Lima Sasaran Untuk Mengatasi Kesenjangan Digital
Jakarta, KCM Kirim Teman | Print Artikel ist Ket: Semestinya semua tersentuh teknologi digital, petani sekalipun. Untuk mengatasi kesenjangan digital (digital divide) paling tidak ada lima sasaran yang perlu mendapat perhatian khusus. Demikian disampaikan Budi Wahyu Jati, country manager Intel Indonesia menjelaskan konsep Digital Asean di Jimbaran, Bali beberapa waktu lalu. "Selain melibatkan pemerintah, teknologi digital harus terintegrasi dalam sistem pendidikan, menggerakkan dunia usaha, dapat diakses oleh seluruh kalangan masyarakat, dan telah tersedia infrastrukturnya secara merata," katanya. Pemerintah dalam hal ini, lanjut Budi, adalah penentu kebijakan dan regulator sehingga punya peran penting untuk memilih prioritas. Tanpa dukungan pemerintah, setiap upaya menerapkan teknologi digital akan tersendat-sendat. Bagaimana akan berjalan lancar, jika masuknya perangkat keras masih lamban dan dihadang proses birokrasi dan pajak, perkembangan software masih dibayang-bayangi tingginya tingkat pembajakan, dan pemakaian sarana, misalnya frekuensi untuk komunikasi nirkabel, tidak diatur dengan strategis. Meskipun tidak berhubungan langsung dengan pemerintah, tingginya ongkos komunikasi dan harga bandwidth merupakan salah satu penghalang yang harus segera dicari jalan keluarnya. Sesuai data Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia (APJII), pelanggan internet di Indonesia pada 2005 baru sekitar 1,5 juta, sedangkan pemakainya baru 16 juta. Berdasarkan data Apkomindo, penetrasi komputer sendiri baru mencapai 3 hingga 3,5 persen penduduk Indonesia pada 2005. Budi mengakui belum semua orang mengenal komputer, termasuk para pelaku usaha khususnya usaha kecil menengah. Baru 27 persen pelaku UKM di Indonesia yang memanfaatkan teknologi informasi. Data World Economic Forum mencatat Indonesia di urutan ke 73 pada 2003 dan 51 pada 2004 dalam pemanfaatan IT dalam dunia usaha. "Manfaat komputer sendiri belum langsung dirasakan sehingga untuk membeli rasanya terlalu mahal," kata Budi. Dengan mengajak berbagai lembaga perbankan dan penyedia kredit, harapannya pelaku UKM dapat sedikit demi sedikit merasakan manfaat komputer untuk mendorong kegiatan bisnis tanpa merasakan ongkos yang berat. Kerjasama dengan Asosiasi Piranti Lunak Indonesia (Aspiluki) juga dilakukan untuk menyediakan software yang tepat sesuai kebutuhan UKM. Program Aku Punya PC di 100 kota adalah salah satu solusi yang ditawarkan Intel untuk mempercepat penyebaran komputer ke masyarakat dan UKM. Workshop dan penyediaan kredit pembelian komputer diharapkan menjangkau kalangan lebih luas. "Layanan dan perawatan akan lebih terjamin karena dalam program ini Intel menggandeng mitra lokal, sekitar 4.000 toko komputer," kata Alda Siregar, manajer pemasaran Intel Indonesia. Tidak hanya itu saja, untuk meningkatkan minta masyarakat, pada 2005 telah dirilis PC merek lokal di 22 kota. Harapannya, kualitas PC meningkat bahkan tumbuh pemain-pemain lokal yang dapat bersaing dengan vendor global. Peluang komunikasi nirkabel Sebenarnya wajar jika penetrasi komputer dan internet masih sangat rendah, selain ongkos mahal, infrastruktur yang mendukung masih terbatas. Layanan tersebut baru dapat dinikmati di kota-kota besar dan belum menjangkau ke pelosok daerah. Jaringan komunikasi nirkabel sebenarnya memiliki peluang yang besar untuk mendorong pemanfaatkan teknologi digital secara lebih efektif. Lebih dari 30 juta penduduk