Keur pangeling-ngeling sastrawan Achiat K. Miharja anu nembe wafat, nyanggakeun 
Catatan Pinggir Gunawan Muhammad nu eusina lenyepan kana karya sastra si Aki nu 
paling hade jeung kasohor, novel "Atheis". Saha nu parantos maca novel ieu? 
....Hehehehe


Atheis
Caping Majalah Tempo, 12 Juli 2010

Beberapa menit sebelum ia roboh tertembak, Hasan masih membandingkan dirinya 
dengan "Hamlet Si Tukang Sangsi".

Kita ingat Hasan. Ia tokoh utama Atheis - sebuah novel yang tak bisa dilupakan 
sejak terbit pada 1949. Penulisnya, Achdiat K. Mihardja, meninggal pekan lalu 
di Canberra, Australia. Pengarang kelahiran Garut ini mencapai usia 99. Tapi, 
seperti nasib tiap sastrawan yang punya karya yang berarti, usia sepanjang itu 
masih akan kalah lanjut ketimbang apa yang ditulisnya.

Terutama karena Atheis, lebih dari 60 tahun setelah pertama kali beredar, 
pantas jadi sebuah klasik. Prosa Achdiat masih terasa segar, cara berceritanya 
sama sekali tak aus, frase-frasenya masih bisa mengejutkan. Di samping itu, 
Hasan "Si Tukang Sangsi" tetap tokoh yang tak ada duanya dalam sastra 
Indonesia. Lebih lagi: ia bisa melintasi zamannya sendiri.

Mungkin karena apa yang ada dalam zaman itu, masa akhir 1930-an, belum juga 
mati pada hari ini: perubah an besar dalam sejarah mo dern yang terkadang tak 
tertanggungkan guncangannya, baik bagi seorang yang sederhana maupun pada 
hal-hal yang luhur dan sakral.

Hasan seorang sederhana. Di akhir cerita, ia ditembak pasukan Jepang, tapi ia 
bukan seorang pelawan. Pada jam malam di Bandung itu ia lari dari hotel 
tempatnya menginap karena ia kalap, galau, marah dan cemburu, ketika mengetahui 
istrinya pernah menginap di hotel itu bersama temannya, Anwar.

Ia lari. Lari terus. Di sekitarnya jalan sepi. Orang sudah diperintahkan 
menyingkir dan lampu-lampu dipadamkan. Ia tak peduli. Teriak hatinya bersilang 
selisih dengan teriak peringatan petugas keamanan.

Akhirnya tembakan dilepaskan. Paha kirinya tembus. Ia terguling. Ia ditangkap, 
karena disangka mata-mata. Tubuhnya yang TBC itu disiksa Kempetai. Di suatu 
hari pada 1945 itu ia mati di tangan pasukan pendudukan yang sudah kalah 
perang. Bukan sebagai pelawan.

Hasan terlampau rapuh untuk jadi pelawan. Ia seorang yang tergerus oleh, tapi 
juga terasing dari, proses yang membentuk dirinya. Apa mau dikata: proses itu 
selalu diduduki pihak lain.

Pada waktu ia muda, orang tua, Tuhan, dan horor meng huni seluruh dirinya. 
Putra menak bergelar raden dari sebuah kampung di Garut itu pada usia remaja 
memutuskan untuk mengikuti jejak ayahnya: "menganut ilmu mistik". Mungkin 
karena ia terpengaruh ayahnya yang alim. Tapi terutama karena ia takut.

"Sebagai anak kecil aku sudah dihinggapi perasaan takut kepada neraka," 
tuturnya. Dari para pembantu rumah tangga keluarga itu ia dapatkan 
cerita-cerita siksa Tuhan yang tak alang kepalang. Maka, katanya pula, "Aku 
sangat taat menjalankan perintah Ayah dan Ibu tentang agama."

Ia pernah berpuasa tujuh hari tujuh malam, mandi di Kali Cikapundung 40 kali 
dalam semalam, mengunci diri di kamar selama tiga hari tanpa makan, tidur, dan 
bicara. Tapi semua bukan tumbuh dari kerinduan kepada Yang Maha Mempesona, tapi 
dari kengerian kepada Yang Maha Ngeri.

Kengerian itu merundungnya sampai saat-saat akhir. Ia tenggelam dalam tata 
simbolik yang diwakili "Ayah" (dan "Tuhan") yang membentuk fiilnya dengan 
deretan kata "tidak boleh". Iman dan Islam-nya adalah rasa waswas. Agama jadi 
garis demarkasi. Ia memproteksi diri, dan sebagai akibatnya ia terjepit dalam 
liang perlindungannya sendiri. Apa yang tinggal dari dirinya bukan lagi sebuah 
subyek yang bebas, melainkan obyek yang tersisih, terasing, dari hidup.

Itu sebabnya ia tak mudah tegak. Ia rentan ketika berhubungan dengan dunia di 
luar garis itu.

Bekerja di jawatan air minum kota praja Bandung, pada suatu hari ia bertemu 
dengan Rusli, sahabatnya di masa kecil. Dari Rusli ia berkenalan dengan 
Kartini, perempuan 20 tahun yang mengubah hidupnya. Atau lebih tepat, karena ia 
jatuh cinta kepada gadis itu, ia masuk ke sebuah kancah yang mengguncangkan 
hidupnya.

Rusli. Kemudian Anwar, seorang seniman anarkis. Kemudian Parta, seorang aktivis 
politik sayap kiri. Merekalah orang yang merasa mewakili sebuah masa depan: 
modernitas yang yakin, seperti diucapkan Parta, bahwa "teknik lah Tuhan kita". 
Bagi mereka, tentu saja mengutip Marx, agama adalah "madat" yang dibutuhkan 
orang banyak karena kondisi kehidupan yang nestapa.

Hasan tak mampu menghadapi atau menangkis argumen seperti itu-karena ia memang 
tak pernah bergulat dengan pertanyaan dan keraguan tentang iman dan agamanya. 
Karena ia merasa tak kuasa. Karena ia sudah jadi obyek, bukan subyek, agama.

Tak terbiasa jadi diri yang merdeka dalam hati dan pikiran, ia akhirnya 
mengikut saja pandangan Rusli yang menyatakan diri "atheis". Tapi pergeseran 
pandangannya lebih didorong oleh rasa tertariknya kepada Kartini ketimbang 
keyakinan yang timbul- keyakinan sebagai hasil renungan yang digeluti dan 
menggelutinya.

Maka, sampai akhir ceritanya, ia terombang-ambing an tara memilih untuk 
mengingkari Tuhan dan kembali ke ajaran tarekatnya. Ia sendiri tahu ia bahkan 
lebih pengecut ketimbang Hamlet dalam lakon Shakespeare. Ia tetap kecut disebut 
"atheis" bukan karena ia tak bisa hidup tanpa Tuhan, tapi karena, sekali
lagi, ia takut siksa neraka.

Hasan sebagai tokoh novel unik, tapi ia agaknya bukan satu perkecualian. Saya 
kira Marx keliru jika ia hanya menganggap agama sebagai "suara keluh (der 
Seufzer) dari orang-orang yang tertindas". Yang tak dialami banyak orang 
seperti Hasan adalah agama yang mengeks presikan suara yang terpesona, gentar, 
dan bersyukur-atau agama sebagai pengakuan bahwa kita ada, dalam kemerdekaan 
yang bersahaja, bersama dengan yang tak kekal namun tak terhingga.

Sumbangan novel Atheis kepada zaman ini adalah mengisahkan tragisnya sebuah 
iman yang sebenarnya sebuah ketakutan.

Goenawan Mohamad

Kirim email ke