Bacaan bagus negh...
Tabe'
KAN
Sent from my BlackBerry® wireless device
-----Original Message-----
From: [EMAIL PROTECTED]
Date: Fri, 2 May 2008 19:51:06
To:[EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED]
Subject: [mediacare] Pajak dan Sekolah
Jumat, 2 Maret 2008
PAJAK & SEKOLAH
BANGUNAN sekolah atapnya roboh. Meja kursi sekolah dimakan rayap. Sekolah
terkena banjir. Buku pelajaran hancur. Siswa belajar dengan kaki terendam air.
Atap sekolah ditopang pakai bambu, jika angin datang, dikuatirkan penopang
bergerak, atap lalu menimpa siswa. Banyak lagi ihwal bangunan fisik sekolah
yang kini mengenaskan dapat dibaca di berbagai media.
Keadaan pahit itu bukan hanya terjadi di sebuah dusun terpencil.
Di bilangan elit Kebayoran Baru, Jakarta Selatan,macam di SDN Rawa Barat 1 dan
2, Jl. Citayem II, hanya 500 meter saja dari Sudirman Central Business District
(SCBD) - - di mana kini berdiri megah Hotel Ritz Carlton, kawasan Auto Mall,
Electronic Centre - - dua belas kelas dan dua ruang guru rusak parah.
Kerusakan dialami sejak tahun 2000. Pada Februari 2008 lalu siswa diungsikan
ke SD Selong 01, Jl. Senopati, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
RCTI kemarin petang, Kamis, 1 Mei 2008, melalui Seputar Indonesia, kembali
mengangkat berita soal penggelapan pajak PT Asian Agri (AA), yang kini sudah
terbukti mencapai Rp 1, 5 triliun itu.
Menurut saya, jika uang penggelapan pajak ini dipakai membantu bangunan fisik
sekolah masing-masing Rp 150 juta, maka sudah 10.000 sekolah diperbaiki. Jika
mengacu ke Undang-Undang 28 pasal 40, di mana penggelapan pajak yang terbukti,
boleh menyelesaikan di luar pengadilan dengan membayar denda maksimal 400% dari
dana yang digelapkan - - kendati lentur dan menyayat rasa keadilan - -maka jika
200% saja denda dibayar PT AA, sudah 20.000 sekolah terbiayai perbaikannya..
Sayang sekali pengungkapan kasus PT AA seakan berjalan lamban. Di berita RCTI
dikabarkan bahwa hingga hari ini polisi belum berhasil menghadirkan Soekanto
Tanoto, pemilik AA,untuk penyidikan.
Ada wawancara dengan Vincentius Soesanto, dari penjara. Vincent adalah mantan
karyawan AA yang menjadi wishtler blower - - sang pengungkap - - ketika kasus
ini pertama direportase Metta Dhamasaputra, laporan utama majalah TEMPO awal
2007 lalu.
”Saya berharap kasus ini diungkap. Pak Soekanto memang memberi pengarahan saya
soal teknis untuk mengurangi pajak melalui transfer pricing,” ujar Vincent di
layar kaca RCTI, katanya pula,”Ini test case bagi seorang wishtler blower. Bila
kasus ini tak tuntas, maka wishtler blower lainnya tak akan tampil lagi.”
Sejak kasus itu mengemuka, saya pribadi, maupun organisasi kami, PWI-Reformasi
dari awal sudah mengkritisinya. Pertama kami membuat diskusi di Manggala
Wanabakti, medio 2007 lalu. Kedua melalui program teve PRESSTALK di QTV, kami
mengangkat isu penggelapan pajak ini dengan menghadirkan Metta Dharmasaputra
sebagai salah satu tamu. Ketiga di penghujung 2007, PWI-Reformasi memberikan
penghargaan Journalist of The Year kepada Metta, sebagai bentuk dukungan bagi
investigasi jurnalistik. Juga agar memberikan penekanan kepada pemerintah,
bahwa kasus ini harus diusut tuntas. Kasus ini penggalapan pajak tambun yang
mengerucut terbukti.
