Cihideung, Aliran Lava Hitam Gunung Sunda

CIHIDEUNG sangat terkenal karena menjadi pusat tanaman hias. Walau
namanya Cihideung, air hitam, saat ini menjadi penuh warna. Berbagai
warna bunga memberikan keceriaan tempat ini. Berderet-deret bunga
aneka warna yang dikelompokkan berdasarkan jenisnya. Ada juga tanaman
yang daunnya beraneka warna yang menyolok. Kastuba berpucuk merah
banyak menarik perhatian pengunjung dari berbagai daerah di samping
aneka warna bunga lainnya.

Mulanya Jalan Cihideung, yang kemudian berganti nama menjadi Jalan
Sersan Bajuri ini merupakan jalan patroli dari Ledeng menembus hingga
Parongpong, sekaligus jalur kontrol pipa air ledeng untuk masyarakat
Bandung yang dibangun sejak zaman Belanda.

Ketika Kampung Nyingkir dan Cihideung belum berubah menjadi kebun
beton, dari sini sayur dan pisang lumut kualitas jempol dihasilkan,
kemudian dikirim ke Bandung dengan cara ditanggung (dipikul) pada
tempat yang khas. Rombongan penanggung pisang matang beriringan, dan
beberapa kali berhenti di tempat-tempat tertentu sambil menjajakan
dagangannya, seperti di Ledeng, Jalan Setiabudhi, Gegerkalong Girang,
Gegerkalong Hilir, dan lewat jam sepuluh, biasanya mereka sudah sampai
di Jalan Cipaganti, yang dijadikan tempat terakhir untuk menjual
pisangnya. Orang-orang gedongan yang menginginkan pisang segar,
berhenti dari kendaraannya dan membeli pisang di sini.

Keadaan kini telah berubah. Kompleks perumahan mewah memenuhi kawasan
ini, kafe menjamur di mana-mana. Lengkaplah kawasan Cihideung menjadi
kawasan emas yang menawarkan berbagai kesenangan.

Pada mulanya, ketika Gunung Sunda meletus mengeluarkan lava dengan
volume yang luar biasa banyaknya, mengalir di lembah-lembah ke utara,
ke Kasomalang, misalnya, serta ke lembah-lembah yang mengarah ke
selatan, seperti yang mengalir sepanjang lembah hingga Curug Aleh di
Kompleks Perumahan Setraduta, atau di lembah-lembah lainnya seperti di
Lebak Cigugur, di Ci Beureum, Ci Hideung, Ci Mahi, dan lain-lain. Lava
yang pijar yang merah membara itu kemudian panasnya menurun dan
membeku. Itulah yang menyebabkan sepanjang lembah-lembah tadi terdapat
bongkah-bongkah aliran batuan beku yang amat panjang. Bila diukur dari
Gunung Sunda sebagai sumber lava, jarak alirannya mencapai 15 km
lebih.

Ujung lava yang membeku di lembah-lembah itu kemudian dialiri sungai,
membentuk jeram dan curug, cai urug, air terjun. Namun ada pula
lembah-lembah yang dipenuhi aliran lava, sehingga aliran sungai
beralih ke sebelahnya. Inilah yang terlihat di dinding-dinding sungai
yang dibentengi bongkah-bongkah raksasa lava yang mengagumkan, seperti
terlihat di Curug Sigay. Sepanjang sungai yang mengalir ke selatan
banyak sekali jeram dan curug yang sesungguhnya sangat bagus bila
dijadikan sebagai sumber belajar ilmu kebumian bagi para siswa dan
mahasiswa. Kiri kanan sungai itu, bila dibuat jalan setapak untuk
jalan kaki dan berlari, sangat baik sebagai jalur rekreasi yang
mengandung ilmu.

Lembah yang dialiri lava hitam itu, bila kemudian air mengalir di
atasnya, maka air sungai yang sangat jernih waktu itu akan lerlihat
tembus pandang hingga ke dasarnya. Sepertinya air yang mengalir itu
berwarna hitam. Maka disebutlah Ci Hideung, sungai hitam. Sudah
menjadi kebiasaan, kawasan di sekitar sungai itu diberi nama
Cihideung.