Indonesia telah menggunakan sistem komunikasi seluler. Meskipun telah merambah hingga kota-kota kecil, bahkan Telkomsel mengklaim tersedia di setiap kota kecamatan, layanan seluler belum berhasil menerobos wilayah pelosok. Teknologi satelit masih terlalu mahal sampai sekarang. "Maraknya WiFi yang dipancarkan melalui frekuensi bebas lisensi 2,4 GHz sebenarnya juga berpeluang," kata Budi. Namun, menurutnya pemerintah musti pintar-pintar mengatur agar pemakaiannya adil. Budi mencontohkan, banyak orang yang merekayasa WiFi sehingga dapat memancar beberapa kilometer. Jika hal tersebut tidak dikendalikan, bukan tidak mungkin terjadi interferensi yang ujung-ujungnya merugikan semua pihak. Padahal saat ini telah dikembangkan WiMax yang memang didesain untuk komunikasi luar ruangan, bukan WiFi yang didesain untuk komunikasi dalam ruangan (hotspot). Alasan inilah yang membuat Intel sangat berhati-hati untuk memasukkan WiMax ke Indonesia. Budi berharap WiMax segera memperoleh ijin pemakaian frekuensi yang tetap di Indonesia sehingga tidak perlu menggunakan frekuensi 2,4 GHz yang sudah terlalu jenuh. "Jika disetujui, ujicoba WiMax rencananya akan menghubungkan fasilitas pendidikan, kesehatan, dan usaha kecil menengah," kata Budi tanpa bersedia menyebut di mana akan dilakukan. Sedangkan, di Malaysia dan Thailand, WiMax telah diuji coba di daerah pelosok yang sebelumnya belum terjangkau telepon apalagi internet. Kombinasi WiFi dan WiMax diyakini Budi sebagai masa depan infrastruktur komunikasi nirkabel. Tentu saja interopability (kesinambungan) dengan jaringan seluler juga tidak kalah pentingnya. WiMax yang mampu memancarkan data dengan kecepatan tinggi dan jauh bisa menjadi backhaul (penghubung) antara titik-titik hotspot atau pengganti saluran serat optik di antara BTS. Selain mendorong infrastruktur nirkabel, Intel juga mendorong penyebaran perangkat digital terutama pada komputer desktop dan notebook. Mulai awal 2006, perusahaan berbasis di Santa Clara, AS itu mulai fokus pada produk berbasis platform. Prosesor yang tersedia di pasaran dikemas dengan chipset dan kartu WiFi serta software pengelolaan hardware. Hasilnya, dalam dua tahun sejak diperkenalkan platform Centrino, notebook yang dilengkapi kemampuan koneksi melalui WiFi meningkat dari 20 juta atau 50 persen jumlah notebook menjadi sekitar 45 juta buah atau 90 persen penetrasi notebook. Kampanye di institusi pendidikan diharapkan dapat mempercepat penyebaran sarana nirkabel ini. Bekerja sama dengan berbagai vendor, Intel menggelar Mobile Initiative Learning Education (MILE) untuk menyediakan infrastruktur WiFi di kampus dan penjualan PC dengan harga khusus. Beberapa produsen notebook juga telah berinisiatif untuk menyediakan notebook khusus mahasiswa dengan harga khusus. Program notebook berkapasitas nirkabel berharga 100 dollar AS (sekitar satu juta rupiah) untuk anak-anak di negara berkembang, yang tengah dikembangkan Profesor Negroponte dan timnya dari MIT, mungkin menjadi langkah yang lebih revolusioner. Demikian pula proyek Ndiyo yang mengembangkan komputer warnet seharga 100 dollar AS yang telah dimulai di Bangladesh. Akankah pemerintah Indonesia melihat berbagai peluang ini sebagai kesempatan emas atau masih menunggu tren ke depan? Penulis: Wah http://groups.yahoo.com/group/baraya_sunda/ [Ti urang, nu urang, ku urang jeung keur urang balarea] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/Baraya_Sunda/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/