Kasus AA menjadi salah satu contoh prestasi sebuah karya jurnalistik yang harus
terus dikawal, sehingga masyarakat terbuka untuk terus memberi penekanan kepada
pemrintah. Uang negara, uang rakyat, harus dikembalikan. Uang itu berguna,
antara lain, ya, untuk membiayai sarana pendidikan.
Melalui tulisan ini saya ingin mengetuk hati Soekanto Tanoto, yang tampaknya
sulit itu. Dalam beberapa kesempatan melalui tangan korporasinya, ia justeru
membiayai riset di dua perguruan tinggi untuk membuktikan liputan TEMPO keliru.
Kini media elektronik macam RCTI juga memberitakan akan kesalahan PT AA. Plus
kini saya menuliskan ulang - - awalnya sudah ada di
<http://iwanpiliang.blogspot.com/> iwanpiliang.blogspot.com - - entah jurus
apalagi yang akan dilakukan Soekanto berkelit.
Kekayaan memang menina-bobokkan. Harta yang sudah bertumpuk, membuai laku untuk
lebih menumpuknya lagi, bila perlu hingga 17 turunan - - 7 generasi sudah
ketinggalan jaman, kiranya.
KOMPAS hari ini menulis: prihatin melihat banyak gedung SD yang rusak. Data
dari Depdiknas sebagai hasil Rembugnas Pendidikan Juni 2007 menunjukkan, pada
2003 ada 531.186 ruang kelas yang rusak. Dari jumlah itu, 360.219 ruang sudah
diperbaiki. Sisanya akan diperbaiki sebagai program 2008. Kebanyakan ruang
kelas SD yang rusak itu ada di Pulau Jawa, 52 persen (276.695 unit).
Kisah pilu di balik kerusakan ruang kelas banyak dimuat media. Kita sedih saat
28 Maret 2003, Dicky Bastian (7), murid SD Negeri 2 Cangkring, Kecamatan
Talang, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, meninggal dunia tertimpa atap gedung
sekolah. Tanggal 27 Maret, 20 siswa kelas II A SD Pasundan III, Bandung, yang
sedang belajar di kelas tertimpa atap ruang kelas.
Saat mendirikan National Onderwijs Instituut Taman Siswa, 3 Juli 1922, Ki
Hadjar Dewantara menghendaki agar sekolah menjadi taman, tempat mekarnya
bunga-bunga bangsa, tempat memupuk semangat nasionalisme, serta memacu kerja
keras dan pantang menyerah, dengan dasar kasih sayang. Atas kerusakan
ruang-ruang kelas ini.
Wakil Presiden Jusuf Kalla pernah berjanji, dalam tiga tahun ke depan semua
bangunan sekolah yang bobrok sudah selesai direnovasi (Kompas, 3/5/2005). Kini
kita hidup pada tahun 2008, tetapi ruang kelas yang rusak masih banyak.
MENJELANG jam makan siang di bilangan, Cilandak, Jakarta Selatan, pada medio
Februari 2008 lalu. Saya duduk di sebelah kiri mobil BMW 520i keluaran terbaru
yang disetir seorang kawan. Ia kini punya penerbitan. Penerbitannya maju. Dulu
sosok berkacamata ini, salah satu auditor senior, pegawai negeri, karyawan di
Ditjen Pajak, Depertemen Keuangan RI.
Sambil menunggu lampu merah di jalanan yang macet, kawan itu bertanya.
”Jika di depan Anda ditarok uang satu dus ukuran box televisi 29 inci, dan
isinya uang semua, Anda terima tidak uang itu?”
Saya diam.
“Nah kan, sulit toh. Sulitlah menolak!” ujar Tora Baik,bukan nama sebenarnya.
“Kita hanya bisa bicara idealis, tapi begitu sudah berhadapan dengan realitas,
sulit, sulit memberantas korupsi, apalagi di Dirjen pajak.”
Kawan itu meneruskan cerocosan-nya.
