Nenek Moyang Kita Petani Padi

ANDREAS MARYOTO

Ketika petani padi Korea Selatan dan Jepang berunjuk rasa menentang
liberalisasi pasar beras, mereka berteriak keras, usaha tani padi
harus dilindungi. Mereka menyatakan, perlindungan itu terkait
keyakinan dan penghormatan terhadap nenek moyang mereka, yaitu petani
padi.

Mereka menyatakan, meski negara mereka sudah maju, mereka tetap
menghormati nenek moyang mereka. "Nenek moyang kami adalah petani
padi," kata mereka di majalah Time beberapa waktu lalu.

Apakah nenek moyang bangsa Indonesia juga petani padi?

Penelitian kosakata budaya yang diduga digunakan pada masa prasejarah
memberi petunjuk bahwa cocok tanam padi sudah dilakukan pada masa itu.
Kosakata yang diteliti adalah kosakata yang diduga termasuk dalam
bahasa Melayu Purba, yang merupakan leluhur bahasa Melayu modern dan
bahasa Indonesia.

Ahli bahasa Robert Blust dalam sebuah tulisannya di dalam buku Masa
Lampau Bahasa Indonesia, Sebuah Bunga Rampai (1991) menyatakan, dari
penelitian kosakata budaya itu diketahui bahwa penutur bahasa Melayu
Purba memiliki orientasi kelautan yang kuat. Pada saat yang bersamaan,
rakyat mempraktikkan hortikultura ladang, padi gogo, dan umbi-umbian.

Peneliti JC Anceaux dalam buku yang sama mengutip penelitian Hendrik
Kern asal Belanda, menyebutkan bahwa kosakata yang terkait dengan padi
ditemukan penutur di bagian barat Austronesia—asal nenek moyang bangsa
Melayu—namun tidak ditemukan di wilayah timur.

Keyakinan Kern makin kuat ketika menemukan kata beras di Indonesia dan
kata bras di Tibet yang memiliki arti yang sama. Ia mengatakan, orang
Tibet meminjam kata bras dari bahasa Austronesia, yaitu ketika penutur
kedua bahasa berhubungan di satu tempat. Tempat pertemuan itu
kemungkinan berada di Asia Tenggara.

Prof Koentjaraningrat dalam buku Kebudayaan Jawa (1984) menyatakan,
cocok tanam padi dengan sistem peladangan diduga berasal dari Birma
Utara. Sistem itu kemudian menyebar ke Semenanjung Melayu hingga di
Kepulauan Nusantara (Indonesia dan Filipina) pada saat migrasi.

Teknologi

Sampai awal abad Masehi, pertanian padi di Nusantara diperkirakan
masih sederhana. Pertanian padi masih tetap berbentuk perladangan,
seperti padi huma yang masih ditemukan di sejumlah daerah di Jawa
Barat. Relatif tidak ada sentuhan teknologi.

Sentuhan teknologi cocok tanam padi mulai muncul ketika pengaruh India
masuk. Di dalam beberapa tulisan di jurnal Orissa Review, sebuah
jurnal yang diterbitkan oleh Pemerintah Provinsi Orissa di India,
disebutkan bahwa bangsa Kalinga (nama sebelum Orissa) yang berada di
India selatan itu masuk ke wilayah Jawa sekitar abad keempat.
Kedatangan mereka yang terdiri dari berbagai kasta membawa pengaruh
dalam teknologi penanaman padi.

Kasta brahmana yang berkuasa atas ilmu pengetahuan antara lain membawa
metode penanaman padi dengan pengairan. Kaum brahmana memperkenalkan
sejumlah teknologi yang memungkinkan produksi padi meningkat.

Setelah itu, nenek moyang kita mulai menanam padi dengan cara
pengairan atau yang sekarang dikenal dengan sawah. Sejumlah kakawin
dan kidung berbahasa Jawa Kuno (abad ke-8-14) yang diteliti oleh Prof
PJ Zoetmulder di dalam buku Kalangwan, Sastra Jawa Kuno Selayang
Pandang (1983) telah menyebut keberadaan sawah. Di dalam kakawin itu
dikisahkan, raja mendatangi kawasan pedesaan dan melihat sejumlah
orang menanam padi.

Dalam salah satu kakawin juga disebutkan, beberapa biarawan terlihat
menanam padi. Ada juga penyebutan keberadaan lumbung padi. Sayang
sekali jumlah informasi mengenai budidaya padi memang sangat minim di
dalam kakawin ataupun kidung karena karya sastra ini lebih banyak
berbicara dalam tataran keraton.

Catatan yang agak lebih komplet terdapat di dalam kitab Desawarnana
atau Negarakertagama. Di dalam kitab ini diceritakan tentang raja yang
memanggil rakyatnya untuk membuka hutan, kemudian menjadikannya lahan
untuk sawah. Rakyat yang mendapat hak untuk mengelola lahan itu harus
membayar pajak ke raja. Sawah beririgasi juga sudah disebut dalam
kitab itu.

Selama masa Majapahit, ekspor beras juga sudah dilakukan. Meski
demikian, Koentjaraningrat telah menyebut adanya petani miskin di desa
yang serba miskin, di samping mereka yang bergaya hidup keraton dengan
segala kemewahannya.

