Source: www.radix.co.id / www.qalbu.net
   
  Mencermati banyaknya Bencana Di Negeri Kita
  Apakah Tuhan Itu Jahat
  (Written by Wahfiudin)
   
  Siapa yang menyangka kalau tanah yang kita pijak sehari-hari hanya merupakan 
lapisan tipis lempeng-lempeng tektonik yang terapung di atas lumpur magma. 
Lempeng-lempeng tektonik itu tak pernah menetap diam, mereka selalu bergerak 
saling bergesekan dan saling mendesak. Karena sesungguhnya bumi yang kita 
tinggali tak pernah diam, ia selalu berputar pada porosnya dan bergerak pada 
orbit yang mengelilingi Matahari. Bumi pun bernapas, kadang ia menggelembung 
menghisap masuk air dan sampah-sampah yang kita buat, kadang ia mengempis 
menyemburkan air, gas dan lumpur magma yang membangkitkan kesuburan dan 
kehidupan baru. Bahkan bumi pun kadang menggeliat melakukan peregangan dengan 
memeratakan penyaluran tekanan ke segala arah di permukaannya. Itu sebabnya 
kita dapat merasakan gempa bumi, baik yang tektonik maupun yang vulkanik. 
   
  Namun karena dahsyatnya gerakan-gerakan bumi itu, yang sebenarnya sekadar 
menunjukkan bahwa bumi juga hidup dan aktif bertasbih kepada Allah, kerap kita 
rasakan sebagai bencana alam. Ada keruntuhan, ada letusan, ada gempa, ada 
banjir, ada longsor dan ada gelombang. Bahkan sering dari peristiwa itu muncul 
pula banyak kematian. Tsunami di Aceh dan gempa di Yogya adalah dua contoh 
memilukan dari gerak kehidupan bumi dan kita menyebutnya sebagai bencana. Jarak 
kehidupan dan kematian begitu dekat di bumi ini. Kita yang hidup di 
permukaannya bagaikan berselancar dan menari di atas kematian.
   
  Tsunami di Aceh menyemburatkan kehancuran 141.000 rumah dan bangunan, 
kematian 131.934 jiwa yang jenazah mereka dikubur massal, hilangnya 37.066 
orang yang terseret arus bah ke dasar lautan Hindia, yang saking dalamnya 
bahkan cahaya matahari pun tak mampu menembus kegelapan di dalam sana. 
Kehidupan berubah total. Kita terpana dan bertanya: ”Why? Mengapa begini? Apa 
arti semua ini?”. Lalu kita memasuki hari-hari penuh duka dan keprihatinan. 
Harapan dan cita-cita hapus terpupus, sanak kerabat hilang tanpa terkalang. 
Para janda menangis dengan rasa teriris, anak-anak yatim melangkah gontai 
dengan mata menatap hampa. Lalu kita menyimpulkan bencana alam itu jahat.
  Kebaikan dan Kejahatan  Kalau kita mengatakan kebaikan dan kejahatan sebagai 
dua hal, sebagai dua keberadaan atau dua entitas yang berbeda, maka kita akan 
masuk kedalam kerumitan logika iman berikut:
    
   Semua yang ada di alam raya bersumber dan dicipta oleh Allah SWT.   
   Di alam ini ada banyak kebaikan dan kejahatan.   
   Maka Allah SWT, selain sumber kebaikan, juga merupakan sumber kejahatan.   
   Tapi iman di qalbu berkata: Subhanallah...  (Maha Suci Allah...). Tak ada 
keburukan pada Allah, tak ada kejahatan yang datang dari Allah.   
   Lalu dari mana semua kejahatan ini berasal? Dari manusia? Bukankah semua 
manusia, termasuk kebebasan berkehendak yang ada di dalamnya, juga bersumber 
dari Allah?
  Sebelum menjawab kerumitan logika iman di atas, mari kita perhatikan dahulu 
makna fenomena-fenomena alam dari ’jendela pemahaman’ atau ’paradigma’ yang 
berbeda:  paradigma makro-kosmis dan paradigma mikro-personal. Bukankah Allah 
SWT juga berkata: ”Akan Kami perlihatkan kepada mereka ayat-ayat 
(isyarat-isyarat) Kami di alam raya (âfâq, jagad gedhe) dan juga pada diri 
mereka (anfus, jagad cilik)...” (QS Fushilat, 41:53).
  A. Paradigma Makro-kosmis: Alam Selalu Bertasbih dan Menjaga Keseimbangan.  
”Semua yang ada di langit dan di bumi selalu bertasbih kepada Allah...” (QS 
al-Jum`ah 62:1)
  Kalau manusia bertasbih kita sudah mengetahui caranya. Tapi bagaimana alam 
bertasbih? Apa lagi benda-benda mineral yang ’mati’ seperti pasir, batu dan 
tanah?
   