Ia lalu bercerita bagaimana suatu waktu dulu, diminta mengaudit di perusahaan
PMA. Setelah dicek, dengan trik khusus, kawan itu lalu mengeluarkan kalimat
kepada salah satu eksekutif asing perusahaan itu,”Ini mau selesai di sini Rp
2,5 miliar, atau dibawa ke pusat, bisa lebih besar urusan?”
Singkat cerita, urusan selesai di tempat. Kawan ini kemudian bisa membiayai
sekolah S2, kawannya yang mengatur di pusat. Begitulah situasi orang pajak
kita, yang hingga kini indikasi kerja macam itu bisa jadi masih berjalan.
Sudah bukan rahasia lagi di Indonesia, banyak pengusaha membuat dobel
pembukuannya. Satu buku untuk pemeriksaan pajak, yang sebuah lagi buku riil
penjualan.
Bila Anda makan direstoran, bahkan restoran yang skala kecil, sering kali
disodorkan membayar plus pajak 10%, dan kita membayarnya tanpa berpikir. Namun
bagaimana pembuktian bahwa pajak itu benar-benar disetorkan kepada negara?
Jika tak dibayarkan ke negara, jelas penjual melakukan korupsi, dengan menambah
income dari tidak menyetorkan pajak. Sehingga membangun sebuah jaringan
aplikasi penerimaan pajak ke komputer ke seluruh merchant, bisa jadi lebih
bermanfaat dibanding memberi sebuah chip set untuk menakar pembelian BBM di pom
bensin - - demi mengurangi subsidi.
Dengan laku aparat pajak yang terindikasi korup, jumlah penerimaan total pajak
yang tidak transparan, minim melibatkan partisipasi masyarakat dalam
mengoptimalkan penerimaan pajak, tidak transparan peruntukan, membuat semangat
membayar pajak minim. Bahkan semangat mengakali, terindikasi kian banyak saja.
Volume mengakali itu kian besar terindikasi dilakukan oleh perusahaan besar
macam kasus PT AA.
Kini PT AA bukan sendiri. Sayangnya, media tidak seberani TEMPO, wartawan tidak
seberani Metta Dharmasaputra, lebih celaka, mana ada dua Vincentius, yang siap
masuk penjara, pasang badan demi membongkar kejahatan perusahannya sendiri - -
kendati Vincent sendiri melakukan sebuah korupsi, yang begitu gagal, baru
bunyi.
Banyak memang masalah kita. Masalah yang tambun itu, sesungguhnya dapat
diselesaikan dengan melibatkan pasrtisipasi rakyat, dengan pemimpin yang tulus,
jujur, bersih, yang berbuat bagai kemaslahtan bangsanya.
Jika bangunan sekolah saja tidak terurus, sementara masing-masing partai
politik kini berlomba beriklan, bahkan tokoh PAN, macam Sutrisno Bachir,
mengeluarkan miliaran rupiah untuk memajang fotonya melalui billboard seukuran
lapangan basket di beberapa titik di Jakarta, amatlah disayangkan. Belum pula
biayanya beriklan sehalaman berwana di berbagai media cetak.
Mereka pemimpin, mereka politikus, mereka yang lain yang tak berbuat bagi
pendidikan, bagi mencerdaskan kehidupan bangsa yang diamanat undang-undang,
layak dijuluki apa ya mereka semua?
Ada yang berani menjawab soal ini?
Sudah lama saya membantu Anda menjawabnya: kalikan saja mereka semua dengan
nol.
Baca deh, archieve tajuk saya, Jumat 21 Maret 2008, Satu Lima Nol Nol dan
Selasa, 25 Maret 2008, Nol Koma Nol Nol.
