Hore,
Hari Baru!
Teman-teman.

Ada sebuah pertanyaan yang agak bodoh. Jika orang ditanya; "Mau 
pilih  untung atau rugi?" Pastilah dia memilih untung. Memangnya 
siapa diantara kita yang mau rugi? Apalagi kalau ditanya; "Kamu mau 
bangkrut atau tidak?" Hah! Rugi saja tidak mau, apalagi kalau sampai 
bangkrut. Ya jelas tidaklah. Tapi, tunggu dulu. Kira-kira, mengapa 
ada orang yang begitu dungunya hingga bersusah payah menyampaikan 
pertanyaan pilon itu? Ternyata pertanyaan itu memang layak diajukan 
kepada kita. Karena, meskipun secara konsepsi kita tidak ingin rugi, 
namun perilaku kita sehari-hari menunjukkan bahwa kita sedang menuju 
kepada kerugian. Anda yang merasa tidak pernah rugi dalam berbisnis 
mungkin menyangkalnya. Namun, benarkah demikian? 

Jaman dahulu kala, ada seorang lelaki yang dijuluki sebagai `Al-
Amien'. Artinya, orang yang terpercaya. Dikemudian hari, Al-Amien ini 
disebut-sebut sebagai Sang Utusan. Pada suatu hari, beliau melintasi 
sebuah kota. Kepada orang-orang dikota beliau bertanya; "apakah 
kalian tahu apa artinya untung, rugi, dan bangkrut?" Sungguh, itu 
pertanyaan gampang. Sehingga setiap orang bisa menjawabnya dengan 
mudah. Namun, tak satupun dari jawaban itu yang memuaskan sang 
utusan. Lalu dia berkata "Orang-orang yang beruntung adalah mereka 
yang dihari ini, lebih baik dari hari kemarin. Mereka yang tidak 
lebih baik dari hari kemarin, adalah orang-orang yang merugi. 
Sedangkan jika dihari ini dirinya lebih buruk dari hari kemarin, maka 
mereka adalah orang-orang yang bangkrut."

Jadi untuk menilai apakah kita untung, rugi atau bangkrut caranya 
sederhana, yaitu; membandingkan hari ini dengan hari kemarin sebagai 
acuan. Jika kita bisa menjadikan hari ini lebih baik dari hari 
kemarin, maka kita sungguh menjadi orang yang beruntung itu. Namun, 
seandainya kita hanya bisa menjalani hari ini dengan nilai yang 
setara dengan hari kemarin, maka sesungguhnya kita ini merugi. 
Apalagi seandainya dihari ini, perilaku kita, sikap kita, cara 
berpikir kita lebih buruk dari hari kemarin. Maka, kita masuk kedalam 
kelompok orang-orang yang bangkrut. 

Kita cenderung menggunakan jumlah uang, harta kekayaan, dan 
kesuksesan dalam karir untuk mengukur untung dan rugi. Hari ini, kita 
diajak untuk melihat untung dan rugi dengan perspektif lain. Dengan 
menggunakan konsep `pertumbuhan'. Yaitu, konsep untuk bertumbuh. 
Terus bertumbuh. Dan terus bertumbuh dari hari kemarin, menuju ke 
hari ini, dan melanjutkannya ke hari esok. Konsep ini, tidak hanya 
berlaku bagi orang-orang yang sedang membangun kesuksesan non-
material belaka. Anda yang tengah berfokus kepada kesuksesan material 
juga bisa menggunakannya sebagai sarana untuk meningkatkan kinerja 
kapital anda. Jika anda mendapatkan seribu rupiah kemarin, anda mesti 
mendapatkan lebih dari seribu hari ini. Jika tidak, maka artinya anda 
rugi, atau malah bangkrut. Dari sudut pandang ilmu ekonomi, uang 
seribu rupiah  hari ini nilainya lebih rendah dari seribu rupiah 
kemarin sebagai konsekuensi dari inflasi. Jadi, hikmah yang diajarkan 
seribu limaratus tahun lalu ini sungguh sangat relevan dihari ini.