  ”Tidakkah kau perhatikan bahwa sesungguhnya Allah, selalu bertasbih 
kepada-Nya semua yang di langit dan di bumi. Burung dengan mengepak-ngepakkan 
sayapnya. Tiap-tiap makhluk sudah mengetahui cara shalat dan cara bertasbihnya 
masing-masing dan Allah Maha Mengetahui semua yang mereka perbuat.” (QS an-Nur, 
24:41)
   
  Burung bertasbih dengan mengepakkan sayap, bagaimana dengan benda mati? Tapi 
betulkah mereka mati?
   
  Sesungguhnya semua alam itu hidup, meski dengan tingkat kehidupan yang 
berbeda-beda. Manusia hadir dengan tingkat kehidupan yang paling sempurna. Ia 
bergerak, tumbuh dan berkembang biak, cerdas berpengetahuan dan memiliki 
kebebasan berinisiatif, berperasaan cinta kasih, memiliki kesadaran moral dan 
iman. Mineral atau ’benda-benda mati’ hadir dengan tingkat kehidupan yang 
paling sederhana. Benda terkecil adalah atom, dan atom tersusun atas inti atom 
serta elektron yang tak henti-hentinya bergerak. Elektron bergerak berputar 
pada porosnya (rotasi) dan mengelilingi inti atom (revolusi). Selain bergerak, 
elektron pun berkemauan/berketetapan untuk menjaga posisinya sehingga tetap 
seimbang terhadap dunia di sekitarnya. Berarti elektron pun berkemauan dan 
berkecerdasan sehingga mampu merespon perubahan-perubahan yang terjadi.
   
  Elektron juga selalu bertasbih kepada Allah, menunjukkan adanya iman dan 
kesadaran berTuhan. Kelompok New Age di Amerika membuktikan betapa tumbuhan 
juga berperasaan, sehingga tanaman bunga yang sering disapa dan diperlakukan 
dengan penuh kasih sayang menunjukkan reaksi dengan tumbuh dan berbunga lebih 
cepat. Prof. Masaru Emoto dari Jepang, yang bukunya tentang kekuatan air 
diterbitkan oleh MQ-nya Aa Gym, dari berbagai penelitiannya membuktikan bahwa 
molekul-molekul air berubah susunannya sebagai respon terhadap perasaan dan doa 
dari orang-orang di sekitarnya. Adanya gerak dan kemauan, kecerdasan dan 
perasaan, iman dan kesadaran, semua itu menunjukkan bahwa ada jiwa dan 
kehidupan pada elektron, yang merupakan elemen dasar bagi setiap benda. Berarti 
setiap benda di alam ini, termasuk pasir, air dan udara, memiliki jiwa dan 
kehidupan.
   