Setelah Majapahit, catatan mengenai budidaya padi terdapat di Mataram.
Di dalam buku Nusa Jawa Silang Budaya (1996) karya Dennys Lombard
terdapat catatan mengenai kepemilikan sawah. Di Mataram, sawah tidak
hanya dimiliki oleh raja, tetapi juga oleh bangsawan. Bangsawan berhak
mengelola lahan yang kemudian dikerjakan oleh rakyat biasa.

Di dalam buku yang sama disebutkan, tahun 1804 Residen Yogyakarta
Matthias Waterloo mencatat mengenai kondisi produksi padi. "Cukuplah
kita bandingkan daerah penghasil padi sekarang dan dua puluh tahun
sebelumnya," katanya.

Ketika Inggris berkuasa di Jawa, Gubernur Jenderal TS Raflles
(1811-1816) juga menulis, sedikit negeri yang rakyatnya bisa makan
sebaik di Jawa. Jarang orang pribumi yang tidak dapat memperoleh satu
kati beras yang dibutuhkan per hari. Di dalam bukunya berjudul History
of Java (1817), Raflles merinci berbagai alat yang digunakan untuk
budidaya padi.

Catatan oleh penulis lainnya menyebutkan, di Kesultanan Yogyakarta
beras masih merupakan komoditas ekspor utama, selain produk lainnya
seperti tembakau, batik, dan kain.

Di samping berbagai catatan di atas, keberadaan mitos mengenai dewi
pelindung pertanian, yaitu Dewi Sri, membuktikan bahwa budidaya padi
merupakan bagian hidup yang penting dari masyarakat di Nusantara,
terutama Jawa. Hingga kini pemujaan terhadap Dewi Sri masih dilakukan
petani di berbagai daerah.

Di dalam buku Serat Cariyos Dewi Sri disebutkan, cerita tentang Dewi
Sri merupakan salah satu hasil karya sastra Jawa. Cerita itu
mengisahkan turunnya Dewi Sri dari surga ke dunia dengan membawa benih
padi yang kemudian menjadi bahan makanan pokok orang Jawa. Dewi Sri
dianggap sebagai tokoh mistis yang dapat memengaruhi kehidupan manusia
sebagai pelindung pertanian.

Kemiskinan

Kisah-kisah petani padi setelah pertengahan abad ke-19—sejak tanam
paksa diberlakukan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch
(1830)—makin banyak diwarnai kisah pilu. Pada masa itu mulai terdapat
kelaparan di berbagai daerah seperti di Cirebon akibat konversi sawah
menjadi lahan perkebunan.

Peneliti Peter Boomgard dalam disertasinya tahun 1989, yang kemudian
menjadi buku dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul
Anak Jajahan Belanda, menyebutkan, meski selama tahun 1815-1880
mayoritas terbesar penduduk Jawa bekerja di sektor pertanian, makin
banyak penduduk di daerah pedesaan terlibat dalam kegiatan
nonpertanian sebagai sumber penghasilan.

Citra Jawa pada abad ke-19—yang juga terus terjadi hingga kini—adalah
kemiskinan dan kemandekan. Pulau itu memang dihuni jutaan petani yang
harus hidup dari petak-petak tanah mereka yang kecil dan jutaan kuli
yang berusaha untuk hidup di daerah perkotaan yang padat penduduk.
Laporan kelaparan kembali terjadi setelah krisis ekonomi 1930.

Situasi itu sebenarnya sudah meresahkan. Peneliti Prof WF Wertheim
pernah mengatakan, ketimpangan yang semakin besar di Jawa hanya
tinggal menunggu "tutupnya meledak". Meski demikian, ada juga yang
sependapat dengan Prof C Geertz bahwa kaum tani Jawa tidak akan menuju
situasi eksplosif, tetapi akan puas dengan "berinvolusi" karena sudah
terbiasa "berbagi kemiskinan".

Koentjaraningrat pernah mengusulkan suatu studi mengenai para petani
miskin yang tidak memiliki tanah ini dapat menyesuaikan diri dengan
suatu kehidupan yang penuh kesengsaraan dan dapat bertahan hidup di
daerah pedesaan di Jawa.

Agraris

Apa pun situasinya pada masa lalu dan masa sekarang, pengakuan
terhadap nenek moyang kita yang adalah petani padi tidak bisa
dihindari. Bila pembaca kurang percaya dengan kenyataan ini, telitilah
nama orangtua kita atau kakek-nenek kita sendiri, dengan mudah
ditemukan bahwa nenek moyang kita memang petani padi.

Bila saja pendahulu kita bernama tidak jauh dari nama Ponimin,
Parjiman, Mujinem, Mujirah, Parijan, dan lain-lain, sebenarnya
asal-usul kita memang dari generasi petani padi masa lalu. Seorang
peneliti bernama R Hatley (1977) pernah menyelidiki sejumlah nama
penduduk di Jawa. Ia menemukan beberapa nama yang menunjukkan asal
lingkungannya adalah dusun-dusun agraris.

Dari kenyataan ini, masihkah kita membiarkan petani padi sengsara,
padahal kita tahu persis mereka adalah nenek moyang kita? Korea
Selatan dan Jepang menggunakan kisah, sejarah, dan tradisi nenek
moyangnya dalam berdiplomasi di forum internasional agar para petani
mendapat perlindungan yang memadai.






http://groups.yahoo.com/group/baraya_sunda/

[Ti urang, nu urang, ku urang jeung keur urang balarea]




YAHOO! GROUPS LINKS




Kirim email ke