--- Pada Sel, 20/4/10, Insan Sains <insansa...@gmail.com> menulis:

Dari: Insan Sains <insansa...@gmail.com>
Judul: [forum_pembangunan] Mengimajinasi Mati
Kepada: "Forum Pembangunan" <forum_pembangu...@yahoogroups.com>
Tanggal: Selasa, 20 April, 2010, 1:04 PM







 



  


    
      
      
      



Serial Samurai Muslim

Bagian 02 : Mengimajinasi Mati





Pintu pertama yang mesti dilalui dalam sebuah keluarga samurai adalah kematian. 
Iya. Akhir hayat. Akhir nafas. Akhir dari kehidupan. Sebuah akhir yang menjadi 
batas kontrak abdinya di bumi. Setiap pagi, keluarga samurai bangun dengan 
sebuah ide besar di kepalanya tentang bagaimana menjemput kematian terbaiknya. 
Mereka meyakini bahwa hari ini adalah hari terakhir pengabdiannya, hari 
terakhir pemberian perlindungan pada tuannya. 



Gelimangan darah dan putusnya anggota tubuhnya, bukan lagi hal yang ditakuti. 
Seorang samurai telah puas membayangkan pedang musuh menghunus dadanya. Atau 
tebasan pedang memutus kepala dari lehernya. Bayangan kematiannya telah 
sempurna dia imajinasi, hari demi hari. Hingga kelak ketakutan yang mengiringi 
kematian hilang sirna. Tak berbekas. Yang tertinggal hanyalah sebuah tekad 
bagaimana merangkai laku tanpa cacat agar memperoleh kematian yang sempurna.



Luar biasa memang, seorang anak kecil dari keluarga samurai telah dilatih paksa 
menjemput kematian sempurna. Yang dengannya dia bisa memaknai arti kehidupan. 
Tiup angin yang berhembus, gelayut jatuh bunga yang gugur, riak air beradu batu 
menjadi begitu indah dan anugerah dalam pandangan mereka. Duduk, makan, dan 
minum teh dilakukan dengan rileks, hati-hati. Dan sempurna. Pertemuannya dengan 
orang lain adalah arena penghargaan tiada tara. Membungkuk tanda hormat, tak 
mengangkat punggung sebelum yang dihormat mengangkat lebih dulu. Ucapannya 
senantiasa terjaga. Tak berani berucap bila ragu menyinggung perasaan, apalagi 
menghina orang lain.



Inilah benih pertama yang ditanamkan dalam benak seorang samurai. Bagaimana 
dengan seorang muslim? Menjadi seorang muslim justru menjadi umat perdana yang 
diingatkan kematian berulang-ulang. Menjadi muslim berarti menjadi abdi 
(khalifah) yang pasrah menyerah sekaligus rela bersedia mengejar kematian 
terbaiknya. Bukankah dalam banyak ayat disebutkan : 





“Kullu nafsin dzaa iqatul maut”

(ingatlah) semua yang memiliki nyawa (tanpa kecuali) pasti mengalami kematian.





Tak ada pengecualian! Saya, Anda, kita, mereka. Semua pasti mati. Kalimat yang 
menunjukkan tidak mungkin tidak terjadi. Baik itu karena kecelakaan, penyakit, 
ketidaksenangan orang, atau dalam tidur sekalipun. Pasti! Pasti kita akan 
bertemu dengan kematian. Waktu? Apalah gunanya mengetahui kapan waktu 
terjadinya? Toh besarnya kepastian itu menjadi tidak ada artinya ketika 
dihadapkan ketidakpastian. Bukankah secara matematik angka 1 milyard tidak ada 
artinya dibanding dengan bilangan tak hingga?



Jadi ayat di atas seharusnya ditafsir bahwa hidup kita ini tersisa sesaat. Nah, 
sekarang apa yang akan kita perbuat dalam detik-detik terakhir pengabdian kita? 
Dalam ayat yang lain Allah memberikan jawaban-Nya yang senantiasa kita dengar 
dalam setiap khutbah jum'at.





“Ya ayyuhalladzina 'aamanu, ittakullaha haqqatuqaatihi walaa tamuutunna illa wa 
antum muslimun"

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dengan 
sebenar-benarnya taqwa, dan janganlah sekali-kali kamu mati kecuali dalam 
keadaan muslim”





Dalam keadaan muslim. Dalam keadaan berserah diri kepada Yang Maha Mengatur. 
Dalam keadaan sebagaimana layaknya disanjung sebagai umat terbaik. Inilah ayat 
yang mendorong kita untuk menjemput kematian terbaik. Dan kematian terbaik 
hanya bisa diperoleh dengan merajut kehidupan yang terbaik. Ke dalam mengakar 
niat yang baik, ke atas menjulang ucap yang baik, ke umat merimbun perilaku 
yang baik. 



Jadi amat tak pantas bagi seorang muslim risau dengan dunia yang ada di 
genggamannya hari ini. Uang di sakunya terlalu remeh untuk dia pertahankan 
dibanding sedekah menjelang mautnya. Harta yang ada tak punya arti dibanding 
pelunasan utang-utangnya. Rasa malu meminta maaf terlalu kecil untuk ditahan 
dibanding rasa ridha orang lain atas kesalahan-kesalahan nya. 



Tak pantas bagi seorang muslim menyia-nyiakan waktu. Baginya tak ada kesempatan 
kedua. Karena begitu hilang, kematian mungkin datang. Jadi tak ada kamus 
“menunda” dalam benak seorang muslim. Sekarang atau tidak sama sekali.



Menjadi seorang muslim adalah menjadi bagian dari umat yang tak takut 
menghadapi mati. Menjadi umat yang tak gandrung dengan harta duniawi. Bukankah 
rosul pernah mencontohkan ketika beliau sedang berjalan dan ada sahabatnya yang 
memuji jubah yang beliau pakai. Lantas beliau melepaskan jubah dan 
menghadiahkan kepada sahabatnya tersebut. Tak ada tempat untuk menyisakan 
kesenangan pribadi duniawi. Kebahagiaan orang lain adalah prioritasnya.



Umar bin khattab pernah berkata, “carilah kematian maka kamu akan mendapatkan 
kehidupan”. Mencari kematian bukan dalam artian mencoba bunuh diri. Melainkan 
mematikan ketakutan kematian, sehingga lahir pemaknaan kehidupan. 



Seorang muslim itu memberikan yang terbaik. Dimana pun, apapun profesinya. 
Inilah yang menjadikan ciri, bahwa pekerjaan seorang muslim itu selalu 
sempurna. Tak ada cacat, atau paling tidak, tidak merencanakan cacat. Anda 
boleh coba menelepon seorang muslim di jam kerjanya untuk kepentingan pribadi 
dan tidak penting, dia akan menjawab “Maaf. Saya sedang melaksanakan tugas, 
bila berkenan teleponlah pada jam istirahat, atau nanti saya yang akan 
menelepon balik”



Atau coba saja Anda perhatikan meja kerjanya, tak ada kerjaan yang ditinggalkan 
begitu saja. Semuanya sempurna. Bila pun belum selesai, dia telah menyiapkan 
agar orang lain dapat meneruskan tugasnya. Jangan pula membicarakan 
penghasilan, karena seorang muslim fokus pada apa yang sedang dia tanam. 
Masalah lain menjadi tak berarti, toh hidupnya tak lama lagi. (Insan Sains)





Sumber : http://insansains. wordpress. com/2010/ 04/20/mengimajin asi-mati/










      Best Regards,





       Insan Sains

http://forumsains. com

http://insansains. wordpress. com 










    
     

    
    


 



  





Kirim email ke