  Selain hidup dan berjiwa, alam juga selalu berada dalam keseimbangan:
”Alam semesta dibentang luas dan di dalamnya diletakkan mekanisme keseimbangan. 
Janganlah kalian merusak keseimbangan itu. Tegakkanlah keseimbangan itu dengan 
adil dan jangan kalian merusak keseimbangan.” (QS ar-Rahman/ 55:7-9)
   
  Di jagad raya ada keseimbangan kosmis. Di bumi ada keseimbangan ekologis. 
Dalam kehidupan manusia ada keseimbangn sosial yang lebih dikenal sebagai 
KEADILAN. Tiap-tiap terjadi gangguan pada keseimbangan itu alam akan melakukan 
koreksi dan pemulihan. Alam bisa berdehem dan batuk, alam juga bisa menggeliat 
dan meronta. Semua peristiwa alam yaa alami saja. Mereka bertindak sekadar 
menjaga kelangsungan hidup, memelihara keseimbangan dan bertasbih kepada Allah 
Sang Pencipta. Alam tidak bermaksud jahat dan Allah SWT tidak menempatkan 
kejahatan di alam.
   
  Ketika sumber-sumber alam di permukaan bumi sudah dikuras secara serakah dan 
zhalim, alam tidak marah, ia hanya akan bereaksi dengan banjir dan longsor atau 
gempa bumi dan letusan gunung berapi, untuk memulihkan ketersediaan 
sumber-sumber alam itu. Letusan Gunung Galunggung diawal tahun 80-an telah 
menambah persediaan pasir yang hingga kini tak habis-habisnya diangkut ke 
kota-kota besar sebagai bahan bangunan meski diangkut dengan ratusan gerbong 
kereta api setiap harinya. Juga letusan gunung selalu menyisakan kesuburan bagi 
daerah sekitarnya. 
   
  Allah SWT sangat menyayangi manusia, melebihi sayangnya manusia terhadap 
dirinya sendiri dan seluruh makhluk ciptaan-Nya. Ia tak akan merusak karya-Nya 
sendiri dengan sia-sia. Einstein bilang: ”Tuhan tidak sedang bermain dadu 
dengan alam ini”. Kalau pun ada yang harus Ia hancurkan dulu, itu karena Ia 
hendak menata ulang agar segalanya menjadi lebih indah dan lebih harmonis lagi. 
Keseimbangan terus dijaga-Nya, perbaikan terus diselenggarakan-Nya, Ia adalah 
Sang Pemelihara Alam (Rabb al-Alamin).
   
  Lalu, ketidak-seimbangan yang terjadi di Aceh sehingga alam harus 
mengoreksinya dengan tsunami? Apakah di sana telah terjadi ketidakseimbangan 
ekologis atau ada ketidakseimbangan sosiologis? Mungkin saja ada. Bukankah 
banyak lingkungan alam telah rusak dijarah oleh keserakahan para penguasa? 
Bukankah banyak tertumpah dan martabat manusia terhinakan oleh perang-perang 
yang zhalim? Yang jelas Allah SWT tidak akan bertindak sia-sia tanpa alasan 
atau tujuan. Perang di Aceh sudah berlangsung begitu lama sejak zaman 
penjajahan Belanda hingga, apa yang disebut orang Aceh secara sinis, penjajahan 
Jawa (Soekarno dan Soeharto). 
   
  Peperangan yang banyak terjadi di Aceh tak selamanya dilandasi niat suci dan 
kejujuran, baik di kalangan orang Aceh sendiri atau pendatang dari luar. Ada 
keserakahan dan pengkhianatan, ada keculasan dan tipu daya, ada kesombongan dan 
kezhaliman. Maka tak heran kalau di masyarakat bawah pun berkembang sikap 
saling curiga mencurigai. Akibatnya ”mutual trust” (sikap saling mempercayai) 
melemah dan orang kerap berkata: ”Awas tipu Aceh!”. Orang bisa tak lagi merasa 
aman dengan tetangga, pemimpin atau bahkan ulamanya. Hidup berkelompok dalam 
koloni kekeluargaan menjadi salah satu ciri kehidupan di sana sehingga ketika 
datang musibah tsunami banyak orang kehilangan hampir seluruh keluarga 
besarnya. 
   
