Sanggeus nempoan foto-foto "jadul", aya alusna oge maca artikel catatan 
pinggir Tempo Gunawan Muhammad nu nyaritakeun kumaha "alam pikiran" kaum 
intelektual ngora Indonesia baheula (nu ngan saeutik) nu mitembeyan 
(ngarintis) kana kana kamerdekaan Indonesia. Nyanggakeun, lumayan (ceuk 
kuring ketang) keur lenyepaneun:

Juni
Catatan Pinggir Tempo, 14 Juni 2010

Juni adalah bulan Bung Karno-kesempatan kita mengenang yang kecil dan yang 
besar dari tokoh ini.

Ada satu kejadian dalam riwayat yang direkam Cindy Adams: ketika Bung Karno 
pertama kali menikah, ketika ia jadi mempelai bagi Utari.

Utari adalah putri H.O.S. Tjokroaminoto, pemimpin Sarekat Islam, yang 
menampung Soekarno sewaktu anak kepala sekolah dari Blitar itu berumur 14 
tahun dan datang ke Surabaya untuk masuk HBS, sekolah menengah Belanda. 
Hubungan antara Soekarno dan Tjokroaminoto makin lama makin erat. Pemuda ini 
praktis jadi kadernya dalam pergerakan. Ia tinggal di rumah keluarga itu 
sampai 1920, sampai ia lulus dari HBS dan melanjutkan ke Technische Hooge 
School di Bandung.
Tapi, sebelum itu, Nyonya Tjokroaminoto wafat. Kesedihan merundung suaminya, 
yang ditinggal dengan beberapa anak yang masih remaja. Mereka dan anak-anak 
yang indekos, termasuk Soekarno, pun pindah ke rumah lain. Tapi 
Tjokroaminoto tak terlipur penuh. Untuk meringankan hati orang tua itu, 
Soekarno memutuskan untuk menikahi Utari-meskipun masih merupakan 
"perkawinan gantung", sebab Utari masih 16 tahun dan Soekarno sendiri baru 
20.

Yang menarik kisah Bung Karno tentang hari pernikahan itu. Sang 
mempelai-seorang yang suka berdandan-datang dengan mengenakan jas, pantalon, 
dan dasi. Melihat itu, penghulu berkeberatan. "Anak muda," katanya, "dasi 
adalah pakaian orang yang beragama Kristen... tidak sesuai dengan kebiasaan 
kita dalam agama Islam."

Soekarno membela diri. Cara berpakaian kini "sudah diperbaharui".

Sang penghulu membentak, pembaharuan itu hanya terbatas pada pantalon dan 
jas buka, katanya.

Menghadapi suara keras itu, Soekarno membalas. Ia tak sudi. Tuturnya: biar 
"Nabi sendiri sekalipun tak kan sanggup menyuruhku untuk menanggalkan dasi". 
Maka ia bangkit dari kursi dan mengancam membatalkan akad nikah, jika ia 
harus mencopot dasi. Ketika penghulu tak mau mundur, mempelai yang kelak 
jadi tokoh utama pergerakan politik untuk kemerdekaan itu berkata: 
"Persetan, tuan-tuan semua. Saya pemberontak dan saya akan selalu 
memberontak. Saya tak mau didikte orang di hari perkawinan saya."

Suasana tegang. Tapi akhirnya akad nikah dilakukan bukan oleh si penghulu, 
melainkan oleh seorang alim yang ada di antara tamu....

Insiden ini bukan hanya menunjukkan watak Bung Karno, melainkan juga problem 
Indonesia zaman itu: bagaimana membebaskan diri dari penjajahan dan 
sekaligus dari apa yang disebut Bung Karno "pendirian yang kolot".
Orang ada yang melawan para penjajah Eropa dengan ambil posisi kembali ke 
akar yang tertanam di masa lalu. Tapi pemuda Soekarno tak begitu. Juga 
Hatta, Tan Malaka, dan sebelumnya Tjipto Mangunkusumo dan Soewardi 
Soerjaningrat. Pergerakan menentang kolonialisme Belanda telah melahirkan 
sebuah nasionalisme yang lain: melihat ke depan. Nasionalisme itu berkait 
dengan agenda modernitas.

Bung Karno, dengan prosanya yang penuh api, pernah mencemooh para 
"oude-cultuur maniak" yang "pikiran dan angan-angannya hanya merindui 
candi-candi, Negarakertagama, Empu Tantular dan Panuluh, dan lain-lain 
barang kuno".
Tan Malaka menegaskan bahwa pendapatnya yang dirumuskan sebagai "Madilog" 
(Materialisme, Dialektika, Logika) berlawanan dengan segala yang berhubungan 
dengan mistik dan kegaiban. Tan Malaka, seorang Marxis yang bertahun-tahun 
mengembara di Eropa, menyebut semua yang ditentangnya itu "ketimuran".

Bagi Hatta, sebagaimana dikatakannya pada 1924 di Belanda, Indonesia yang 
muda harus memutuskan semua hubungan dengan masa lampau "untuk membangun 
kehidupan nasional baru yang sesuai dengan tuntutan peradaban modern".
Sebuah konfrontasi tak bisa dielakkan. Nasionalisme itu tak hanya memutuskan 
kaitan dengan masa silam yang setengah feodal, yang sering disebut 
"kebudayaan daerah" atau segala yang dikibarkan sebagai bendera identitas 
lokal. Nasionalisme itu juga ingin melepaskan diri dari adat yang mengikat 
kebebasan, lembaga lama yang menindas perempuan, keyakinan yang tak membuat 
orang mencari informasi baru. Bagi nasionalisme ini, kolonialisme harus 
dihadapi dengan cara yang jadi sumber kekuatan "Barat". Para perintis 
kemerdekaan Indonesia melihat Jepang sebagai tauladan dan Turki baru sebagai 
inspirasi. Dalam sebuah tulisan panjang tentang Turki pada 1940, Bung Karno 
mengutip sebagai pembuka: "Kita datang dari Timur. Kita berjalan menuju 
Barat."

Syahdan, pada 1939 ada sebuah berita tentang Bung Karno: ia meninggalkan 
sebuah rapat Muhammadiyah sebagai protes. Bung Karno tak setuju karena ada 
tabir yang dipasang di sana untuk membatasi tempat perempuan dengan tempat 
laki-laki.
Maka koresponden Antara pun mewawancarainya. Bung Karno menegaskan: tabir 
tampaknya "soal kecil, soal kain yang remeh". Tapi sebenarnya "soal 
mahabesar dan mahapenting", sebab menyangkut posisi sosial perempuan. "Saya 
ulangi: tabir adalah simbol dari perbudakan kaum perempuan!"

Bagi Bung Karno, tabir adalah aturan agama yang lahir dalam sejarah sosial. 
Seperti halnya kolonialisme, "perbudakan" seperti itu bukan hasil dari sabda 
yang kekal. Ia akan berubah. Ia bisa diubah.

Itu sebabnya nasionalisme Indonesia mengandung optimisme. Hatta, misalnya, 
percaya kepada dialektika sejarah yang berakar pada Marxisme: tiap keadaan 
"menimbulkan syarat yang mesti mengubah keadaan itu sendiri".

Tentu, optimisme semacam ini tak selamanya terbukti benar. Tapi sejak awal 
abad ke-20 zaman terasa bergerak. Entah ke mana, tapi banyak hal yang tak 
tumbuh jadi membatu, jadi benda antik atau ditinggalkan.

Goenawan Mohamad 

Reply via email to