Iwan Piliang ( <http://pesstalk.info/> pesstalk.info)
=
Jumat, 2 Maret 20=
08 PAJAK &am=
p; SEKOLAHBANGUNAN sekolah atapnya roboh. Meja kursi sekolah dimakan rayap=
. Sekolah terkena banjir. Buku pelajaran hancur. Siswa belajar dengan kaki =
terendam air. Atap sekolah ditopang pakai bambu, jika angin datang, dikuati=
rkan penopang bergerak, atap lalu menimpa siswa. Banyak lagi ihwal bangunan=
fisik sekolah yang kini mengenaskan dapat dibaca di berbagai media. Keadaan pahit itu bukan hanya terjadi di sebuah dusun terpencil.
=
Di bilangan elit Kebayoran Baru, Jakarta=
SPAN> Selatan,macam di SDN Rawa Barat 1 dan 2, Jl. Citayem II, hanya 500 me=
ter saja dari Sudirman Central Business District
(SCBD) - - di mana kini berdiri megah Hotel Ritz Carlton, kawasan Auto Mal=
l, Electronic Centre - - dua belas kelas dan dua ruang guru rusak parah. Ke=
rusakan dialami sejak tahun 2000. Pada Februari 2008 lalu siswa diung=
sikan ke SD Selong 01, Jl. Senopati, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. <=
BR>RCTI kemarin petang, Kamis, 1 Mei 2008, melalui Seputar Indonesia, kembali mengangkat berita soal penggelap=
an pajak PT Asian Agri (AA), yang kini sudah terbukti mencapai Rp 1, 5 tril=
iun itu.
Menurut saya, jika=
uang penggelapan pajak ini dipakai membantu bangunan fisik sekolah m=
asing-masing Rp 150 juta, maka sudah 10.000 sekolah diperbaiki. Jika&=
nbsp; mengacu ke Undang-Undang 28 pasal 40, di mana penggelapan pajak yang =
terbukti,
boleh menyelesaikan di luar pengadilan dengan membayar denda maksimal 400%=
dari dana yang digelapkan - - kendati lentur dan menyayat rasa keadilan - =
-maka jika 200% saja denda dibayar PT AA, sudah 20.000 sekolah terbiayai pe=
rbaikannya..
Sayang sekali pengungkapan kasus PT AA seakan ber=
jalan lamban. Di berita RCTI dikabarkan bahwa hingga hari ini polisi belum =
berhasil menghadirkan Soekanto Tanoto, pemilik AA,untuk penyidikan.
Ada wawancara dengan Vincentius Soesanto, dari penjara. Vincent adalah man=
tan karyawan AA yang menjadi wishtler blower - - sang pengungkap -=
- ketika kasus ini pertama direportase Metta Dhamasaputra, laporan u=
tama majalah TEMPO awal 2007 lalu.
=E2=80=9DSaya berharap kasus ini=
diungkap. Pak Soekanto memang memberi pengarahan saya soal teknis untuk me=
ngurangi pajak melalui transfer pricing,=E2=80=9D ujar Vincent di =
layar kaca RCTI, katanya pula,=E2=80=9DIni test case bagi seorang =
wishtler
blower. Bila kasus ini tak tuntas, maka wishtler blower lain=
nya tak akan tampil lagi.=E2=80=9D
Sejak kasus itu mengemuka, saya =
pribadi, maupun organisasi kami, PWI-Reformasi dari awal sudah mengkritisin=
ya. Pertama kami membuat diskusi di Manggala Wanabakti, medio 2007 lalu. =
FONT>Kedua melalui progra=
m teve PRESSTALK di QTV, kami mengangkat isu penggelapan pajak ini dengan m=
enghadirkan Metta Dharmasaputra sebagai salah satu tamu. Ketiga di penghuju=
ng 2007, PWI-Reformasi memberikan penghargaan Journalist of The Year kepada Metta, sebagai bentuk dukungan bagi investigasi jurnalistik. Juga=
agar memberikan penekanan kepada pemerintah, bahwa kasus ini harus diusut =
tuntas. Kasus ini penggalapan pajak tambun yang mengerucut terbukti. <=
BR> Kasus AA menjadi salah satu contoh prestasi sebuah karya jurnalistik=
yang harus terus dikawal, sehingga masyarakat terbuka untuk terus memberi =
penekanan
kepada pemrintah. Uang negara, uang rakyat, harus dikembalikan. Uang itu b=
erguna, antara lain, ya, untuk membiayai sarana pendidikan.