  Apa yang terjadi di Aceh pun bisa disaksikan di tempat-tempat lain. Di 
manapun di muka bumi ini, ketika muncul keserakahan terhadap alam serta 
ketidakadilan sosial dan kezaliman, bumi akan terundang untuk melakukan 
langkah-langkah koreksi. Sayang kita tak menyadarinya dan menyebutnya ’bencana 
alam’ yang ganas dan jahat.
  B. Paradigma Mikro-Personal: Musibah Adalah Rahmah.   Kita sering diingatkan 
bahwa kehidupan di bumi ini bukan kehidupan yang satu-satunya. Maka janganlah 
kita terkecoh oleh gemerlapnya kehidupan dunia yang fana seraya mengabaikan 
kehidupan akhirat yang hakiki dan abadi.
  “Dialah yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kamu, siapakah 
di antara kamu yang paling baik perbuatannya” (al-Mulk/67:2).
  “Dan sesungguhnya akhirat itu lebih baik dan lebih kekal” (QS al-A`la/ 87:17).
“Dan tidaklah kehidupan dunia ini kecuali hanya senda gurau dan permainan” (QS 
Muhammad / 47:36). 
   
  Tersadarlah kita kalau dunia ini memang bukan segala-galanya. Ia hanya tempat 
bermain-main sementara meski hidup bukan main-main. Peringatan-peringatan 
seperti di atas Allah sampaikan kepada manusia karena Allah menyayangi manusia. 
Ingat sekali lagi, Allah lebih sayang kepada manusia bahkan melebihi kasih 
sayang manusia terhadap dirinya sendiri. Bahkan setiap musibah yang Allah 
timpakan pada manusia adalah rahmah Allah untuk manusia itu sendiri.
  "Tak ada satu musibah pun yang menimpa seorang muslim, kecuali Allah dengan 
itu akan menghapus dosa dan kesalahannya, walaupun hanya sepotong duri yang 
menusuknya". (HR Bukhari dan Muslim)
   
  Bagi para pendosa, musibah adalah hukuman Allah atas dosa-dosa orang itu. 
Dihukum di dunia ini juga agar tak ada lagi dosa yang harus 
dipertanggugjawabkannya di akhirat kelak. Karena itu mereka yang mati karena 
musibah, syahid. Mereka yang tak mati, setelah dosanya terhukum dengan musibah 
itu, hidupnya akan bertambah mulia dan meningkat derajadnya. Musibah adalah 
rahmah (kasih) Allah bagi para pendosa.
   
  Suatu saat Rasul s.a.w. bertanya: “Siapa yang dimaksud mati syahid 
menurutmu?” 
Shahabat: “Orang yang terbunuh di jalan Allah, ya Rasulullah.” 
Rasul: “Kalau begitu, sedikit sekali umatku yang mati syahid.” 
Shahabat: “Lalu siapa lagi, ya Rasulullah?”
Rasul s.a.w.: ”orang yang mati terbunuh di jalan Allah adalah syahid, orang 
yang mati dalam taat kepada Allah adalah syahid, orang yang mati karena tha`un 
(wabah) adalah syahid, orang yang mati karena sakit perut adalah syahid dan 
orang yang mati tenggelam adalah syahid.” (HR Muslim, Abu Hurairah r.a.).
   
  ”Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau cipta semua ini dengan sia-sia...” (QS Ali 
Imran/ 3:191).
“Dan Allah telah memaparkan contoh (tentang) negeri yang dahulunya aman 
tenteram, rezki datang melimpah dari segala arah; tetapi (penduduk)nya 
mengingkari nikmat-nikmat Allah, maka Allah merasakan kepada mereka pakaian 
(sifat pakaian: melingkupi) kelaparan dan ketakutan, berdasarkan apa yang 
mereka perbuat.” (An-Nahl / 16:112)
   
  Bagi yang bukan pendosa musibah adalah bala’ atau cobaan. Allah mau menguji 
keimanan orang-orang yang beriman sebelum meningkatkan derajatnya.
  ”Apakah orang-orang itu menyangka bahwa mereka akan dibiarkan saja berkata: 
’Kami beriman’ padahal mereka belum diuji?” (al-`Ankabut, 29:2) 
  “Dan sungguh akan Kami uji kamu dengan sesuatu yang berupa ketakutan, 
kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Namun sampaikanlah kabar 
gembira kepada orang-orang yang sabar” (Al-Baqarah / 2:155)
   
  Orang-orang yang tetap bersabar menghadapi musibah, tetap ridha atas apa pun 
keputusan Allah, tak tergoncang imannya oleh keraguan dan pertanyaan ’mengapa’, 
tak berburuk sangka kepada Allah, maka akan Allah mengangkat derajad dan 
martabatnya bahkan hingga ke tingkat ’wali’ atau kekasih-Nya. Musibah adalah 
rahmah (kasih) Allah bagi yang bukan pendosa.
   
