak benar. Teori Darwin ini akhirnya
dikoreksi Mendel dengan Hukum Genetika.

Saintis besar seperti Isaac Newton, Albert Einstein, Charles Darwin, dan
Gregor Mendel adalah produk dari sistim pendidikan liberal arts. Mereka
mampu memahami semangat keilmiahan dari zamannya, karena sangat memahami
falsafah dari sains.

Secercah Harapan

Artikel mengenai liberal arts ini masih jauh dari lengkap. Penulis baru
memasukkan tataran konseptual dari liberal arts. Namun tataran praktisnya
masih akan ditulis pada kesempatan lain. Dari tataran teoritis ini,
diharapkan kita bisa memulai wacana mengenai bagaimana memajukan
perkembangan sains-tek di bangsa ini. Artikel ini menyodorkan perbedaan
kultural yang sangat lebar antara barat dan Indonesia, dalam perspektif
falsafaf sains. Penulis mencoba menjawab pertanyaan mengapa Eropa bisa
sangat maju perkembangan sains-tek nya dari tulisan ini. Ternyata, kemajuan
yang mereka capai adalah karena penguasaan filsafat. Belajar filsafat adalah
belajar how to think right dan to find the truth, yang berbeda dengan
sekedar think to live atau think to rich.

*Arli Aditya Parikesit,.M.Sc <http://bioarli.page.tl/Home.htm>*
Penulis adalah Dosen Bioinformatika MIPA Universitas Indonesia

-- 
Ema Sujalma


[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to