Puasa Transformatif dan Fungsional





Ada fenomena di masyarakat kita yang sangat menarik, karena lucu tapi

cukup berbahaya, yakni terpisahnya kesalehan individual dan sosial. Di

sisi lain, muncul pula simbol-simbol agama yang dijadikan garansi,

seolah-olah bila seseorang telah melakukan ritual keagamaan tertentu,

seperti salat, puasa, dan haji, ia merasa hidupnya sudah mendapat

jaminan kesucian, sampai-sampai nyaris boleh melakukan kekejian dan

kezaliman sosial. Karena itu, tidak jarang kita menjumpai seseorang yang

secara individual sangat saleh, akan tetapi secara sosial melakukan

tindak kekerasan, melancarkan aksi teror dan bom bunuh diri, seperti

para “pengantin” Noor Din M. Top itu.



Kini, dalam bulan Ramadan, umat Islam kembali diwajibkan menunaikan

ibadah puasa dan dianjurkan memperbanyak amal saleh. Seperti biasanya,

aktivitas keagamaan di bulan suci ini akan tampak semarak. Ramadan tetap

menjadi ajang tayangan televisi yang menyuguhkan nilai ritual-religius.

Mulai sahur, berbuka, bahkan sampai sahur kembali, acara televisi

diformat begitu rupa dengan aneka ceramah dan sinetron agama, bahkan

iklan pun dibungkus nilai-nilai ketuhanan.



Ironisnya, seiring dengan meningkatnya aktivitas keagamaan di negeri

ini, kian meningkat pula kualitas dan kuantitas tindak kriminal serta

negasi terhadap nilai-nilai moral di berbagai lapisan masyarakat. Hampir

setiap hari /headline/ media massa selalu dihiasi oleh berita-berita

kezaliman sosial, dari perampokan, pembunuhan, kekerasan politik, hingga

aksi terorisme. Lebih ironis lagi, banyak dari para pelaku tindak

kekerasan itu yang mengklaim dirinya sebagai muslim.



Nah, di bulan yang sarat ganjaran ini, kita harus mencermati kembali

“keberpuasaan” sekaligus keberagamaan kita selama ini, sehingga

puasa yang akan kita lakukan selama sebulan penuh benar-benar

transformatif dan fungsional. Ini sungguh penting, karena Nabi SAW telah

memberikan /early-warning/ bahwa "Sekian banyak orang menjalankan puasa,

akan tetapi mereka hanya mendapatkan lapar dan dahaga".



*Pemahaman yang salah*



Ada sebuah penilaian bahwa perilaku seseorang itu ditentukan oleh

bagaimana ia memandang dan memahami ajaran agamanya. Penilaian itu,

secara teoretis dan intelektual, memperoleh legitimasi dari beberapa

tesis yang ditulis oleh para ilmuwan, semacam Max Weber, Clifford

Geertz, atau Robert N. Bellah. Para ilmuwan ini, misalnya, mengatakan

dan membuktikan bahwa perilaku sosial yang mendukung pertumbuhan usaha

modern selalu mempunyai akar-akar dalam ajaran agama yang melahirkan

dimensi moral dan etik. Ini berarti, keberhasilan dari sistem ekonomi

dan poli­tik bangsa sangat bergantung pada kuat dan lemahnya sistem

etika bangsa yang bersangkutan.



Di sinilah posisi agama cukup signifikan dan sentral, mengingat tak satu

pun agama yang dianut oleh manusia di muka bumi ini yang tidak

mengajarkan etika tentang bagaimana hidup yang baik, penuh cinta, kasih,

damai, dan sayang serta mengatur bagaimana cara berinteraksi dengan

sesamanya.



Persoalannya, ada pemahaman yang salah mengenai doktrin agama yang hidup

di masyarakat kita. Agama hanya dipahami sebagai pengatur perilaku

individu seseorang terhadap Tuhannya. Agama hanya dipahami untuk memuja

dan memuji keagungan Tuhan. Sehingga, segala sesuatu bisa dilakukan atas

nama dan demi keagungan Tuhan. Dari sini, muncul suatu sikap rasa takut

dan berdosa ketika melakukan larangan ritual yang bersifat vertikal

(/hablun minallah/). Tapi, anehnya, sikap keras itu tidak berlaku ketika

seseorang melakukan dosa-dosa sosial yang sifatnya horizontal (/hablun

minannas/).