  Musibah bagi yang tidak terkena musibah. Musibah bisa merupakan hukuman bagi 
pendosa, ujian bagi yang bukan pendosa atau pemulihan keseimbangan bagi alam. 
Lalu apa artinya bagi orang-orang yang tidak terkena musibah itu secara 
langsung? Peringatan! Dengan peringatan itu orang diingatkan agar tak sombong, 
karena ’di atas langit masih ada langit’. Diperingatkan agar berhati-hati, 
waspada dan tak salah langkah. Allah menyampaikan peringatan itu karena Allah 
menyayangi makhluk-Nya. Dengan musibah pula orang-orang yang tak terkena 
musibah terusik kemanusiaannya, tergelitik empaty dan kedermawannya, terbuka 
bagi mereka ladang-ladang baru untuk beramal shalih. Musibah adalah rahmah 
(kasih) Allah bagi yang tidak terkena musibah.
   
  ”Sekiranya penduduk negeri-negeri itu sungguh beriman dan bertaqwa, pastilah 
akan Kami limpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi...” (al-A`raf / 
7:96).
   
  Lalu bagaimana diskusi kita tentang Kebaikan dan Kejahatan? Penulis akan 
berikan dulu ilustrasi. Orang-orang yang tinggal di Jakarta sudah terbiasa 
dengan panas siang hari yang bisa mencapai 30 ºC. Ketika mereka ke Tokyo yang 
panasnya 19 ºC mereka akan berkata: ”Tokyo dingin”. Dan ketika orang-orang 
Tokyo ke Siberia di Rusia Utara yang panasnya -4 ºC, mereka pun berkata: 
”Siberia dingin”. 
  Pertanyaannya, apakah di Tokyo dan di Siberia tak ada panas? Yang ada cuma 
dingin? Lalu apa yang terukur di Tokyo dengan 19 ºc dan di Siberia -4 ºC? 
Bukankah itu semua adalah ukuran-ukuran terhadap panas atau temperatur? Berarti 
di Jakarta ada panas, di Tokyo ada panas, di Siberia juga ada panas. Tapi 
mengapa orang Jakarta bilang “Tokyo dingin”. Jadi apa bedanya panas dan dingin?
   
  Dingin adalah kesadaran orang atas keadaan berkurangnya panas. Dingin adalah 
berkurangnya panas, sedikitnya panas atau tiadanya panas. Maka yang disebut 
kejahatan adalah berkurangnya kebaikan, sedikitnya kebaikan atau tiadanya 
kebaikan. Kejahatan itu sendiri bukanlah suatu eksistensi tersendiri, bukan 
keberadaan yang terpisah dari kebaikan. Kejahatan adalah kebaikan yang sangat 
sedikit atau kebaikan yang habis. Allah tidak pernah mencipta kejahatan. Allah 
bukan sumber kejahatan. Kejahatan itu ”tidak ada”, yang ada hanyalah ”kebaikan 
yang menyedikit atau kebaikan yang habis”. Maka dimana pun kita jumpai 
’kejahatan’ segera isikan ’kebaikan’ padanya. 
   
  Bencana alam bukan kejahatan alam atau kejahatan Allah. Bencana alam di suatu 
tempat menunjukkan telah ’berkurangnya kebaikan’ di tempat itu. Ayo kita isikan 
’kebaikan’ sebanyak mungkin ke tempat itu. Dan jangan lupa untuk terus 
menumbuhkan ’kebiakan’ di sekitar kita agar tak terjadi bencana alam di dekat 
kita.

 __________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around 
http://mail.yahoo.com 

Kirim email ke