Ambil Keputusan!
Oleh: Eileen Rachman, EXPERD

Kita hidup di dunia penuh ketidakpastian. Alvin Toffler, futuris terkenal pada 
tahun 1970 sudah memastikan bahwa percepatan perubahan akan sedemikian 
cepatnya, sehingga menantang para pembuat keputusan agar lebih gesit dalam 
mengambil tindakan.

Dalam sebuah pelatihan, saya bertanya kepada para eksekutif di sebuah
perusahaan, tentang jenis-jenis keputusan yang mereka buat. Ternyata hanya 
sedikit sekali para GM (general manager), bahkan VP (vice president), 
perusahaan tersebut membuat keputusan nyata dan signifikan. Apakah wewenang 
sengaja di 'pegang' hanya oleh para direktur? Ataukah memang banyak keputusan 
yang mengambang? Siapakah sebetulnya pembuat keputusan di perusahaan itu?

Keputusan = 'building blocks' pengayaan pribadi dan karier
Marilah kita berempati pada eksekutif yang kerap duduk termangu dan
berpikir, "Apakah saya benar, seperti yang sudah saya yakini? Kalau
keputusan saya betul, saya akan jadi eksekutif sukses. Kalau salah, saya akan 
dicaci maki, dibicarakan orang, bahkah tidak mendapatkan posisi yang baik." 
Terkadang ada keinginan untuk mengajak manajer atau direktur lain untuk bersama 
mengambil dan membagi risiko.

Pengambilan keputusan memang berat, karena di dalamnya terkandung risiko yang 
harus ditanggung. Ada alasan etis seperti kemanusiaan, rasa kasihan mem-PHK 
karyawan yang tidak berkinerja namun sudah loyal selama bertahun-tahun, risiko 
finansial, atau memilih antara 2 risiko besar, seperti mengeluarkan uang besar 
yang berarti merugikan perusahaan untuk membela risiko yang lebih sosial, 
misalnya celakanya penduduk korban lumpur panas di sekitar Porong dan Sidoarjo. 
Namun demikian, kita harus sadar betul bahwa dalam hidup dan di pekerjaan, kita 
harus secara teratur mengambil keputusan. Justru mutu keputusan kita merupakan 
'building blocks' dalam kepribadian dan sejarah karier kita.

Kuatkan nyali

Aspek penting pengambilang keputusan adalah nyali. Kita sering mengabaikan 
'feeling' atau intuisi yang merupakan aspek penting dalam diri kita, yang 
membedakan kemampuan pikir manusia dari komputer 'mainframe' tercanggih 
sekalipun. Nyali datang dari "penerimaan diri" yang optimal. Individu yang 
merasa tetap relaks dan positif dalam keadaan sulit, bisa lebih kuat mendorong 
dirinya untuk mengambil tindakan atau keputusan yang mengganjal.

Nyali juga adalah kemampuan individu untuk berfungsi, bahkan menikmati
dunia yang tidak sepenuhnya berada dalam jangkauan logikanya. Nyalilah
yang akan mendorong individu yang ragu untuk mengambil keputusan.

Berteman dengan "sense of urgency"

Bila nyali kita tidak kunjung menguat, masih ada aspek penting lain dalam 
kehidupan kita yang mampu â??melangkahi hambatan logika, yaitu
mendesaknya waktu. Kita perlu menguasai medan kompetisi dan berhati-hati agar 
tidak terlambat. Banyak contoh kejadian di kéhidupan sehari-hari kita yang 
membuktikan bahwa bila kita tidak hati-hati, â??actionâ?� kita bisa 
'basi'. Ketika tahun 1958, pabrik mobil Ford meluncurkan produk barunya tipe 
Edsel, yang sudah dipersiapkannya sejak 1954, majalah Time mengomentarinya "The 
wrong car, for the wrong market at the wrong timing"

Tidak harus perfek, tapi efektif dan tepat waktu

Bayangkan Anda menemukan sebuah produk baru yang hampir perfek, dan Anda tidak 
mengetahui bahwa kompetitor juga sedang mempersiapkan produk yang mirip. Bila 
Anda menunggu sampai produk mencapai kesempurnaan total, bisa-bisa Anda 
ketinggalan kereta oleh kompetitor Anda. Wajar bila kita menghendaki keputusan 
yang perfek, tetapi justru seringnya adalah membuat keputusan, mungkin yang 
tidak terlalu perfek, tetapi efektif dan tepat waktu. Intelektualitas, 
rasionalitas, dan sistematika berpikir sering membuat kita terhambat mengambil 
keputusan. Kita cenderung menunggu sampai informasi lebih lengkap, menganalisa 
data, memprediksi, tanpa tahu kapan harus stop mencari data dan mengambil 
keputusan dengan informasi seadanya.

Pikirkan akibat terburuk

Kita memang bisa membangun mekanisme menghindar yang akan membuat hidup terasa 
lebih ringan dan seolah terlepas dari beban. Namun, prinsip 'don't rock the 
boat' pada akhirnya menjadikà n eksekutif tidak bersikap proaktif, tidak 
antisipatif, dan pada akhirnya kejadian yang ditakutkan toh akan meledak juga.

Latihan mengajukan urutan pertanyaan-pertanyaan ini mungkin membantu:

- Apa jadinya bila orang lain juga tidak mengambil keputusan?
- Apa contoh keputusan terbaik?
- Apa konsekuensi keputusan terbaik?
- Apa contoh keputusan terburuk?
- Apa konsekuensi keputusan terburuk?

Dari jawaban pertanyaan ini mudah-mudahan kita sudah mempunyai kalkulasi kasar 
dari untung rugi keputusan. Sekarang katakan: "YES, JUST DO IT!"�

Copyright 2006 Kompas Group
Hangtuah Digital Library

Kirim email ke