Padahal, dalam agama, ketika seseorang telah berdosa secara individual

terhadap Tuhan, ia cukup memohon ampun (bertobat) dan berjanji tidak

akan mengulangi lagi perbuatannya. Tetapi, manakala melakukan dosa

sosial, misalnya terorisme, yang nyata-nyata merugikan banyak orang,

dosanya tidak akan diampuni sebelum meminta ampun dan mengakui atas

kezaliman sosial yang dilakukan.



Di sisi lain, agama tanpa tanggung jawab sosial sama saja dengan

pemujaan (/cult/) belaka. Tidak perlu seseorang berpuasa, misalnya, jika

tanpa dibarengi dengan tanggung jawab sosial. Sebab, agama bukanlah

pelarian semu dan dalih untuk mencari ketenteraman spiritual semata.

Agama juga bukan hanya menjadi urusan individu untuk mendapatkan

ketenangan dan menjadi media penebus dosa setelah bergelimang kezaliman.



*Fungsional*



Ibadah puasa memang dikenal dengan sifatnya yang sangat pribadi.

Artinya, berbeda dengan ritual yang lain, puasa adalah ibadah yang hanya

diketahui oleh pelakunya sendiri dan Tuhannya. Seseorang bisa saja makan

dan minum sepuasnya di kamar tertutup, misalnya, lalu keluar seraya

mengakui kepada publik bahwa ia tengah berpuasa.



Meskipun demikian, bukan berarti puasa hanya berdimensi

individual-teologis belaka tanpa dimensi sosial. Nabi SAW menegaskan:

"Betapa banyak orang berpuasa tapi sia-sia belaka, mereka tidak

memperoleh apa-apa dari puasanya kecuali rasa lapar dan dahaga, lantaran

mengabaikan etika sosial atau melakukan dosa sosial."



Artinya, jika sikap mudah mendakwa, memvonis, memprovokasi, meneror,

merasa paling benar dan suci, serta sikap kerdil lainnya terhadap sesama

masih saja subur dalam diri sang muslim, baik secara individual maupun

sosial, padahal sekali dalam setahun ia selalu berpuasa, puasa itu tak

akan membuahkan apa-apa selain rasa lapar dan dahaga. Dan itu berarti

kekalahan bagi sang muslim, bukan keme­nangan.



Nah, dalam kehidupan masyarakat yang kini lebih didominasi corak

solidaritas organis, meminjam istilah Emile Durkheim, di mana hubungan

antarsesama lebih diorientasikan kepada /vested of interest/, maka

melalui ibadah puasa umat Islam dapat menarik tali hubungan sosial yang

sudah kebablasan itu ke dalam koridor yang harmonis atas dasar

persaudaraan kemanusiaan (/ukhuwah insaniyah/), kesamaan (/al-musawah/ ),

dan keadilan (/al-'adl/).



Ketika kualitas kesenjangan sosial cenderung menguat antarlapisan

sosial, dan orang-orang rentan teralienasi secara struktural dan

kultural, maka melalui ibadah puasa yang fungsional dan transformatif

umat Islam dituntut untuk mengembangkan kepedulian dan solidaritas

sosial yang manusiawi sebagai implementasi dari pesan luhur Nabi SAW:

"Tidak beriman seseorang jika dia tidur nyenyak karena kekenyangan,

sementara tetangganya dibiarkan menggelepar kelaparan."



Dengan demikian, puasa transformatif- fungsional mendorong kita untuk

selalu introspeksi dan meningkatkan kualitas diri. Puasa transformatif

tidak hanya membudayakan puasa seremonial yang biasa dihiasi dengan

membludaknya budaya konsumerisme mengiringi buka puasa dan menjelang

hari raya. Puasa transformatif bukan hanya menciptakan pribadi yang

tahan lapar dan haus di kala siang, namun tanpa daya untuk mengubah diri

menjadi pribadi yang kukuh di saat Ramadan meninggalkan kita.



Puasa transformatif dan fungsional adalah puasa yang membuat kita lebih

baik dan tekun dalam beribadah dan beramal saleh, membuahkan /sense of

awareness/ terhadap si miskin dan kaum yang tertindas. Puasa

transformatif membuat si pelakunya bersikap moderat, humanis, inklusif,

dan antiterorisme.  




 

      

    
    
        
         
        
        








        


        
        

      Lebih Bersih, Lebih Baik, Lebih Cepat -  Rasakan Yahoo! Mail baru yang 
Lebih Cepat hari ini!


      Coba Yahoo! Messenger 9.0 baru. Akhirnya datang juga! 
http://id.messenger.yahoo.com

Kirim email ke