Melalui=
tulisan ini saya ingin mengetuk hati Soekanto Tanoto, yang tampaknya sulit=
itu. Dalam beberapa kesempatan melalui tangan korporasinya, ia justeru mem=
biayai riset di dua perguruan tinggi untuk membuktikan liputan TEMPO keliru=
. Kini media elektronik macam RCTI juga memberitakan akan kesalahan PT AA. =
Plus kini saya menuliskan ulang - - awalnya sudah ada di iwanpiliang.blogspot.<=
wbr>com - - entah jurus apalagi yang akan dilakukan =
Soekanto berkelit.
Kekayaan memang menina-bobokkan. Harta yang suda=
h bertumpuk, membuai laku untuk lebih menumpuknya lagi, bila perlu hingga&n=
bsp; 17 turunan - - 7 generasi sudah ketinggalan jaman, kiranya.
KOMPAS hari ini menulis: prihatin melihat banyak ge=
dung SD yang rusak. Data dari Depdiknas sebagai hasil Rembugnas Pendidikan =
Juni 2007 menunjukkan, pada 2003 ada 531.186 ruang kelas yang rusak. Dari j=
umlah itu, 360.219 ruang sudah diperbaiki. Sisanya akan diperbaiki sebagai =
program 2008. Kebanyakan ruang kelas SD yang rusak itu ada di Pulau Jawa, 5=
2 persen (276.695 unit).
Ki=
sah pilu di balik kerusakan ruang kelas banyak dimuat media. Kita sedih saa=
t 28 Maret 2003, Dicky Bastian (7), murid SD Negeri 2 Cangkring, Kecamatan =
Talang, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, meninggal dunia tertimpa atap gedung =
sekolah. Tanggal 27 Maret, 20 siswa kelas II A SD Pasundan III, Bandung, yang sedang belajar di kelas tertimpa=
atap ruang
kelas.
Saat mendirikan National Onderwijs Instituut Taman Siswa, 3=
Juli 1922, Ki Hadjar Dewantara menghendaki agar sekolah menjadi taman, tem=
pat mekarnya bunga-bunga bangsa, tempat memupuk semangat nasionalisme, sert=
a memacu kerja keras dan pantang menyerah, dengan dasar kasih sayang. Atas =
kerusakan ruang-ruang kelas ini.
Wakil Presiden Jusuf Kalla pernah =
berjanji, dalam tiga tahun ke depan semua bangunan sekolah yang bobrok suda=
h selesai direnovasi (Kompas, 3/5/2005). Kini kita hidup pada tahun 2008, t=
etapi ruang kelas yang rusak masih banyak.
MENJELANG jam makan siang di bilangan, Cilandak, Jakarta Selatan, pada medio Februa=
ri 2008 lalu. Saya duduk di sebelah kiri mobil BMW 520i keluaran terbaru ya=
ng disetir seorang kawan. Ia kini punya penerbitan. Penerbitannya maju. Dul=
u sosok berkacamata ini, salah satu auditor senior, pegawai negeri, karyawa=
n di Ditjen Pajak, Depertemen Keuangan RI.
Sambil menunggu
lampu merah di jalanan yang macet, kawan itu bertanya.
=E2=80=9DJi=
ka di depan Anda ditarok uang satu dus ukuran box televisi 29 inci, dan isi=
nya uang semua, Anda terima tidak uang itu?=E2=80=9D
Saya diam.
=E2=80=9CNah kan, sulit toh. Sulitlah menolak!=E2=80=9D ujar Tora Baik=
,bukan nama sebenarnya.
=E2=80=9CKita hanya bisa bicara idealis, ta=
pi begitu sudah berhadapan dengan realitas, sulit, sulit memberantas korups=
i, apalagi di Dirjen pajak.=E2=80=9D
Kawan itu meneruskan ceroc=
osan-nya.