Gunung Sunda pernah mengalami beberapa unit letusan yang terjadi dalam
rentang waktu antara 210.000-105.000 tahun yang lalu. Satu di antara
letusannya itu mengeluarkan lava, batuan pijar dari perut bumi yang
panasnya 1.000 derajat Celsius. Jumlah lava Gunung Sunda sangat
banyak, sehingga alirannya sangat panjang, sangat jauh. Cairan batu
kental membara itu menggelegak mengikuti lembah-lembah ke selatan dan
ke utara gunung ini. Sungai-sungai menjadi lautan api, mengalir
perlahan menuju Bandung. Bila terjadi malam hari, akan terlihat jelas
aliran sungai api yang merah menyala-nyala, membakar apa saja yang
dilewatinya, mulai dari puncaknya di utara hingga di lembah-lembahnya
di selatan, dan yang terjauh mencapai 15 km. Masyarakat Bandung purba
yang menyaksikan peristiwa mahadahsyat ini, pasti semakin kagum akan
kekuatan gunung api.

Saat beristirahat di salah satu curug di Cihideung, di bawah
kerindangan rumpun bambu dan semak belukar, terasa seperti daerah yang
sangat jauh dari pusat keramaian. Di lembah yang jarak dari jalan raya
hanya 20 meter itu, suara kendaraan mampu diredam oleh berbagi
tumbuhan yang masih merimbuni sungai.

Aliran lava yang diduduki itu berlubang kasar, pertanda lava ini
banyak mengeluarkan gas saat mengalir. Lubang-lubang itu bekas
gelembung udara yang lepas dari dalam lava. Aliran lava sepanjang
sungai yang dekat dengan pusat pendidikan ini, sangat baik bila
dijadikan sumber belajar mata pelajaran geografi, atau program studi
yang berhubungan di perguruan tinggi. Para guru geografi dan fisika di
SMP dan SMA, misalnya dapat menjadikan aliran lava ini sebagai sumber
belajar bagi para siswanya.

Sebagai sumber belajar yang sangat dekat dengan sekolah, para siswa
akan mendapat informasi baru tentang sejarah alam kotanya. Belajar
ditempat seperti ini akan menyenangkan bila guru memahaminya dengan
baik peristiwa alam yang terjadi. Tentang material vulkanik dari
letusan Gunung Sunda dan Gunung Tangkubanparahu dapat dibahas secara
panjang lebar, menarik dan melibatkan siswanya. Misalnya, tentang
letusan gunung dan berapa volume material yang dihempaskannya. Para
siswa akan mengetahui waktu tempuh pergerakan lava dari letusan Gunung
Sunda hingga ujung lava sejauh 15 km. itu bila diketahui rata-rata
pergerakan lava dari jenis ini.

Di sinilah pentingnya mengemas suatu peristiwa alam menjadi menarik
sebagai sumber belajar. Semuanya itu akan terjadi bila ada kemauan,
wawasan, pengetahuan, dan kreativitas guru mata pelajaran. Namun, itu
saja tidak cukup tanpa campur tangan pemerintah, bagaimana agar
sempadan sungai yang sangat berharga bagi ilmu pengetahuan dan
kemanusiaan itu dijaga agar tetap menjadi sempadan sungai milik
masyarakat. Milik semua manusia di bumi, sehingga boleh menginjaknya
karena tidak dibenteng menjadi bagian halaman rumah! Sempadan sungai
itu pasti bukan bagian yang dibeli, tetapi ketika dibangun, sempadan
sungai itu seolah menjadi haknya, lalu dibenteng, sehingga masyarakat
kesulitan untuk masuk ke sumber belajar tersebut.***

T. Bachtiar , anggota Masyarakat Geografi Indonesia dan Kelompok Riset
Cekungan Bandung.

citation: 
http://newspaper.pikiran-rakyat.co.id/prprint.php?mib=beritadetail&id=22752

Kirim email ke