Tapi, memang benar bahwa untuk sesaat kita perlu keluar dari alam 
materialistik menuju kepada dimensi non-materialistik. Toh, tubuh 
kita terdiri dari dua bagian penting; fisik dan non-fisik. Komponen 
fisik dibangun oleh unsur-unsur material. Sedangkan komponen non-
fisik disusun oleh unsur-unsur non-material. Oleh karenanya, untuk 
menjadikan diri kita utuh; kita harus bersedia menembus hal-hal non-
material itu.  

Dalam perspektif non-fisik, konsep ini mengisyaratkan dua aspek 
penting. Aspek pertama berhubungan dengan pengetahuan, keterampilan 
atau keahlian. Pendek kata, kita ditantang untuk memastikan bahwa 
pengetahuan kita hari ini lebih banyak atau lebih baik dari hari 
kemarin. Maknanya? Kita mesti benar-benar menerapkan apa yang biasa 
kita sebut sebagai `long life learning process'. Ibu saya yang tidak 
berbahasa Inggris menasihatkan;`Ulah liren diajar'. Artinya, `jangan 
pernah berhenti belajar'. Dan itu betul. Sebab, jika kita berhenti 
belajar, maka pengetahuan kita dihari ini tidak lebih baik dari hari 
kemarin. Jika demikian, kita tidak termasuk orang yang beruntung.

Aspek kedua berhubungan dengan perilaku, sikap serta tindak-tanduk 
kita. Aspek ini bisa menjadi lebih penting bobotnya dari yang 
pertama. Karena, kita sudah tahu bahwa sikap bisa berarti segala-
galanya. Orang yang sikapnya buruk, kemampuan belajarnya juga buruk. 
Sehingga dengan sikap buruk, kita tidak bisa mengadopsi keterampilan 
dan keahlian yang lebih baik. Seorang karyawan yang bersikap buruk 
ditempat kerja, tidak akan bersedia untuk mempelajari hal baru. 
Menangani tugas-tugas tambahan. Atau melatih diri untuk mengasah 
keahlian. Seorang karyawan yang berpikiran dan berprasangka buruk pun 
demikian. Apapapun yang dilakukan atasannya, akan dicurigai dan 
disikapi dengan buruk. 

Sebaliknya, orang-orang yang bersikap baik. Berpikir positif. Membuka 
diri terhadap kritik. Pastilah akan mendapatkan peningkatan bermakna 
hampir dalam segala hal. Bahkan, sekalipun memang benar bahwa 
atasannya memperlakukan dia secara tidak adil. Memangnya, kita bisa 
selalu bersikap positif untuk setiap tindakan buruk yang dilakukan 
oleh orang lain kepada kita? Memangnya, kita selalu bisa bersikap 
positif untuk peristiwa-peristiwa menyakitkan yang menimpa kita? 
Tentu saja bisa. Mengapa? Karena, kita semua mengetahui dan meyakini 
bahwa dalam setiap peristiwa; ada sisi baik dan ada sisi buruk. 
Bahkan, kejadian yang baikpun ada sisi buruknya. Sebaliknya, 
peristiwa buruk selalu ada sisi baiknya. Itulah sebabnya kita 
mempunyai istilah; `dua sisi mata uang'. Mana ada uang yang hanya 
memiliki satu sisi? Sikap yang baik akan membantu kita untuk selalu 
menemukan sisi baik dari hal apapun yang kita hadapi. 

Sampai disini, jelas sudah bahwa sesungguhnya, `Al-Amien' mengajari 
kita tentang sebuah prinsip sederhana, yaitu; "manjadi manusia yang 
lebih baik, dari hari kehari." Bisakah anda membayangkan seandainya 
kita menjadi lebih baik setiap hari? Tentu pencapaian kita akan 
semakin baik dari hari ke hari juga.