Ia lalu bercerita bagaimana suatu waktu dulu, dimint=
a mengaudit di perusahaan PMA. Setelah dicek, dengan trik khusus, kawan itu=
lalu mengeluarkan kalimat kepada salah satu eksekutif asing perusahaan itu=
,=E2=80=9DIni mau selesai di sini Rp 2,5 miliar, atau dibawa ke pusat, bisa=
lebih besar urusan?=E2=80=9D
Singkat cerita, urusan selesai di tem=
pat. Kawan ini kemudian bisa membiayai sekolah S2, kawannya yang mengatur d=
i pusat. Begitulah situasi orang pajak
kita, yang hingga kini indikasi kerja macam itu bisa jadi masih berjalan. =
Sudah bukan rahasia lagi di Indonesia, banyak pengusaha membuat dob=
el pembukuannya. Satu buku untuk pemeriksaan pajak, yang sebuah lagi buku r=
iil penjualan.
Bila Anda makan direstoran, bahkan restoran yang ska=
la kecil, sering kali disodorkan membayar plus pajak 10%, dan kita membayar=
nya tanpa berpikir. Namun bagaimana pembuktian bahwa pajak itu benar-=
benar disetorkan kepada negara?
Jika tak dibayarkan ke negara, jelas penjual melakukan korupsi, denga=
n menambah income dari tidak menyetorkan pajak. Sehingga membangun=
sebuah jaringan aplikasi penerimaan pajak ke komputer ke seluruh merch=
ant, bisa jadi lebih bermanfaat dibanding memberi sebuah chip=
set untuk menakar pembelian BBM di pom bensin - - demi mengurangi subsidi.
Dengan laku aparat pajak yang terindikasi korup, jumlah penerimaan tot=
al pajak yang tidak transparan, minim melibatkan partisipasi masyarakat dal=
am mengoptimalkan penerimaan pajak, tidak transparan peruntukan, membuat se=
mangat membayar pajak minim. Bahkan semangat mengakali, terindikasi kian ba=
nyak saja. Volume mengakali itu kian besar terindikasi dilakukan oleh perus=
ahaan besar macam kasus PT AA.
Kini PT AA bukan sendiri. Sayangnya,=
media tidak seberani TEMPO, wartawan tidak seberani Metta Dharmasaputra, l=
ebih celaka, mana ada dua Vincentius, yang siap masuk penjara, pasang badan=
demi membongkar kejahatan perusahannya sendiri - - kendati Vincent sendiri=
melakukan sebuah korupsi, yang begitu gagal, baru bunyi.
Ban=
yak memang masalah kita. Masalah yang tambun itu, sesungguhnya dapat disele=
saikan dengan melibatkan pasrtisipasi rakyat, dengan pemimpin yang tulus, j=
ujur, bersih, yang berbuat bagai kemaslahtan bangsanya.
Jika
bangunan sekolah saja tidak terurus, sementara masing-masing partai politi=
k kini berlomba beriklan, bahkan tokoh PAN, macam Sutrisno Bachir, mengelua=
rkan miliaran rupiah untuk memajang fotonya melalui billboard seukuran lapa=
ngan basket di beberapa titik di Jakarta=
SPAN>, amatlah disayangkan. Belum pula biayanya beriklan sehalaman berwana =
di berbagai media cetak.
Mereka pemimpin, mereka politikus, mereka y=
ang lain yang tak berbuat bagi pendidikan, bagi mencerdaskan kehidupan bang=
sa yang diamanat undang-undang, layak dijuluki apa ya mereka semua?
Ada yang berani menjawab soal ini?
Sudah lama saya membantu Anda m=
enjawabnya: kalikan saja mereka semua dengan nol.
Baca deh=
, archieve tajuk saya, Jumat 21 Maret 2008, Satu Lima Nol Nol dan Selasa, 2=
5 Maret 2008, Nol Koma Nol Nol.
Iwan Piliang
(pesst=
alk.info) |
=20=20
|