Tapi tunggu dulu. Pelajaran kita belum selesai. Sebab, kedua aspek 
non material yang baru saja kita bahas itu baru menyentuh alam 
duniawi. Bagi kita yang meyakini bahwa selain dunia ini juga ada alam 
akhirat; tentu tidak cukup jika hanya mementingkan dan memperjuangkan 
urusan dunia saja. Urusan akhirat sama pentingnya. Sehingga kalimat 
itu selengkapnya berbunyi; `menjadi manusia yang lebih baik dari hari 
ke hari dimata Tuhan'. Semakin hari, hati kita semakin bersih. Niat 
kita semakin tulus. Dan kepatuhan kita kepada kehendak Tuhan menjadi 
semakin tinggi. Bisakah anda membayangkan seandainya dimata Tuhan 
kita bisa menjadi hamba yang lebih baik setiap hari? Tentu nilai 
kemanusiaan kita akan semakin meningkat dari hari ke hari juga.  

Dan, jika kita ingat doa yang paling sering kita panjatkan. Doa yang 
berbunyi; "Tuhan, berikanlah kepadaku kebaikan didunia, dan kebaikan 
diakhirat." Tentu kita juga akan sadar bahwa menjadi lebih baik dalam 
urusan dunia saja, tidaklah cukup. Mungkin kita untung secara 
duniawi. Pengetahuan kita semakin bertambah. Keterampilan kita 
semakin tinggi. Penghasilan kita semakin banyak. Rumah kontrakan 
diganti menjadi hunian cicilan. Sepeda motor beroda dua berubah 
menjadi mobil. Dari naik angkot menjadi menyetir mobil sendiri. Tapi, 
kalau nilai akhirat kita tidak menjadi lebih baik apa artinya? 
Apalagi jika semua peningkatan dan kenikmatan hidup itu semakin 
menjauhkan diri kita dari aturan Tuhan. Kita untung untuk ukuran 
dunia, tapi merugi berdasar kriteria akhirat. 

Ini sungguh sesuatu yang sangat menakutkan. Menakutkan, karena hidup 
didunia ini hanya tinggal beberapa saat. Belum tentu umur kita sampai 
ke tahun depan. Betapapun berhasilnya kita secara duniawi, 
kenikmatannya hanya bisa dirasakan sementara. Sedangkan akhirat? Dia 
abadi. Selamanya. Menakutkan jika hanya sempat mengecap nikmat 
didunia sesaat. Namun, tidak dapat mengecap nikmat akhirat.  

Jika nikmat dunia kita bertambah, namun cara kita bertingkah polah 
semakin buruk; kita benar-benar bangkrut. Hari ini, sudah Tuhan 
anugerahkan nikmat yang lebih banyak dari hari kemarin. Tapi, hari 
ini; kita terlenakan dengan kenikmatan itu. Sampai-sampai kita 
berpikir; `kapan lagi menikmatinya'.  Lalu kita mengumbar semua 
keinginan. Oh, bagaimana seandainya Tuhan menjadi marah. Marah karena 
Dia sudah memberi kita nikmat lebih banyak. Namun, bukannya kita 
menjadi semakin mendekat. Sebaliknya, kita malah menjadi lebih berani 
menghujat hukum-hukumNya.

Rugi. Bukanlah tentang berapa uang kita yang hilang. Bangkrut. Bukan 
tentang bisnis yang tumbang. Melainkan tentang gagalnya diri kita 
untuk menjadi manusia yang lebih baik dari hari kemarin. Jadilah 
manusia yang lebih baik dari hari kemarin. Jadilah manusia yang lebih 
baik dari hari kemarin. Jadilah manusia yang lebih baik dari hari 
kemarin. Jadilah. Manusia. Yang beruntung.

Hore,
Hari Baru!
Dadang Kadarusman
http://dkadarusman.blogspot.com/
http://www.dadangkadarusman.com/ 

Catatan Kaki: 
Hanya karena merasa diri lebih baik dari orang lain, tidak berarti 
kita boleh berhenti disini. Karena, kesempurnaan itu tiada lain 
adalah sebuah proses perbaikan diri yang tidak pernah berhenti.  


Kirim email ke